PAGI
“Sesaat
setelah mencekeram dalam kata, angin sejuk datang bersama hilir senyumnya.”
“Tok-tok-tok...” bunyi ketukan yang mengganggu pagi
Irma. Padahal ingin tidur sampai jam delapan, yang sebelumnya terbangun jam
lima untuk menunaikan sholat subuh dan kembali terbawa di alam mimpi. Ya, salah
satu hobby Irma adalah tidur, makanya tidak heran pipinya sedikit chubby.
“Tok-tok-tok....” bunyi itu terngiang lagi di
telinga. Hah. Kesal, kemudian bangkit dan mencari tahu siapa yang melakukan.
Astagfirullah.
Mendadak
tubuhnya menggigil, darahnya seolah berdesir cepat. Sepertinya tadi tidak
mengingat mimpi indah apapun. Kenapa paginya diawali dengan sentuhan mata
Ferli. Oh my God.
“Kenapa kamu? Kamu masih terpesona dengan aku?”
suara pemuda itu membuyarkan lamunannya.
“Atau kamu mengira aku yang mengetuk pintumu. Sorry
ya, aku mengetuk pintu Rani....”
Dan Rani pun muncul dari balik pintu.
Masya
Allah cantik sekali. Pekik Irma dalam batin dan lidah keluh
menjawab Ferli.
“Ferli, kenapa pagi-pagi datang? Dan ada apa antara
kamu dengannya?” sambil melihat ke arah Irma penuh tanda tanya.
“Tidak ada apa-apa. Dia hanya salah satu penggemar
baruku. Dia junior baru kita di kampus,” Ferli menjelaskan, pandangannya sudah
berpaling kepada Rani.
“Dan, aku mau meminjam buku catatanmu, kemarin di
kelas aku tidak mencatat,” kemudian menyatakan maksud.
“Oh, tunggu dulu ya!”
Rani membalikkan badan ke kamarnya untuk mengambil
catatan yang dimaksud Ferli.
“Terus kenapa kamu bengong saja di situ? Kalau mau
tidur sana gih.” Alisnya berkerut.
Spontan membanting pintu. Astagfirullah.
“Hei. Kamu ada masalah apa denganku? Kenapa kamu
kasar sekali menjadi cewek, kemarin kamu sangat nyolot.”
Ferli salah paham, merasa tidak dihargai.
“Keluar gak, atau tidak aku dobrak pintumu.”
Astagfirullah.
Bagaimana ini? Irma panik. Diikuti irama mendengus
berat.
“Koq ribut-ribut?” Rani bertanya dengan tatapan
kembali penasaran.
“Anak ini sepertinya tidak tahu menghargai senior
dan harus diberi pelajaran.”
Suara kesal Ferli terdengar nyaring.
“Hehehehehe. Mungkin dia masih kaku Fer. Tidak usah
terlalu dianggap serius.”
Untung Rani tidak berpikiran seperti Ferli.
“Baiklah. Kalau kamu tidak ngomong seperti itu,
mungkin aku sudah hancurkan pintu anak ini.”
Suaranya masih tetap kesal dengan volume yang sama.
Sementara Irma masih belum bisa mengontrol nafas.
Pasti terengah-engah dalam ketakutan. Kenapa
selalu kacau saat bertemu dengannya? Mungkinkah ini pertanda ketidakcocokkan?
Irma masih mendengus nafas berat.
***
“Sudahlah. Jangan berpikir berlebihan dan semoga
saja dia lupa persoalan pagi ini.” Batinnya sambil duduk di halte menunggu bus
ke kampus.
Banyak mahasiswa yang tingga seasrama dengannya
menunggu bisa yang sama. Ada yang asyik sendiri dengan hpnya, game, teman-teman
yang sepertinya satu genk, dan dia sendiri masih dengan kejadian pagi.
“Itu bisnya sudah datang,” kata salah satu dari
mereka.
Kemudian mereka bergegas berdiri, kemudian naik
dengan tertib ketika sudah ada di hadapan mereka.
“Semoga tidak ketemu dia nanti di kampus,” ucap Irma
setelah duduk di salah satu jok kosong di sebelah pemuda yang sibuk membaca
koran sampai-sampai tak bisa melihat wajahnya.
“Hanya saja dia ganteng, apalagi senyumnya sungguh
membius,” ucapnya tak sadar, membuat pemuda di sampingnya terperangah.
“Makasih.....” suara itu dari pemuda yang membaca
koran.
Astagfirullah.
Buru-buru
menundukkan mata, ketika tahu pemuda yang dibicarakan sedang duduk di
sampingnya.
Ferli tersenyum menang dan membuat gadis berhijab
itu menjadi merah.
Notes: Mohon coment and votenya! Jangan lupa kritik dan saran!
Pict Source: shintyapraticya.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar