“Duka tentang cinta
berpulang bukanlah akhir kisah kita
Mungkin di waktu kelak
Tuhan mempertemukan kita”
Aku Sakinah. Dan hidupku penuh
dengan cinta. Keluarga yang penuh kasih sayang senantiasa melindungi, meskipun
kadangkala mengusik dan meresahkan. Sahabat-sahabat tak lekang menemani,
layaknya sodara suka dan duka bersama. Ramlah, Rani dan Niru.
Pangeran hati?
Kadangkala aku mendengar suara-suara sumbang di sana, hanya tahu mengomentari
orang dari luar tanpa mencoba menerka dari dalam. “Sakinah itu playgirl,
gonta-ganti pacar mentang-mentang cantik.” Hah. Sangat menganggu.
Setidaknya hidup itu memang akan
selalu menemui masalah. Tidak perlu dan gentar, sebab kepercayaan tentang
kebenaran terungkap pada waktunya. Tuhan selalu punya rencana bagi hamba yang
bersabar. Selama bualan-bualan itu
hanyalah omong kosong tidak usah menanggapi, mereka akan berhenti dengan
sendirinya. Hadapi senyuman. Dan, membalas hanya akan memperkeruh keadaan.
Seperti api yang dibalas dengan api, bukankah akan tambah membakar. Kalau
disirami air, itu yang terbaik.
***
Aku berjalan pelan sambil
mengembuskan kekesalan. Menggerutu. Ah, tidak. Meskipun sangat menjengkelkan.
Air di rumah tidak mengalir, terpaksa harus mengambil langkah seribu,
menyeberang jalan raya supaya menumpang mandi di rumah sahabat sekaligus
sepupu, Ramlah. Sebenarnya ini bukan pertama kali, hanya saja kali ini berbeda.
Sedang ada acara di rumahnya, acara pinangan kakaknya, Amma.
“Sakina.....”
Ramlah melihat di jendela rumah,
melambaikan tangan terus mengkode dengan alis tebalnya untuk lebih mempercepat
langkah. Aku merapikan jilbab yang tertiup angin, sebelum masuk ke rumahnya.
“Assalamualaikum....”
“Waalaikumsalah..... Mari masuk,”
Ibu Ramlah mempersilahkan.
Kikuk sekali. Bagaimana tidak,
banyak mata-mata memandang dan seolah tak perduli langsung masuk ke ruang
tengah bersama Ramlah.
Irhas terpaku di tempatnya. Pelan,
mengusap matanya beberapa kali. Seperti di dalam mimpi, gadis yang dilihatnya
menangis tersedu-sedu memandang pemudanya bergandengan dengan yang lain, sigap
dan menggambarkan pahlawan dia hadir memberikan sapu tangan, lalu memberikan
payung hijau saat hujan yang tiba-tiba datang menyambar. Tangisan berubah
sunggingan menawan. Ya, sunggingan menawan, persis sama tidak mungkin dilupa. Berharap
mimpi akan jadi kenyataan setelah sekian lama menunggu, hingga akhirnya di
tanah mandar bertemu dengan impian. Mungkinkah ini jawaban dari doa-doanya.
Setetlah sekian lama sendiri.
“Bolehkah aku meminta nomornya?”
memohon.
Hehehehe. Blak-blakan, baru kali
ini bertemu dengan sosok pemuda yang tak canggung. Tidakkah malu mengungkap isi
hati di depan orang lain.
“Sakinah, gimana? Boleh tidak Irhas
menyimpan nomormu?”
Deg-deg-gan. Hanya menunduk,
tersenyum tipis menyembunyikan wajah malu. Untung sudah mandi, kalau tidak
pasti akan lama sekali di kamar mandi, takut keluar.
“Wajah kamu merah? Apakah kamu
merasakan hal yang sama?” Ramlah seperti makin menjadi-jadi.
Buru-buru Sakinah mencubitnya.
“Ok.... Ok... Tapi bolehkah dia
mengambil nomormu?”
Tak ada sepatah katapun yang
terlontar dari bibirnya, pun masih tetap menunduk.
Masya
Allah. Rupanya sangat menjaga pandangan, berbeda dengan
gadis yang ditemuinya selama ini. Sakinah sangat istimewa. Apakah mungkin bisa mendekatnya? Pemuda biasa yang sering lupa dengan
kabaikan Tuhan-Nya. Astgafirullah.
Tuhan
selalu Maha Baik, bahkan sekarang mempertemukan dengan belahan jiwa.
“Kalau diam berarti mau ya,”
seenaknya Irhas mengambil kesimpulan.
***
Hari-hari serupa tinggal di
kerajaan langit. Melihat bumi dari kejauhan sungguh indah, dekat dengan hujan
yang menyejukkan dan meskipun matahari lebih dekat menyengat, pun angin yang
membelai menghempaskan semuanya. Dan, bersama kaisar menempuh impian hidup
sejati. Hah. Meraih ridho Allah bersamanya.
Alhamdulillah.
Semenjak kehadirannya, Irhas
perlahan dekat dengan Tuhan. Mata hatinya terbuka, Cinta Allah lebih besar
kepada-Nya dibanding cintanya kepada Sakina.
Pernah suatu malam, terbangun di
kala anggota keluarga Ramlah yang lain sibuk dengan tidurnya, mengambil sedikit
air untuk bersuci, membasuh tangan sampai prosesi terkahir dalam wudhu, kedua
kaki. Dengan berjalan pelan mengambil sarun, kopiah, dan sajadah. Kemudian, di
ruangan masjid yang ukuran 4x3 meter hanya bisa dua orang yang melaksanakan
sholat di dalamnya. Dan, terperanjat dalam dosa-dosa di masa lalu, bahkan hari
sebelumnya.
Selama ini hanya mementingkan
sendiri, tanpa pernah perduli Sang Pemberi Kasih. Selama ini hanya tersentuh
urusan dunia, bahkan sangat fanatik. Tidak terbersit keinginan untuk meraih
cinta sang Ilahi. Hah. Menangis dalam-dalam. Sadar dirinya berlumur dosa.
Bersama waktu yang akan terus
mengalir, merubah diri sudah seharusnya dilakukan. Taubat Nasuha. Taubat
sungguh-sungguh.
Bersyukur sudah mempertemukannya
dengan sosok gadis seperti Sakinah, seperti pelita di pekat gelap. Dan, kalau
Tuhan mempercayakan dia menjadi Adamnya, berjanji dengan sepenuh hati akan
menjaganya dengan baik, akan bersama meraih ridho-Nya.
Terkejut. Tiba-tiba di sampingnya
ada sebuah tissu. Celingak-celinguk, sepertinya ada orang yang sadar tentang
dirinya yang terbangun melaksanakan sholat
lail.
Apakah
mungkin Sakina? Kebetulan malam ini, juga bermalam di
rumah Ramlah, menghitung acara pernikahannya kakak tinggal dua hari lagi dan
banyak persiapan yang harus dilakukan. Mungkinkah?
Semoga saja. Irhas penuh harap.
***
Irhas tersenyum lebar.
“Makasih sudah mendegarkan isi
hatiku.”
“Ia kak. Tapi maaf ya. Meskipun
sebenarnya aku juga menyukai kakak.”
“Lantas kenapa dek tidak mau
berpacaran dengan kakak?” Irhas mempertanya sebenarnya apa maksud Sakina. Punya
perasaan serupa, hanya saja tak bisa menerima status yang katanya anak muda
sekarang lagi ngetrand-trannya.
“Jawab kakak dek!” timbunan pertanyaan membuatnya penasaran dan seolah bernada
memaksa. “Aku mohon dek, apa maksud dari perkataanmu sebelumnya, menyukai kakak
hanya saja tak bisa membalas.”
Situasi hening. Mungkin terlalu memaksa. Untungnya......
“Islam tak pernah mengatakan boleh
pacaran kakak. Apalagi kita tahu, pacaran jaman sekarang seolah menjadi
sepasang istri, bisa kemana-mana berdua-duaan. Selalu mengantar sang pacar
pulang-pergi misalnya sekolah. Dan, masih banyak lagi yang menurut perspektifku
sangat berbeda dengan aturan Islam dalam bergaul dengan lawan jenis.”
Irhas lagi terpaku. Masya Allah. Gadis dihadapannya
benar-benar menjaga diri. Sangat salah dan pasti menyesal kalau melepasnya.
“Lantas bagaimana aturan dalam
Islam dek masalah bergaul dengan lawan jenis?”
Sekali-kali mengangkat dagu, namun
secepat kilat pula Sakina menjaga pandangan angar tak bersentuhan mata terlalu
lama.
“Kak, Islam memperbolehkan taaruf,
bagi yang benar-benar ingin serius dalam berhubungan.”
“Apakah taaruf itu dek?”
“Taaruf itu adalah proses
pengenalan bagi dua insan yang serius ingin melanjutkan hubungan ke jenjang
pernikahan.”
Irhas mengangguk pelan. Sungguh
masih banyak yang harus dipelajarinya. Dan, beruntung sekali bertemu Sakinah
beberapa bulan yang lalu, kini bacaan Alqurannya pun kembali normal, tidak buta
lagi karena sebelumnya hampir tidak pernah menyempatkan waktu membaca.
Ramlah yang sibuk dengan
handphonenya dari tadi, tidak mendengar percakapan antara sahabatnya dengan
Irhas.
“Kalian membicarakan apa sih?”
Ramlah penasaran padahal sebelumnya berada di antara mereka.
Hanya senyam-senyum, kemudian
Sakina menarik Ramlah menuju dapur meninggalkan Irhas yang masih berpikir
persoalan tadi.
Allah......
Gadis sholehah. Tidak pernah berhenti
berpikir kebaikannya dan cahaya selalu menuntun ke arah lebih baik. Bagaimana
bisa mendapatkannya? Tak akan membiarkannya terlalu lama menunggu. Pekik
Irhas dalam batin.
***
Alhamdulillah. Acara sunnatan adik
Ramlah selesai juga dengan Himkah. Wira, sebelumnya sangat takut tapi karena
bujukan Irhas, sepupu dari Bapaknya (Sakina, sepupu dari ibunya) berhasil
membuatnya mau mengikuti kewajiban seorang muslim yang akan baligh.
“Islam mengajarkan bahwa setiap
anak yang beranjak baligh, harus disunnat. Itu sudah merupakan ketentuan.
Bukankan kamu ingin menjadi ummat Nabi Muhammad yang sah?”
Wira mengangguk pelan, masih dalam
ketakutan.
“Kalau begitu, kamu harus disunnat.
Percaya sama kakak, itu tidak akan sakit. Coba lihat kakak sekarang,
sehat-sehat saja kan. Dan ganteng malah. Padahal kakak juga dulu disunat, sama
seperti kamu.”
Beberapa orang yang mendengar
merasa geli, terutama kata ganteng.... termasuk
Sakina sambil memberikan tanda jempol.
Allah.
Dia senyum karenaku, ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum karenaku.
Sungguh, aku ingin sekali selalu melukiskan senyum itu di wajahnya. Ingin
membahagiakannya.
Sakina yang terjaga cepat-cepat
menunddukan wajah.
Selalu menjaga diri.
Allah,
biarkanlah hati ini terus mencintainya, karena aku percaya ini adalah takdirmu
yang indah. Dan, semoga selalu indah.
***
Benarkah?
Gadis itu masihs sering menunduk
setiap kali mendengarnya bicara, hanya saja mimiknya berbeda. Ada kesedihan
tergambar. Mungkinkah merasa kehilangan
akan jarak yang sebentar lagi ditempuh? Mungkinkah akan ada kerinduan?
Ada handphone untuk smsan, bahkan
sampai berbicara via imo.
Detik berikutnya Irhas menanyakan
apakah boleh mengganggu harinya setiap malam, sekedar menanyakan kabar ataupun
rindu dengan nada bercanda yang hanya direspon dengan mimik kesedihan.
Gamang, Sakina terbawa pada cerita
indah beberapa hari ini yang dirasakan teramat manis. Perubahan drastis Irhas,
sholat terjaga, sudah kembali pintar membaca firman Allah dan sikap yang selalu
romantis.
Bagaimana
tidak akan sedih ditinggalkan secepat itu?
Irhas pemuda yang memang hadir
pertama kali dihidupnya memberikan warna-warni, kelembutan dan sikap
blak-blakkan, apalagi tekad besar memperdalam agama Islam menyentuh relung hati
terdalam.
“Sakinah.....?”
Sakinah sedikit mendongak, namun
secepatnya terjaga kemudian mengangguk pelan.
“Baiklah, tentu saja kalau boleh
menggangguku lagi. Senang hati aku akan meladenimu. Tapi aku punya beberapa
syarat untukmu.”
“Katanya senang hati, koq pakai
syarat?”
“Mau tidak? Kalau tidak mau ya
sudah?”
“Jangan tinggalkan sholat. Tetaplah
belajar mengaji. Jangan lupa perbanyak hafal ayat Alquran, apalagi nanti kamu
sebagai imam dalam keluargamu dan....”
Belum selesai, Irhas memotong.
“keluarga kita.....”
Membuat gadis berjihab bulshing.
Pipinya memerah. Sementara Ramlah masih terus sibuk dengan ponselnya.
“Koq kalian diam?” tiba-tiba dia
terjaga, karena tak mendengarkan percakapan lagi.
Irhas terbawa pada suasana hening. Pun
Sakina.
***
Allah. Kenapa begitu cepat mengambilnya? Di saat mulai mengerti tentang cinta.
Di saat benar-benar hati ini menerimanya, bahkan dia sudah memiliki niat tulus.
“Jangan terlalu berlebihan yang
pikir. Aku ke kampung halaman hari ini untuk berusaha keras mempersiapkan
banyak hal untuk meminangmu tahun depan,” ucapnya dengan mantap, bahkan sampai
di dengar ibu dan ayah Sakinah yang ditanggapi hanya senyum.
Suara guntur menengadah. Sebentar
lagi hujan deras akan membasahi bumi, seperti air mata Sakina sekarang menatap
sakit batu nisan yang terukir nama Irhas. Masih tercium aroma bunga yang
ditaburi di atasnya.
Tak
boleh menangis. Islam sangat melarang perempuan berlakon
histeris di kuburan, sekalipun kepada orang yang dicintai.
Hanya saja terlalu sakit, masih
ingin menatap wajahnya sekali lagi dengan nyata. Masih ingin melihat senyumnya.
Masih ingin belajar bersama ilmu agama. Bahkan ingin bahagia bersama di
kehidupan yang akan datang. Dia sudah berjanji akan meminang tahun depan, lantas kenapa maut memisahkan?
Irhas...
Irhas.... Irhas..... rintihan hati Sakina memanggil.
Ramlah memegang pundak sahabatnya,
kemudian mengajaknya pulang.
“Ijinkan aku sebentar lagi berada
di sini,” Sakina memandang, kini dengan lelehan air mata.
“Baiklah,” kemudian Ramlah
memalingkan badan.
Memberikan waktu sedikit untuk
Sakinah dan lebih baik menunggunya di depan jalan. Mungkin butuh waktu
menenangkan diri. Walaupun sesungguhnya merasakan kehilangan, sosok sepupu yang
sangat baik seperti Irhas.
Dan, air mata itu secepat kilat
ditepis. Kemudian menyemburkan senyuman. Pasti Irhas tidak ingin melihat ada
kesedihan tersampul di wajahnya. Ingin selalu dia bahagia seperti bunga indah
bermekaran di taman.
Bagaimana
mungkin? Apa lagi ketika berada di depan kuburan orang yang
sudah berjanji bahagia bersama.
Allah akan memberikan cobaan bagi
hamba yang sudah pasti bisa melewatinya. Perkataan Ramlah sebenarnya selalu terngiang
di telinganya, tetapi belum mampu menghilangkan kesedihannya.
Dia satu-satunya pemuda yang
terkenal berani menyatakan perasaan, tak penting baginya diterima atau ditolak
dan dia satu-satunya pemuda yang dikenal memiliki niat besar menjaga cintanya
dengan berniat menikahi secepatnya.
“Kamu harus sadar, kehidupanmu
masih harus terus berjalan. Di alam sana, pasti Irhas juga sedih melihatmu
terpuruk seperti ini,” Ramlah tegas.
Terpuruk? Astagfirullah. Bukan yang
itu diinginkan.
***
Malam menjelma. Sakina keluar di
selasar rumahnya memandang langit yang
berbintang. Indah. Ternyata masih ada keindahan di kegelapan. Termasuk
hidupnya, masih ada kenangan indah tentang yang akan disimpannya rapi seumur
hidup.
Sakina berjanji melawan kesedihan.
Bangun dari mimpi buruk. Allah pasti akan selalu bersamanya. Bagi hamba-hamba
yang bersabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar