post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Selasa, 07 November 2017

Baiduri (5)



API
Kebencian bukanlah penghalang hati nurani, tak akan membuat jiwa malaikatnya tertimbun dalam petaka relung. Keikhlasan adalah obatnya


Kepala sudah terubruk beberapa telur yang dilempari sesekolahan. Berselang air minuman yang mungkin sudah kadaluarsa, membuat semua yang menciumnya akan merasa jijik. Ada pula yang mendekat lalu menumpah tepung ke seluruh badannya. Hah. Dinikmati Kirana.

Sama sekali bukan temannya. Sama sekali tak ada rasa iba. Embusan derita terakhir di sekolah, gadis itu berjalan terus di beranda kelas menuju gerbang.
“Rasain kamu, itu hadiah terakhir dariku sebelum kamu dilempar dari sekolah ini,” teraik Rini.
Hahahahaha. Sementara suara-suara jahat penuh kemenangan di setiap harinya bersekolah masih terdengar sama.
Hujan turun padahal sebelumnya tak ada mendung ataupun awan hitam.
Allah. Terimakasihku padamu. Ternyata masih ada secercah harapan dalam tangisan. Hujan datang membersihkan dirinya yang merasa sudah kotor. Bukan hanya kotor fisik namun juga rasanya. Astagfirullah al-adzim. Perlahan mengemas wajahnya dengans senyuman di balik titisan hujan dan berurai air mata. Semuanya akan berganti.
Kirana mulai berjalan di trotoar dan sekali lagi menikmati udara hujan yang merongrong di segala jiwa dan raganya. Bahkan ketika derita itu muncul lagi, sebuah motor besar melemparnya ke atas langit sampai terjatuh lagi ke aspal yang sampai membentur dahinya, sampai membentuk bekas untungnya masih tersadar.
“Hahahahahaha,” Ferdi tertawa setelah melakukannya. Seolah sudah merasa puas.
Oh, dilihatnya dengan tatapan sayup membuat Ferdi perlahan merasa iba. Kenyataannya setelah melakukan kejahatan, baru kali ini direspon dengan mata indah. Jantungnya merasakan sesuautu, padahal terhalang oleh tetesan-tetesan hujan hanya saja kenapa terlihat jelas?
Sial. Ferdi turun dari motornya, kemudian menarik gadis itu ke atas motornya. Tak ada penolakan ataupun permohonan untuk tidak disiksa seperti biasanya. Tanpa sadar sudah ada di depan bangunan megah, yang berbau obat-obatan. Rumah Sakit Santika.
Begitu beda dengan biasanya.
Debar di dadanya masih berlanjut. Tanpa mengingat dosa-dosa yang telah dilakukan padanya bahkan paling besar kejadian tadi malam. Ferdi menunggu gadis itu tertidur setelah dokter menyarankan untuk istirahat sejenak sebelum kembali ke rumah. Dia menatap lembut gadisnya, kenapa bisa senyuman Kirana yang malang membuatnya tiba-tiba sesak? Ada apa dengan hatinya? Bukankah seharusnya perlu memaksakan diri juga ke dokter? Sial. Ferdi tidak bisa mengontrol hati.
***
Kenapa asap berhamburan? Kenapa banyak sekali bunyik kaki yang berlari?
“Fer... Ayo kita lari dari sini! Rumah sakit ini kebakaran,” Kirana menariknya ke luar ruangan.
Mereka berada di lantai tiga. Secepatnya mencari lift untuk sampai ke bawah, hanya saja ketika membuka lift hanya tersisa satu tempat saja. Sudah banyak orang yang berwajah panik di dalamnya melihat dan memaksa memutuskan siapa yang ikut dan siapa yang tidak.
“Fer, kamu aja duluan. Nanti aku nyusul menunggu atau bisa lewat tangga darurat,” jelas Kirana.
“Tapi....,” sebelum pembicaraannya selesai, Kirana langsung mendorongnya masuk ke himpitan orang-orang yang merasa panik. Salah satu diantaranya kemudian memencet tombol yang menurunkan mereka ke lantai satu.
Ferdi merasa bersalah dan ragu-ragu melangkah ke luar rumah sakit itu. Sampai ada peringatan untuk segera menjauh dari rumah sakit yang sebentar lagi akan meledak, dan detik berikutnya ledakan dahsyat memenuhi semua telinga.
KIRANA..... Ferdi berteriak  sejadi-jadinya. Air matanya meleleh dan badannya terhalang petugas pemadam kebakaran yang menghalaunya masuk di dalam api menyala.


Pict source: akaruidays.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar