Perbuatan
bodoh ketika berseteru dengan pacar di masa-masa ujian akhir sekolah. Namun
bagaimana lagi? Pamugkasnya telah keluar. Yang seharusnya masih terkunci dengan
gembok tali ketulusan kini terbuka lebar-lebar dan salah sendiri membiarkan
orang-orang mencemooh.
Ada hikmah dibalik
semua kejadian, Yuni tidak harus membiarkan waktunya
disita oleh Reno yang terus-menerus memintanya jalan bersama. Sekarang, Yuni
bisa lebih fokus untuk belajar.
Pagi
buta gadis dengan jilbab kuning polos membalut di kepalanya sambil membawa
novel. Dengan sisa ingatannya, tentang Reno yang memberikannya bulan kemarin
saat resmi satu bulan pacaran. Tergesa-gesa dengan segera memasukkannya ke
dalam tas. Dan, terlambat, atmosfer kecemburuan menyesaki sesaat, retinanya
terbias nyata. Reno membonceng cewek lain, Sakinah sahabat sekaligus adik
kelasnya sendiri.
Ada cinta ada bahagia,
ada cinta ada sakit.
Yuni
meracau tentang apa yang barusan dialami. Tidak ada sakit yang paling perih,
melainkan melihat pacar direbut oleh sahabat sendiri. Bagaimana mungkin Sakinah
bisa melakukan ini? Dan, Yuni tidak punya pilihan selain percaya. Memang
belakangan ini Reno lebih sering terlihat bersama Sakinah yang sebelumnya tidak
pernah ditanggapi serius.
Saat
pertama kali dia ditembak oleh sosok berbadan tegap dan tinggi menjulang itu,
di kelas X Index 1 ketika anak-anak sudah pulang sekolah. Hanya satu permintaan
terpinta darinya sebagai syarat untuk menerima cinta.
“Kamu
harus mengikat hatimu dengan ikatan mati di hatiku. Jangan biarkan terlepas dan
mengikat kepada rajutan yang lain.”
Reno
mengangguk ditemani kerekahan sunggingan di wajah, dan bodohnya mengapa percaya
begitu saja. Untuk sekarang, tangisan menetralisir ingatan gila itu.
***
Keberanian
Yuni menemui Reno dan Sakinah di kantin sekolah – tapi butuh nyali besar
melakukan itu dan harus pantang dicerita orang – saat semua siswa sedang
melahap makanan, pengisi perut untuk mengikuti pelajaran berikutnya sampai jam
dua siang.
Tersadar
seharusnya dari awal dia tidak boleh menyusutkan hati di dalam ikatan mati itu.
Karena, kapan saja bisa longgar dan akhirnya putus. Tak ada kalimat berlebihan
dan hampir membuat malu dirinya. Hanya kata putus.... “Lebih baik kita akhiri
dan semoga saja kamu bahagia dengan pilihanmu.”
Mata
Yuni memerah, hampir saja retak dan membuncahkan air bening. Ia berlari,
sekencang mungkin. Sementara Sakinah yang sudah menganggap Yuni seperti kakak
dan sahabat sejati baru tersadar, Reno pembual belaka, palsu dalam tulus. Satu
tamparan mendarat di pipinya.
“Yun...
Yun.... maafkan aku.”
Selaksa
ditemani tangisan menyesal tersemai di sampul wajah Sakinah. Ketika ia duduk di
samping Yuni yang sedang berisak di deker – tempat duduk – di taman sekolah.
“Maaf
Yun, aku benar-benar gak tahu.”
Sakinah
mencoba menyentuh tangan sahabatnya. Masih hangat dan selamanya hangat.
“Katanya,
kamu cuma temannya, teman sekelas yang selalu sekelompok dengannya. Makanya
banyak menghabiskan waktu dengannya dulu. Dan, tidak ada hubungan special
apapun.”
Kini
Yuni menatap mata Sakinah.
“Aku
gak bohong Yun, dia yang bohong sama kita.”
Sakinah
mendekapnya dan dibalas dengan isakan kesedihan.
Kepercayaan, seorang
sahabat seharusnya dipercaya.
“Maafkan
aku juga, seharusnya aku tidak boleh meragukanmu.”
Tadi
pagi, Yuni meminta Tuhan untuk menelankannya ke dasar samudera.
Namun, kali ini inginnya terbawa ke taman sejuta impian bersama sahabatnya dan
tanpa cintanya. Bahkan terbersit dalam benaknya....
“Tidak ada tempat
hangat selain ibu dan keluarga, juga sahabat sejati seperti Sakinah yang akan
bersamanya menjemput impian.”
Tapi,
cintanya?
Cinta adalah anugerah
terindah yang diberikan Tuhan pada manusia. Akan ada waktunya, cinta tulus
dibalas ketulusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar