MANIS
Awan berkelabu, padahal biasanya panas sangat
melahar di siang hari. Angin bergemuruh setelahnya, menusuk tulang. Sebentar
lagi air langit turun. Seandainya lebih pintar membaca keadaan ketika pagi tak
begitu bercahaya, harusnya membaya payung. Menyiapkannya sebelum hujan.
Langkah kaki terbirit-birit, tasnya di letakkan di
atas kepala supaya menepis sedikit hujan membasahi. Baru beberapa menit
berjalan, ada yang menarik tas gadis itu dari belakang. Berbalik dan tersenyum.
Kemudian, memberikan teduhan.
Pemuda itu membalas sunggingan, tangannya memegang
payung kuning.
Dan, suasana manis sekarang. Berdua di bawah payung
dan menikmati bunyi hujan.
“Mau ke masjid?” untung Yudha terjaga kemudian
memalingkan pandangan.
“Ia, takut nanti waktu abis. Mana ada kuliah lagi
sebentar lagi.”
Mereka berjalan berisian. Sekali-kali mencuri
pandang. Ini kesempatan yang sudah lama sekali diimpikan Yudha. Berada di dekat
Sakinah tanpa ada rasa risih seperti dulu melainkan tersampul senyum.
“Makasih ya, udah berikan aku tempat teduh,” mata
bulat gadis itu menyipit.
Masya
Allah cantiknya.
“Koq diam?”
“Maaf-maaf,” kemudian tersenyum dan berterimakasih
kembali, “Thanks udah mau aku antarin. Aku ke tempat wudhu laki-laki dulu ya,”
membalikkan badan.
Deg-deg-gan.
Rasanya
jantung mau enyah dari tempatnya. Ada hawa panas menggelegar, padahal sebelum
dingin oleh hujan. Ada apa ini? Kenapa
begitu bahagia melihat senyum di wajah Yudha? Pekik Sakina di batin. Apalagi beberapa
detik setelah memberikan teduhan, dia menengok lagi tersenyum. Ah...... bahagia
tak terduga dan rasanya manis.
Hati. Ya, Sakina memang perlahan membukanya dan
melihat bukan hanya mata kepalanya sendiri, namun juga mata hatinya agar bisa
menemukan sosok yang selama ini selalu ada untuknya. Dan ternyata pemuda
bermata sipit itu, meskipun mungkin pernah mengabaikannya, dia tetap saja
bersemnagat mendekati. Hah. Sangat bodoh kalau menyia-nyiakannya lagi. Tak
akan. Tak akan. Sakinah meruncingkan pikiran.
***
“Yuni, ke
sini,” panggil Fitri ketika sedang berada di kantin kampus dengan Sakina, Lia,
Tina dan Ramlah.
Yuni canggung, meskipun sudah beberapa kali bersama
dengan Fitri hanya saja kali ini bersama dengan sahabat-sahabatnya.
“Yun, ke sini!” Sakina ikut berdiri memanggil,
setelahnya disusul yang lain.
Pelan, Yuni memiliki sedikit keraguan.
Teman
yang baik tahu kapan saat temannya butuh.
Mereka semua menghampiri Yuni, menggandengnya dan
menghilangkan gerogi. Seisi kantin melihat keakraban, kekentalan persahabatan
di antara gadis-gadis berhijab itu. Ya, Fitri dan kawan-kawannya memang
semenjak pertama masuk kampus terkenal genk hijab. Mereka paling mencolok
dengan aura hijab yang feminim, anggun, hanya saja tidak fanatik.
“Kamu jangan pernah merasa sendiri ya Yun, kita kan
dari alumni sekolah yang sama dan kebetulan kan kita satu fakultas meskipun
beda jurusan,” ucap Fitri lembut.
“Ia, kalau butuh pertolongan jangan sungkan-sungkan
bilang sama kami,” Sakina menambahkan.
“Ingat itu,” Lia memegang tangan Yuni sambil
tersungging manis.
Begitu manis. Seperti melihat ke langit lepas.
Melayangkan semua beban masalah selama ini, apalagi setelah Tina dan Ramlah
juga ikut menguatkan kekentalan kesekawanan.
“Lupakan masa lalu, yang penting kita sama-sama
meraih masa depan dan mengedepankan ukhuwah Islamiyah.”
“Pokoknya kamu tidak akan pernah sendiri Yun, kami
akan selalu ada di sampingmu.”
Legah. Sesaat kenangan buruk di masa lalu
benar-benar lenyap. Enyah dari pikiran yang selama ini menimbun. Persahabatan
manis bersemi ketika kejujuran dan ketulusan muncul di antara hati yang ingin
berbagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar