post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 23 Oktober 2017

Palsu dalam Tulus




Perbuatan bodoh ketika berseteru dengan pacar di masa-masa ujian akhir sekolah. Namun bagaimana lagi? Pamugkasnya telah keluar. Yang seharusnya masih terkunci dengan gembok tali ketulusan kini terbuka lebar-lebar dan salah sendiri membiarkan orang-orang mencemooh.
Ada hikmah dibalik semua kejadian, Yuni tidak harus membiarkan waktunya disita oleh Reno yang terus-menerus memintanya jalan bersama. Sekarang, Yuni bisa lebih fokus untuk belajar.

Pagi buta gadis dengan jilbab kuning polos membalut di kepalanya sambil membawa novel. Dengan sisa ingatannya, tentang Reno yang memberikannya bulan kemarin saat resmi satu bulan pacaran. Tergesa-gesa dengan segera memasukkannya ke dalam tas. Dan, terlambat, atmosfer kecemburuan menyesaki sesaat, retinanya terbias nyata. Reno membonceng cewek lain, Sakinah sahabat sekaligus adik kelasnya sendiri.
Ada cinta ada bahagia, ada cinta ada sakit.
Yuni meracau tentang apa yang barusan dialami. Tidak ada sakit yang paling perih, melainkan melihat pacar direbut oleh sahabat sendiri. Bagaimana mungkin Sakinah bisa melakukan ini? Dan, Yuni tidak punya pilihan selain percaya. Memang belakangan ini Reno lebih sering terlihat bersama Sakinah yang sebelumnya tidak pernah ditanggapi serius.
Saat pertama kali dia ditembak oleh sosok berbadan tegap dan tinggi menjulang itu, di kelas X Index 1 ketika anak-anak sudah pulang sekolah. Hanya satu permintaan terpinta darinya sebagai syarat untuk menerima cinta.
“Kamu harus mengikat hatimu dengan ikatan mati di hatiku. Jangan biarkan terlepas dan mengikat kepada rajutan yang lain.”
Reno mengangguk ditemani kerekahan sunggingan di wajah, dan bodohnya mengapa percaya begitu saja. Untuk sekarang, tangisan menetralisir ingatan gila itu.
***
Keberanian Yuni menemui Reno dan Sakinah di kantin sekolah – tapi butuh nyali besar melakukan itu dan harus pantang dicerita orang – saat semua siswa sedang melahap makanan, pengisi perut untuk mengikuti pelajaran berikutnya sampai jam dua siang.
Tersadar seharusnya dari awal dia tidak boleh menyusutkan hati di dalam ikatan mati itu. Karena, kapan saja bisa longgar dan akhirnya putus. Tak ada kalimat berlebihan dan hampir membuat malu dirinya. Hanya kata putus.... “Lebih baik kita akhiri dan semoga saja kamu bahagia dengan pilihanmu.”
Mata Yuni memerah, hampir saja retak dan membuncahkan air bening. Ia berlari, sekencang mungkin. Sementara Sakinah yang sudah menganggap Yuni seperti kakak dan sahabat sejati baru tersadar, Reno pembual belaka, palsu dalam tulus. Satu tamparan mendarat di pipinya.
“Yun... Yun.... maafkan aku.”
Selaksa ditemani tangisan menyesal tersemai di sampul wajah Sakinah. Ketika ia duduk di samping Yuni yang sedang berisak di deker – tempat duduk – di taman sekolah.
“Maaf Yun, aku benar-benar gak tahu.”
Sakinah mencoba menyentuh tangan sahabatnya. Masih hangat dan selamanya hangat.
“Katanya, kamu cuma temannya, teman sekelas yang selalu sekelompok dengannya. Makanya banyak menghabiskan waktu dengannya dulu. Dan, tidak ada hubungan special apapun.”
Kini Yuni menatap mata Sakinah.
“Aku gak bohong Yun, dia yang bohong sama kita.”
Sakinah mendekapnya dan dibalas dengan isakan kesedihan.
Kepercayaan, seorang sahabat seharusnya dipercaya.
“Maafkan aku juga, seharusnya aku tidak boleh meragukanmu.”
Tadi pagi, Yuni meminta Tuhan untuk menelankannya ke dasar samudera. Namun, kali ini inginnya terbawa ke taman sejuta impian bersama sahabatnya dan tanpa cintanya. Bahkan terbersit dalam benaknya....
“Tidak ada tempat hangat selain ibu dan keluarga, juga sahabat sejati seperti Sakinah yang akan bersamanya menjemput impian.”
Tapi, cintanya?
Cinta adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan pada manusia. Akan ada waktunya, cinta tulus dibalas ketulusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar