post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 30 Oktober 2017

Nyawa Hidupku (21)



MANIS

Awan berkelabu, padahal biasanya panas sangat melahar di siang hari. Angin bergemuruh setelahnya, menusuk tulang. Sebentar lagi air langit turun. Seandainya lebih pintar membaca keadaan ketika pagi tak begitu bercahaya, harusnya membaya payung. Menyiapkannya sebelum hujan.

Langkah kaki terbirit-birit, tasnya di letakkan di atas kepala supaya menepis sedikit hujan membasahi. Baru beberapa menit berjalan, ada yang menarik tas gadis itu dari belakang. Berbalik dan tersenyum. Kemudian, memberikan teduhan.  
Pemuda itu membalas sunggingan, tangannya memegang payung kuning.
Dan, suasana manis sekarang. Berdua di bawah payung dan menikmati bunyi hujan.
“Mau ke masjid?” untung Yudha terjaga kemudian memalingkan pandangan.
“Ia, takut nanti waktu abis. Mana ada kuliah lagi sebentar lagi.”
Mereka berjalan berisian. Sekali-kali mencuri pandang. Ini kesempatan yang sudah lama sekali diimpikan Yudha. Berada di dekat Sakinah tanpa ada rasa risih seperti dulu melainkan tersampul senyum.
“Makasih ya, udah berikan aku tempat teduh,” mata bulat gadis itu menyipit.
Masya Allah cantiknya.
“Koq diam?”
“Maaf-maaf,” kemudian tersenyum dan berterimakasih kembali, “Thanks udah mau aku antarin. Aku ke tempat wudhu laki-laki dulu ya,” membalikkan badan.
Deg-deg-gan. Rasanya jantung mau enyah dari tempatnya. Ada hawa panas menggelegar, padahal sebelum dingin oleh hujan. Ada apa ini? Kenapa begitu bahagia melihat senyum di wajah Yudha?  Pekik Sakina di batin. Apalagi beberapa detik setelah memberikan teduhan, dia menengok lagi tersenyum. Ah...... bahagia tak terduga dan rasanya manis.
Hati. Ya, Sakina memang perlahan membukanya dan melihat bukan hanya mata kepalanya sendiri, namun juga mata hatinya agar bisa menemukan sosok yang selama ini selalu ada untuknya. Dan ternyata pemuda bermata sipit itu, meskipun mungkin pernah mengabaikannya, dia tetap saja bersemnagat mendekati. Hah. Sangat bodoh kalau menyia-nyiakannya lagi. Tak akan. Tak akan. Sakinah meruncingkan pikiran.
***
“Yuni,  ke sini,” panggil Fitri ketika sedang berada di kantin kampus dengan Sakina, Lia, Tina dan Ramlah.
Yuni canggung, meskipun sudah beberapa kali bersama dengan Fitri hanya saja kali ini bersama dengan sahabat-sahabatnya.
“Yun, ke sini!” Sakina ikut berdiri memanggil, setelahnya disusul yang lain.
Pelan, Yuni memiliki sedikit keraguan.
Teman yang baik tahu kapan saat temannya butuh.
Mereka semua menghampiri Yuni, menggandengnya dan menghilangkan gerogi. Seisi kantin melihat keakraban, kekentalan persahabatan di antara gadis-gadis berhijab itu. Ya, Fitri dan kawan-kawannya memang semenjak pertama masuk kampus terkenal genk hijab. Mereka paling mencolok dengan aura hijab yang feminim, anggun, hanya saja tidak fanatik.
“Kamu jangan pernah merasa sendiri ya Yun, kita kan dari alumni sekolah yang sama dan kebetulan kan kita satu fakultas meskipun beda jurusan,” ucap Fitri lembut.
“Ia, kalau butuh pertolongan jangan sungkan-sungkan bilang sama kami,” Sakina menambahkan.
“Ingat itu,” Lia memegang tangan Yuni sambil tersungging manis.
Begitu manis. Seperti melihat ke langit lepas. Melayangkan semua beban masalah selama ini, apalagi setelah Tina dan Ramlah juga ikut menguatkan kekentalan kesekawanan.
“Lupakan masa lalu, yang penting kita sama-sama meraih masa depan dan mengedepankan ukhuwah Islamiyah.”
“Pokoknya kamu tidak akan pernah sendiri Yun, kami akan selalu ada di sampingmu.”
Legah. Sesaat kenangan buruk di masa lalu benar-benar lenyap. Enyah dari pikiran yang selama ini menimbun. Persahabatan manis bersemi ketika kejujuran dan ketulusan muncul di antara hati yang ingin berbagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar