post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 06 November 2017

IRHAS



“Duka tentang cinta berpulang bukanlah akhir kisah kita
Mungkin di waktu kelak Tuhan mempertemukan kita”

 
Aku Sakinah. Dan hidupku penuh dengan cinta. Keluarga yang penuh kasih sayang senantiasa melindungi, meskipun kadangkala mengusik dan meresahkan. Sahabat-sahabat tak lekang menemani, layaknya sodara suka dan duka bersama. Ramlah, Rani dan Niru.
Pangeran hati? Kadangkala aku mendengar suara-suara sumbang di sana, hanya tahu mengomentari orang dari luar tanpa mencoba menerka dari dalam. “Sakinah itu playgirl, gonta-ganti pacar mentang-mentang cantik.” Hah. Sangat menganggu.
Setidaknya hidup itu memang akan selalu menemui masalah. Tidak perlu dan gentar, sebab kepercayaan tentang kebenaran terungkap pada waktunya. Tuhan selalu punya rencana bagi hamba yang bersabar. Selama  bualan-bualan itu hanyalah omong kosong tidak usah menanggapi, mereka akan berhenti dengan sendirinya. Hadapi senyuman. Dan, membalas hanya akan memperkeruh keadaan. Seperti api yang dibalas dengan api, bukankah akan tambah membakar. Kalau disirami air, itu yang terbaik.
***
Aku berjalan pelan sambil mengembuskan kekesalan. Menggerutu. Ah, tidak. Meskipun sangat menjengkelkan. Air di rumah tidak mengalir, terpaksa harus mengambil langkah seribu, menyeberang jalan raya supaya menumpang mandi di rumah sahabat sekaligus sepupu, Ramlah. Sebenarnya ini bukan pertama kali, hanya saja kali ini berbeda. Sedang ada acara di rumahnya, acara pinangan kakaknya, Amma.
“Sakina.....”
Ramlah melihat di jendela rumah, melambaikan tangan terus mengkode dengan alis tebalnya untuk lebih mempercepat langkah. Aku merapikan jilbab yang tertiup angin, sebelum masuk ke rumahnya.
“Assalamualaikum....”
“Waalaikumsalah..... Mari masuk,” Ibu Ramlah mempersilahkan.
Kikuk sekali. Bagaimana tidak, banyak mata-mata memandang dan seolah tak perduli langsung masuk ke ruang tengah bersama Ramlah.
Irhas terpaku di tempatnya. Pelan, mengusap matanya beberapa kali. Seperti di dalam mimpi, gadis yang dilihatnya menangis tersedu-sedu memandang pemudanya bergandengan dengan yang lain, sigap dan menggambarkan pahlawan dia hadir memberikan sapu tangan, lalu memberikan payung hijau saat hujan yang tiba-tiba datang menyambar. Tangisan berubah sunggingan menawan. Ya, sunggingan menawan, persis sama tidak mungkin dilupa. Berharap mimpi akan jadi kenyataan setelah sekian lama menunggu, hingga akhirnya di tanah mandar bertemu dengan impian. Mungkinkah ini jawaban dari doa-doanya. Setetlah sekian lama sendiri.
“Bolehkah aku meminta nomornya?” memohon.
Hehehehe. Blak-blakan, baru kali ini bertemu dengan sosok pemuda yang tak canggung. Tidakkah malu mengungkap isi hati di depan orang lain.
“Sakinah, gimana? Boleh tidak Irhas menyimpan nomormu?”
Deg-deg-gan. Hanya menunduk, tersenyum tipis menyembunyikan wajah malu. Untung sudah mandi, kalau tidak pasti akan lama sekali di kamar mandi, takut keluar.
“Wajah kamu merah? Apakah kamu merasakan hal yang sama?” Ramlah seperti makin menjadi-jadi.
Buru-buru Sakinah mencubitnya.
“Ok.... Ok... Tapi bolehkah dia mengambil nomormu?”
Tak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibirnya, pun masih tetap menunduk.
Masya Allah. Rupanya sangat menjaga pandangan, berbeda dengan gadis yang ditemuinya selama ini. Sakinah sangat istimewa. Apakah mungkin bisa mendekatnya? Pemuda biasa yang sering lupa dengan kabaikan Tuhan-Nya. Astgafirullah.
Tuhan selalu Maha Baik, bahkan sekarang mempertemukan dengan belahan jiwa.
“Kalau diam berarti mau ya,” seenaknya Irhas mengambil kesimpulan.
***
Hari-hari serupa tinggal di kerajaan langit. Melihat bumi dari kejauhan sungguh indah, dekat dengan hujan yang menyejukkan dan meskipun matahari lebih dekat menyengat, pun angin yang membelai menghempaskan semuanya. Dan, bersama kaisar menempuh impian hidup sejati. Hah. Meraih ridho Allah bersamanya.
Alhamdulillah.
Semenjak kehadirannya, Irhas perlahan dekat dengan Tuhan. Mata hatinya terbuka, Cinta Allah lebih besar kepada-Nya dibanding cintanya kepada Sakina.
Pernah suatu malam, terbangun di kala anggota keluarga Ramlah yang lain sibuk dengan tidurnya, mengambil sedikit air untuk bersuci, membasuh tangan sampai prosesi terkahir dalam wudhu, kedua kaki. Dengan berjalan pelan mengambil sarun, kopiah, dan sajadah. Kemudian, di ruangan masjid yang ukuran 4x3 meter hanya bisa dua orang yang melaksanakan sholat di dalamnya. Dan, terperanjat dalam dosa-dosa di masa lalu, bahkan hari sebelumnya.
Selama ini hanya mementingkan sendiri, tanpa pernah perduli Sang Pemberi Kasih. Selama ini hanya tersentuh urusan dunia, bahkan sangat fanatik. Tidak terbersit keinginan untuk meraih cinta sang Ilahi. Hah. Menangis dalam-dalam. Sadar dirinya berlumur dosa.
Bersama waktu yang akan terus mengalir, merubah diri sudah seharusnya dilakukan. Taubat Nasuha. Taubat sungguh-sungguh.
Bersyukur sudah mempertemukannya dengan sosok gadis seperti Sakinah, seperti pelita di pekat gelap. Dan, kalau Tuhan mempercayakan dia menjadi Adamnya, berjanji dengan sepenuh hati akan menjaganya dengan baik, akan bersama meraih ridho-Nya.
Terkejut. Tiba-tiba di sampingnya ada sebuah tissu. Celingak-celinguk, sepertinya ada orang yang sadar tentang dirinya yang terbangun melaksanakan sholat lail.
Apakah mungkin Sakina? Kebetulan malam ini, juga bermalam di rumah Ramlah, menghitung acara pernikahannya kakak tinggal dua hari lagi dan banyak persiapan yang harus dilakukan. Mungkinkah? Semoga saja.  Irhas penuh harap.
***
Irhas tersenyum lebar.
“Makasih sudah mendegarkan isi hatiku.”
“Ia kak. Tapi maaf ya. Meskipun sebenarnya aku juga menyukai kakak.”
“Lantas kenapa dek tidak mau berpacaran dengan kakak?” Irhas mempertanya sebenarnya apa maksud Sakina. Punya perasaan serupa, hanya saja tak bisa menerima status yang katanya anak muda sekarang lagi ngetrand-trannya. “Jawab kakak dek!” timbunan pertanyaan membuatnya penasaran dan seolah bernada memaksa. “Aku mohon dek, apa maksud dari perkataanmu sebelumnya, menyukai kakak hanya saja tak bisa membalas.”
Situasi hening. Mungkin terlalu memaksa. Untungnya......
“Islam tak pernah mengatakan boleh pacaran kakak. Apalagi kita tahu, pacaran jaman sekarang seolah menjadi sepasang istri, bisa kemana-mana berdua-duaan. Selalu mengantar sang pacar pulang-pergi misalnya sekolah. Dan, masih banyak lagi yang menurut perspektifku sangat berbeda dengan aturan Islam dalam bergaul dengan lawan jenis.”
Irhas lagi terpaku. Masya Allah. Gadis dihadapannya benar-benar menjaga diri. Sangat salah dan pasti menyesal kalau melepasnya.
“Lantas bagaimana aturan dalam Islam dek masalah bergaul dengan lawan jenis?”
Sekali-kali mengangkat dagu, namun secepat kilat pula Sakina menjaga pandangan angar tak bersentuhan mata terlalu lama.
“Kak, Islam memperbolehkan taaruf, bagi yang benar-benar ingin serius dalam berhubungan.”
“Apakah taaruf itu dek?”
“Taaruf itu adalah proses pengenalan bagi dua insan yang serius ingin melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.”
Irhas mengangguk pelan. Sungguh masih banyak yang harus dipelajarinya. Dan, beruntung sekali bertemu Sakinah beberapa bulan yang lalu, kini bacaan Alqurannya pun kembali normal, tidak buta lagi karena sebelumnya hampir tidak pernah menyempatkan waktu membaca.
Ramlah yang sibuk dengan handphonenya dari tadi, tidak mendengar percakapan antara sahabatnya dengan Irhas.
“Kalian membicarakan apa sih?” Ramlah penasaran padahal sebelumnya berada di antara mereka.
Hanya senyam-senyum, kemudian Sakina menarik Ramlah menuju dapur meninggalkan Irhas yang masih berpikir persoalan tadi.
Allah...... Gadis sholehah. Tidak pernah berhenti berpikir kebaikannya dan cahaya selalu menuntun ke arah lebih baik. Bagaimana bisa mendapatkannya? Tak akan membiarkannya terlalu lama menunggu. Pekik Irhas dalam batin.
***
Alhamdulillah. Acara sunnatan adik Ramlah selesai juga dengan Himkah. Wira, sebelumnya sangat takut tapi karena bujukan Irhas, sepupu dari Bapaknya (Sakina, sepupu dari ibunya) berhasil membuatnya mau mengikuti kewajiban seorang muslim yang akan baligh.
“Islam mengajarkan bahwa setiap anak yang beranjak baligh, harus disunnat. Itu sudah merupakan ketentuan. Bukankan kamu ingin menjadi ummat Nabi Muhammad yang sah?”
Wira mengangguk pelan, masih dalam ketakutan.
“Kalau begitu, kamu harus disunnat. Percaya sama kakak, itu tidak akan sakit. Coba lihat kakak sekarang, sehat-sehat saja kan. Dan ganteng malah. Padahal kakak juga dulu disunat, sama seperti kamu.”
Beberapa orang yang mendengar merasa geli, terutama kata ganteng.... termasuk Sakina sambil memberikan tanda jempol.
Allah. Dia senyum karenaku, ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum karenaku. Sungguh, aku ingin sekali selalu melukiskan senyum itu di wajahnya. Ingin membahagiakannya.
Sakina yang terjaga cepat-cepat menunddukan wajah.
Selalu menjaga diri.
Allah, biarkanlah hati ini terus mencintainya, karena aku percaya ini adalah takdirmu yang indah. Dan, semoga selalu indah.
***
Benarkah?
Gadis itu masihs sering menunduk setiap kali mendengarnya bicara, hanya saja mimiknya berbeda. Ada kesedihan tergambar. Mungkinkah merasa kehilangan akan jarak yang sebentar lagi ditempuh? Mungkinkah akan ada kerinduan?
Ada handphone untuk smsan, bahkan sampai berbicara via imo.
Detik berikutnya Irhas menanyakan apakah boleh mengganggu harinya setiap malam, sekedar menanyakan kabar ataupun rindu dengan nada bercanda yang hanya direspon dengan mimik kesedihan.
Gamang, Sakina terbawa pada cerita indah beberapa hari ini yang dirasakan teramat manis. Perubahan drastis Irhas, sholat terjaga, sudah kembali pintar membaca firman Allah dan sikap yang selalu romantis.
Bagaimana tidak akan sedih ditinggalkan secepat itu?
Irhas pemuda yang memang hadir pertama kali dihidupnya memberikan warna-warni, kelembutan dan sikap blak-blakkan, apalagi tekad besar memperdalam agama Islam menyentuh relung hati terdalam.
“Sakinah.....?”
Sakinah sedikit mendongak, namun secepatnya terjaga kemudian mengangguk pelan.
“Baiklah, tentu saja kalau boleh menggangguku lagi. Senang hati aku akan meladenimu. Tapi aku punya beberapa syarat untukmu.”
“Katanya senang hati, koq pakai syarat?”
“Mau tidak? Kalau tidak mau ya sudah?”
“Jangan tinggalkan sholat. Tetaplah belajar mengaji. Jangan lupa perbanyak hafal ayat Alquran, apalagi nanti kamu sebagai imam dalam keluargamu dan....”
Belum selesai, Irhas memotong. “keluarga kita.....”
Membuat gadis berjihab bulshing. Pipinya memerah. Sementara Ramlah masih terus sibuk dengan ponselnya.
“Koq kalian diam?” tiba-tiba dia terjaga, karena tak mendengarkan percakapan lagi.
Irhas terbawa pada suasana hening. Pun Sakina.
***
Allah. Kenapa begitu cepat mengambilnya? Di saat mulai mengerti tentang cinta. Di saat benar-benar hati ini menerimanya, bahkan dia sudah memiliki niat tulus.
“Jangan terlalu berlebihan yang pikir. Aku ke kampung halaman hari ini untuk berusaha keras mempersiapkan banyak hal untuk meminangmu tahun depan,” ucapnya dengan mantap, bahkan sampai di dengar ibu dan ayah Sakinah yang ditanggapi hanya senyum.
Suara guntur menengadah. Sebentar lagi hujan deras akan membasahi bumi, seperti air mata Sakina sekarang menatap sakit batu nisan yang terukir nama Irhas. Masih tercium aroma bunga yang ditaburi di atasnya.
Tak boleh menangis. Islam sangat melarang perempuan berlakon histeris di kuburan, sekalipun kepada orang yang dicintai.
Hanya saja terlalu sakit, masih ingin menatap wajahnya sekali lagi dengan nyata. Masih ingin melihat senyumnya. Masih ingin belajar bersama ilmu agama. Bahkan ingin bahagia bersama di kehidupan yang akan datang. Dia sudah berjanji akan meminang tahun depan, lantas kenapa maut memisahkan?
Irhas... Irhas.... Irhas..... rintihan hati Sakina memanggil.
Ramlah memegang pundak sahabatnya, kemudian mengajaknya pulang.
“Ijinkan aku sebentar lagi berada di sini,” Sakina memandang, kini dengan lelehan air mata.
“Baiklah,” kemudian Ramlah memalingkan badan.
Memberikan waktu sedikit untuk Sakinah dan lebih baik menunggunya di depan jalan. Mungkin butuh waktu menenangkan diri. Walaupun sesungguhnya merasakan kehilangan, sosok sepupu yang sangat baik seperti Irhas.
Dan, air mata itu secepat kilat ditepis. Kemudian menyemburkan senyuman. Pasti Irhas tidak ingin melihat ada kesedihan tersampul di wajahnya. Ingin selalu dia bahagia seperti bunga indah bermekaran di taman.
Bagaimana mungkin? Apa lagi ketika berada di depan kuburan orang yang sudah berjanji bahagia bersama.
Allah akan memberikan cobaan bagi hamba yang sudah pasti bisa melewatinya. Perkataan Ramlah sebenarnya selalu terngiang di telinganya, tetapi belum mampu menghilangkan kesedihannya.
Dia satu-satunya pemuda yang terkenal berani menyatakan perasaan, tak penting baginya diterima atau ditolak dan dia satu-satunya pemuda yang dikenal memiliki niat besar menjaga cintanya dengan berniat menikahi secepatnya.
“Kamu harus sadar, kehidupanmu masih harus terus berjalan. Di alam sana, pasti Irhas juga sedih melihatmu terpuruk seperti ini,” Ramlah tegas.
Terpuruk? Astagfirullah. Bukan yang itu diinginkan.
***
Malam menjelma. Sakina keluar di selasar rumahnya memandang langit  yang berbintang. Indah. Ternyata masih ada keindahan di kegelapan. Termasuk hidupnya, masih ada kenangan indah tentang yang akan disimpannya rapi seumur hidup.
Sakina berjanji melawan kesedihan. Bangun dari mimpi buruk. Allah pasti akan selalu bersamanya. Bagi hamba-hamba yang bersabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar