API
Kebencian bukanlah
penghalang hati nurani, tak akan membuat jiwa malaikatnya tertimbun dalam
petaka relung. Keikhlasan adalah obatnya
Kepala sudah terubruk beberapa telur yang dilempari
sesekolahan. Berselang air minuman yang mungkin sudah kadaluarsa, membuat semua
yang menciumnya akan merasa jijik. Ada pula yang mendekat lalu menumpah tepung
ke seluruh badannya. Hah. Dinikmati Kirana.
Sama sekali bukan temannya. Sama sekali tak ada rasa
iba. Embusan derita terakhir di sekolah, gadis itu berjalan terus di beranda
kelas menuju gerbang.
“Rasain kamu, itu hadiah terakhir dariku sebelum
kamu dilempar dari sekolah ini,” teraik Rini.
Hahahahaha. Sementara suara-suara jahat penuh
kemenangan di setiap harinya bersekolah masih terdengar sama.
Hujan turun padahal sebelumnya tak ada mendung
ataupun awan hitam.
Allah.
Terimakasihku padamu. Ternyata masih ada secercah harapan
dalam tangisan. Hujan datang membersihkan dirinya yang merasa sudah kotor.
Bukan hanya kotor fisik namun juga rasanya. Astagfirullah
al-adzim. Perlahan mengemas wajahnya dengans senyuman di balik titisan
hujan dan berurai air mata. Semuanya akan
berganti.
Kirana mulai berjalan di trotoar dan sekali lagi
menikmati udara hujan yang merongrong di segala jiwa dan raganya. Bahkan ketika
derita itu muncul lagi, sebuah motor besar melemparnya ke atas langit sampai
terjatuh lagi ke aspal yang sampai membentur dahinya, sampai membentuk bekas
untungnya masih tersadar.
“Hahahahahaha,” Ferdi tertawa setelah melakukannya.
Seolah sudah merasa puas.
Oh, dilihatnya dengan tatapan sayup membuat Ferdi
perlahan merasa iba. Kenyataannya setelah melakukan kejahatan, baru kali ini direspon
dengan mata indah. Jantungnya merasakan sesuautu, padahal terhalang oleh
tetesan-tetesan hujan hanya saja kenapa terlihat jelas?
Sial.
Ferdi
turun dari motornya, kemudian menarik gadis itu ke atas motornya. Tak ada
penolakan ataupun permohonan untuk tidak disiksa seperti biasanya. Tanpa sadar
sudah ada di depan bangunan megah, yang berbau obat-obatan. Rumah Sakit
Santika.
Begitu beda dengan biasanya.
Debar di dadanya masih berlanjut. Tanpa mengingat
dosa-dosa yang telah dilakukan padanya bahkan paling besar kejadian tadi malam.
Ferdi menunggu gadis itu tertidur setelah dokter menyarankan untuk istirahat
sejenak sebelum kembali ke rumah. Dia menatap lembut gadisnya, kenapa bisa
senyuman Kirana yang malang membuatnya tiba-tiba sesak? Ada apa dengan hatinya?
Bukankah seharusnya perlu memaksakan diri juga ke dokter? Sial. Ferdi tidak
bisa mengontrol hati.
***
Kenapa asap berhamburan? Kenapa banyak sekali bunyik
kaki yang berlari?
“Fer... Ayo kita lari dari sini! Rumah sakit ini
kebakaran,” Kirana menariknya ke luar ruangan.
Mereka berada di lantai tiga. Secepatnya mencari
lift untuk sampai ke bawah, hanya saja ketika membuka lift hanya tersisa satu
tempat saja. Sudah banyak orang yang berwajah panik di dalamnya melihat dan
memaksa memutuskan siapa yang ikut dan siapa yang tidak.
“Fer, kamu aja duluan. Nanti aku nyusul menunggu
atau bisa lewat tangga darurat,” jelas Kirana.
“Tapi....,” sebelum pembicaraannya selesai, Kirana
langsung mendorongnya masuk ke himpitan orang-orang yang merasa panik. Salah
satu diantaranya kemudian memencet tombol yang menurunkan mereka ke lantai
satu.
Ferdi merasa bersalah dan ragu-ragu melangkah ke
luar rumah sakit itu. Sampai ada
peringatan untuk segera menjauh dari rumah sakit yang sebentar lagi akan
meledak, dan detik berikutnya ledakan dahsyat memenuhi semua telinga.
KIRANA..... Ferdi berteriak sejadi-jadinya. Air matanya meleleh dan
badannya terhalang petugas pemadam kebakaran yang menghalaunya masuk di dalam
api menyala.
Pict source: akaruidays.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar