Tepat matahari sejengkal meluapkan
lahar panasnya di bumi, pinggir jilbab putih kujadikan sapu tangan untuk
menyeka keringat yang mulai membanjiri wajah. Hembusan nafas kesal sesekali
menggambarkan keletihan karena Rafa – kakakku – terlambat lagi datang
menjemput. Astaga. Semakin melepuh membaca sms darinya bahwa tidak bisa datang
karena ada jam kuliah mendadak. Kedua kaki yang kecapean akibat lari-lari tadi
terpaksa tergontai berjalan menuju gerbang sekolah mencari angkot yang lewat.
Aduh. Sementara di sana sekerumuan anak-anak berseragam putih biru sepertiku
menyerbu untuk bisa keluar duluan – memang, sekolahku siswa-siswanya cukup
banyak. Di beranda kelas, kumenjongkokkan diri dilantai sambil berwajah
manyung. Ya.... ada suara yang mengagetkan, sayangnya tak termakan dan teracuhkan.
Pemilik suara itu tidak putus asa, malah ikut jongkok......
Yudhi
terpaku di tempat kuberpijak. Terasa hangat peduli menelusuri jejak penungguan
yang telah berujung. Senyum, sikap, laga ataupun di dalam dirinya yang senada
seperti selalu mencari-cari alasan untuk saling menantang mata. Dengan uluran
kasat perasaan indah itu untuk pertama kalinya dijatahi bunga-bunga semesta,
tanpa bisa terpungkiri lidah menerima cinta dari cinta hati.
Dunia
bagai milik berdua, yang lain hanyalah menumpang. Rasa setiap dua sejoli
dimabuk cinta. Benar-benar aku menikmati kisah cinta ini, kita, aku dan Yudhi.
Perwujudan romansa remaja yang pada akhirnya di ambang ketidakpastian. Pemuda
pertama yang kusayang dan menyangi, telah tiga tahun menyemangati, dan, aku
malah pergi meninggalkannya tanpa kata pisah.
“Hati-hati
ya Nak’, jaga diri baik-baik di sana. Harus sholat dan selalu ingat Tuhan.
Insya Allah, Dia akan selalu menjagamu.”
Air
mata menyapu wajah ibu dan dipeluk erat anak yang akan meninggalkan jauh, ke
Negara Timur. Arab Saudi.
Hhh,,,,
Sempat
menoleh ke belakang, berharap retina memandang senyuman maut si gingsul manis.
Tidak mungkin. Berita kepergian ini pun belum sampai di telinganya. Tega. Tapi
dia tidak akan mengijinkan. Lebih baik diam-diam, walau menyisakan sakit hati
yang tak mungkin terobati.
Maaf.
Benar-benar
mengarungi perjalanan jauh. Terpatri pikiran yang masih tertinggal. Setengah
hati.
Sewaktu
langit terasa dekat, hati baru merasakan jarak yang akan berkilo-kilo
memisahkan aku dan dia, pelepas dahaga di siang yang melahar, kesejukan dikekesalan.
Oh, apakah aku harus kembali? Tidak mungkin. Sementara impian dan tonggak
penyadaran tentang dirinya begitu berarti sekarang saling menantang. Deru angin
bersenandung bersama kapak pesawat tak dihiraukan. Ciutnya kebimbangan besar,
sulit hanya saja tetap harus dijalani. Aku
janji akan kembali Yudhi. Mencoba menyemai janji dan terrsenyum di satu
tetesan air bening di pipi. Tak kuasa tertahan membiarkan penumpang lain
seenaknya berpikir apapun. Barangkali karena baru muda sudah harus bekerja
keras dan merantau ke negeri orang, mungkin karena orang tua yang akan selalu
dirindukan atau benak yang berkata tidak tega meninggalkan cinta yang
ditinggalkan. Tapi yang pasti semuanya benar. Semoga Allah, menjagamu di sana.
Satu
tahun berlalu. Terputuskan kembali pulang menuntaskan sambutan ibu dan sanak
yang sudah lama memaksa kembali. Ia, kangen berat. Ingin meilihat lagi senyum
sang penyambung nyawa, penopang rindu dan penimang semangat, apalagi setengah
hati yang begitu meriuh-riuh di malam-malam tidur. Bu Khumairah, majikan baik
yang seperti guru menangis tersedu-sedu tapi tak mencoba menghalangi, lalu
memberikan segompoh uang-uang kertas bernilai. Membalas embun, menirai.
Menggapai tangan lembutnya, menciumnya dan mungkin untuk yang terakhir kali.
Sesampai menengadah, nyaris saja menganga tangisan persis seperti ibu yang
kutenangkan sebelum detik-detik kepergianku; rindu suatu saat akan bertemu
kembali dengan sang pemangku. Dari cahaya di roman Bu Khumairah tersungging
dikerekahan tangisan sambil dekapan membelai erat, seperti tak ingin lepas.
Kehangatan bukan hanya dari keluarga, melainkan orang lain yang bersyukur
adanya kita.
Negeri
ini mengajarkan aku banyak hal. Negeri yang berhasil pertama kali membuatku
pergi dari orang-orang tercinta. Negeri yang menyimpan banyak kenangan dan
selamanya tak akan terlupakan.
Hawa
siang mengalor. Mata saling bertautan. Cinta yang lama ditinggalkan – pemuda
bergingsul. Namun, jejakan kaki yang nyaris melangkahi kesukacitaan kerabat
tiba-tiba dihadang; ada emosi muncul. Lama berpandangan. Aku menangis dan dia
memendung. Pergi menjauh, ketika aku bangkit ingin meleraikan rindu berdurja di
malam-malam lalu. Apakah dia marah? Hanya pandangan tapi aku tahu. Ya. Tidak bisa
mengejar, ibu memanggil, “Tidak baik kamu pergi sekarang, kerabat datang karena
ada kamu.” Hanya mampu mendengus. Menitip salam di angin lalu, sekalipun marah
namun tahu masih ada rasa itu terhadapku. Keteduhan di roman wajah sang
pemangku, tak pernah berubah. Senyumnya setiap detik membuatku jatuh cinta, ke
dalam bunga-bunga kasmaran berwarna-warni.... Rasaku pun tak akan lekang oleh
waktu.
Sesampai
rembulan menjamah malam, Rian sahabatku dan sahabatnya juga, sudah menungguku
di beranda rumah. Ingin membantu mempertemukanku dengan Yudhi. Hari itu selalu
teringat, di mana buncahan air mata seorang pria meluap karena gadis sepertiku,
di mana setiap doa dalam sholatnya selalu ditorehkan nama Yuna, dan di mana dia
yang harusnya marah malah membujuk dengan berlutut. “Jangan pernah lagi
meninggalkanku, atau kau hanya akan melihat batu nisanku.” Seperti mimpi,
seharusnya aku yang mengatakan tak akan pernah meninggalkan cinta setulus
dirinya. Tak akan pernah, bahkan nyawa pun jadi taruhannya. Terlalu egois. Ia
benar-benar jujur, terkesima dan penyalahan diri merasuki. Ketika ia
terus-terusan berisak meminta maaf, aku langsung mengajak bangkit dan
menuturukan maaf yang memang seharusnya dari mulutku.
“Aku
janji tak akan pernah lagi meninggalkanmu, bahkan aku akan menempel padamu
seperti permen karet.”
“Kau
telah berjanji padaku, permen karetku.”
Tangannya
lembut memegang kepala yang ditutupi tudung hijau. Semburan tawa mengganti
kesedihan. Seperti rerun film atau sinetron, chemistry kami berulang:
perhatiannya dalam mengingatkan waktu sholat, senyumnya penawar gundah, percik
teduhan mata, rintihan tak menjemukkan dari telapak tangannya, derap disetiap
jantung yang terpompa persis seperti dulu.
Di
tengah pamungkas sinar bias, kemunculan wajah baru membenteng kisah yang
menuntun untuk menuju ke arah lain, dan menemukan sensasi dari rasa cinta lain.
Tertutur dalam palsu – dengan hati yang sebenarnya masih ada padanya seorang.
Reza,
hanya tahu aku seorang gadis berhijab yang tak punya siapapun di dalam hati. Ia
mendekat, mengundang tampikkan kebualan. Tapi retina tercekat. Angin laut
menderaskan air matanya. Jejakkan kaki terdengar mendekat, di bibir pantai biru
nan elok oleh sunset yang akan segera
terbit. Diantaranya.
“Ternyata
ini yang kamu lakukan di belakangku?”
Suara
luka begitu menyempit.
Berhari-hari,
kesalahan menyiasati tanpa bisa melolongkan nafas tanpa isakan. Ia selalu
menghindar dan tidak pernah bisa menatap secerah dulu. Peluh disekujur jiwa dan
raganya mungkin takkan pernah usai?
Akhirnya,
satu amplop bercat putih, dengan satu pita biru mengikat diterima ibu.
menyembul nama dari orang yang tak pernah kusangka, menirai sesal, merengek
tanpa bisa terkendali. Gemeretak hujan mengguyur, ah....... bukan di bumi, tapi
di batin. Rel-relnya terus berdentum beradu dengan penyalahan diri. Ya,
akhirnya tak ada kesempatan ketiga kali. Malam itu, fajar memanggilku untuk tak
berkedip, mengais titahan-titahan embun yang akan menalas di dahan hati. Aku
berharap walau dikerumunan sesal, semoga bahagia dengan pilihannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar