post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 23 Oktober 2017

MENIRAI SESAL “Hati yang mengaup cinta Tak selalu siap untuk bahagia dan sakit”



          
Seharusnya aku tidak meninggalkan sesuatu yang berharga. Cukup sabar, bertahan dan pasti ada jalan. Toh ibu pun nyatanya sudah memperingatkan setiap keinginan yang bersungguh-sungguh lambat laun akan terbuka. Terlalu egois dan tidak bisa mengendalikan sikap glamour dalam diri kala itu.
Padahal tidak ada bahagia paling indah di kisah remaja selain mendapatkan cinta tulus dari seorang laki-laki sederhana seperti Yudhi. Pemuda bergingsul yang rela memberikan sebotol minuman dingin air putih saat aku tak mampu membeli karena tak dapat uang jajan dari ibu. Pun bukan hanya tegukan air dingin itu yang menyegarkan setelah lari-lari di tengah lapangan karena mengikuti pelajaran olahraga, sunggingan dan teduhan matanya mampu menghipnotis kebugaran timbul. Rasa seperti pingsan, cowok keren yang kuidam-idamkan kali ini memberikan sesuatu padahal ia sendiri nampak kehausan. Mata-mata di sekeliling mengamati layaknya wartawan antusias mewawancarai pemimpin yang banyak menggelapkan uang negara. Hmmmm. Apakah kalian iri?


            Tepat matahari sejengkal meluapkan lahar panasnya di bumi, pinggir jilbab putih kujadikan sapu tangan untuk menyeka keringat yang mulai membanjiri wajah. Hembusan nafas kesal sesekali menggambarkan keletihan karena Rafa – kakakku – terlambat lagi datang menjemput. Astaga. Semakin melepuh membaca sms darinya bahwa tidak bisa datang karena ada jam kuliah mendadak. Kedua kaki yang kecapean akibat lari-lari tadi terpaksa tergontai berjalan menuju gerbang sekolah mencari angkot yang lewat. Aduh. Sementara di sana sekerumuan anak-anak berseragam putih biru sepertiku menyerbu untuk bisa keluar duluan – memang, sekolahku siswa-siswanya cukup banyak. Di beranda kelas, kumenjongkokkan diri dilantai sambil berwajah manyung. Ya.... ada suara yang mengagetkan, sayangnya tak termakan dan teracuhkan. Pemilik suara itu tidak putus asa, malah ikut jongkok......
Yudhi terpaku di tempat kuberpijak. Terasa hangat peduli menelusuri jejak penungguan yang telah berujung. Senyum, sikap, laga ataupun di dalam dirinya yang senada seperti selalu mencari-cari alasan untuk saling menantang mata. Dengan uluran kasat perasaan indah itu untuk pertama kalinya dijatahi bunga-bunga semesta, tanpa bisa terpungkiri lidah menerima cinta dari cinta hati.
Dunia bagai milik berdua, yang lain hanyalah menumpang. Rasa setiap dua sejoli dimabuk cinta. Benar-benar aku menikmati kisah cinta ini, kita, aku dan Yudhi. Perwujudan romansa remaja yang pada akhirnya di ambang ketidakpastian. Pemuda pertama yang kusayang dan menyangi, telah tiga tahun menyemangati, dan, aku malah pergi meninggalkannya tanpa kata pisah.
“Hati-hati ya Nak’, jaga diri baik-baik di sana. Harus sholat dan selalu ingat Tuhan. Insya Allah, Dia akan selalu menjagamu.”
Air mata menyapu wajah ibu dan dipeluk erat anak yang akan meninggalkan jauh, ke Negara Timur. Arab Saudi.
Hhh,,,,
Sempat menoleh ke belakang, berharap retina memandang senyuman maut si gingsul manis. Tidak mungkin. Berita kepergian ini pun belum sampai di telinganya. Tega. Tapi dia tidak akan mengijinkan. Lebih baik diam-diam, walau menyisakan sakit hati yang tak mungkin terobati.
Maaf.
Benar-benar mengarungi perjalanan jauh. Terpatri pikiran yang masih tertinggal. Setengah hati.
Sewaktu langit terasa dekat, hati baru merasakan jarak yang akan berkilo-kilo memisahkan aku dan dia, pelepas dahaga di siang yang melahar, kesejukan dikekesalan. Oh, apakah aku harus kembali? Tidak mungkin. Sementara impian dan tonggak penyadaran tentang dirinya begitu berarti sekarang saling menantang. Deru angin bersenandung bersama kapak pesawat tak dihiraukan. Ciutnya kebimbangan besar, sulit hanya saja tetap harus dijalani. Aku janji akan kembali Yudhi. Mencoba menyemai janji dan terrsenyum di satu tetesan air bening di pipi. Tak kuasa tertahan membiarkan penumpang lain seenaknya berpikir apapun. Barangkali karena baru muda sudah harus bekerja keras dan merantau ke negeri orang, mungkin karena orang tua yang akan selalu dirindukan atau benak yang berkata tidak tega meninggalkan cinta yang ditinggalkan. Tapi yang pasti semuanya benar. Semoga Allah, menjagamu di sana.
Satu tahun berlalu. Terputuskan kembali pulang menuntaskan sambutan ibu dan sanak yang sudah lama memaksa kembali. Ia, kangen berat. Ingin meilihat lagi senyum sang penyambung nyawa, penopang rindu dan penimang semangat, apalagi setengah hati yang begitu meriuh-riuh di malam-malam tidur. Bu Khumairah, majikan baik yang seperti guru menangis tersedu-sedu tapi tak mencoba menghalangi, lalu memberikan segompoh uang-uang kertas bernilai. Membalas embun, menirai. Menggapai tangan lembutnya, menciumnya dan mungkin untuk yang terakhir kali. Sesampai menengadah, nyaris saja menganga tangisan persis seperti ibu yang kutenangkan sebelum detik-detik kepergianku; rindu suatu saat akan bertemu kembali dengan sang pemangku. Dari cahaya di roman Bu Khumairah tersungging dikerekahan tangisan sambil dekapan membelai erat, seperti tak ingin lepas. Kehangatan bukan hanya dari keluarga, melainkan orang lain yang bersyukur adanya kita.
Negeri ini mengajarkan aku banyak hal. Negeri yang berhasil pertama kali membuatku pergi dari orang-orang tercinta. Negeri yang menyimpan banyak kenangan dan selamanya tak akan terlupakan.
Hawa siang mengalor. Mata saling bertautan. Cinta yang lama ditinggalkan – pemuda bergingsul. Namun, jejakan kaki yang nyaris melangkahi kesukacitaan kerabat tiba-tiba dihadang; ada emosi muncul. Lama berpandangan. Aku menangis dan dia memendung. Pergi menjauh, ketika aku bangkit ingin meleraikan rindu berdurja di malam-malam lalu. Apakah dia marah? Hanya pandangan tapi aku tahu. Ya. Tidak bisa mengejar, ibu memanggil, “Tidak baik kamu pergi sekarang, kerabat datang karena ada kamu.” Hanya mampu mendengus. Menitip salam di angin lalu, sekalipun marah namun tahu masih ada rasa itu terhadapku. Keteduhan di roman wajah sang pemangku, tak pernah berubah. Senyumnya setiap detik membuatku jatuh cinta, ke dalam bunga-bunga kasmaran berwarna-warni.... Rasaku pun tak akan lekang oleh waktu.
Sesampai rembulan menjamah malam, Rian sahabatku dan sahabatnya juga, sudah menungguku di beranda rumah. Ingin membantu mempertemukanku dengan Yudhi. Hari itu selalu teringat, di mana buncahan air mata seorang pria meluap karena gadis sepertiku, di mana setiap doa dalam sholatnya selalu ditorehkan nama Yuna, dan di mana dia yang harusnya marah malah membujuk dengan berlutut. “Jangan pernah lagi meninggalkanku, atau kau hanya akan melihat batu nisanku.” Seperti mimpi, seharusnya aku yang mengatakan tak akan pernah meninggalkan cinta setulus dirinya. Tak akan pernah, bahkan nyawa pun jadi taruhannya. Terlalu egois. Ia benar-benar jujur, terkesima dan penyalahan diri merasuki. Ketika ia terus-terusan berisak meminta maaf, aku langsung mengajak bangkit dan menuturukan maaf yang memang seharusnya dari mulutku.
“Aku janji tak akan pernah lagi meninggalkanmu, bahkan aku akan menempel padamu seperti permen karet.”
“Kau telah berjanji padaku, permen karetku.”
Tangannya lembut memegang kepala yang ditutupi tudung hijau. Semburan tawa mengganti kesedihan. Seperti rerun film atau sinetron, chemistry kami berulang: perhatiannya dalam mengingatkan waktu sholat, senyumnya penawar gundah, percik teduhan mata, rintihan tak menjemukkan dari telapak tangannya, derap disetiap jantung yang terpompa persis seperti dulu.
Di tengah pamungkas sinar bias, kemunculan wajah baru membenteng kisah yang menuntun untuk menuju ke arah lain, dan menemukan sensasi dari rasa cinta lain. Tertutur dalam palsu – dengan hati yang sebenarnya masih ada padanya seorang.
Reza, hanya tahu aku seorang gadis berhijab yang tak punya siapapun di dalam hati. Ia mendekat, mengundang tampikkan kebualan. Tapi retina tercekat. Angin laut menderaskan air matanya. Jejakkan kaki terdengar mendekat, di bibir pantai biru nan elok oleh sunset yang akan segera terbit. Diantaranya.
“Ternyata ini yang kamu lakukan di belakangku?”
Suara luka begitu menyempit.
Berhari-hari, kesalahan menyiasati tanpa bisa melolongkan nafas tanpa isakan. Ia selalu menghindar dan tidak pernah bisa menatap secerah dulu. Peluh disekujur jiwa dan raganya mungkin takkan pernah usai?
Akhirnya, satu amplop bercat putih, dengan satu pita biru mengikat diterima ibu. menyembul nama dari orang yang tak pernah kusangka, menirai sesal, merengek tanpa bisa terkendali. Gemeretak hujan mengguyur, ah....... bukan di bumi, tapi di batin. Rel-relnya terus berdentum beradu dengan penyalahan diri. Ya, akhirnya tak ada kesempatan ketiga kali. Malam itu, fajar memanggilku untuk tak berkedip, mengais titahan-titahan embun yang akan menalas di dahan hati. Aku berharap walau dikerumunan sesal, semoga bahagia dengan pilihannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar