post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 08 November 2017

Baiduri (6)



DI MANA?
“Kirana adalah bintang sementara aku adalah sampah tak berguna yang bergelimang penyesalan”

Bukan hanya sekali Ferdi memukul tembok, ini sudah kesekian kalinya. Tak perduli dengan tangannya yang sudah remuk dan jika terus terjadi maka bisa dipastikan akan cacat. Bram dan Arma, kedua orang tuanya sudah tidak tahu lagi perkataan apa agar anaknya bisa sadar. Sekalipun Rini yang selama ini bisa membuatnya tenang pun tak mampu berbuat apa-apa.

Hari ketiga setelah diberitakan Kirana meninggal dalam kebakaran pemuda itu terus menyalahkan diri, mengamuk dan entah akan berbuat apa lagi yang selalu membuat sekelilingnya khawatir. Dan, detik berikutnya pun terjadi lagi. Ferdi menghilang di kamarnya.
“Di mana kamu Kirana? Aku tidak percaya orang baik sepertimu akan meninggal seperti ini? Untuk apa kamu menolong aku yang sudah sangat jahat kepadamu. Ah.... Harusnya aku yang mati bukan kamu,” teriaknya di depan puing-puing kebakaran.
Sekarang, Ferdi menatap kosong bangunan yang dulu mega kini hancur hanya karena amukan api. Persis hati kerasnya yang sudah remuk karena kebaikan hati seorang gadis yang dulu sangat dibencinya, malah membiarkannya hidup menikmati matahari.
Ah.... Haha....Hahah..... Kembali tertawa dalam tangisan. Berulang kali, seperti skenario yang terus berulang. Kemudian berlutut masih menatap penuh harap bahwa semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk.
Dan, tiba-tiba telinganya dipenuhi raungan tangisan di antara puing-puing bangunan itu.
“Maafkan tante selama ini nak, tante hanya bisa menyiksamu meskipun kamu tidak pernah membalasnya. Kenapa bukan tante saja yang meninggal, kenapa kamu Kirana?”
Wanita paru baya itu tenggelam dalam penyesalan.
Ferdi berdiri mendekati, nama yang disebut wanita itu bukankah orang yang sama menolongnya dari maut?
“Tante, tante siapa? Apa hubungannya tante dengan Kirana?” sekonyong-konyongnya bertanya.
“Saya tante Kirana dan saya yang selama ini menampungnya,” Nini menyeka air mata yang berjatuhan di pipinya, “Kamu, kamu siapanya Kirana?” dan dia mengembalikan pertanyaan Ferdi.
Pelan dan perlahan menahan isakan, “Aku yang menyebabkan Kirana bisa meninggal dan menyiksanya selama....”
Belum selesai pembicaraannya, satu tamparan melayang di wajah gagahnya.
“Dasar sialan, ternyata kamu yang selama ini menyiksanya, memberikan luka lebam di setiap badannya saat pulang sekolah. Dasar anak tak berguna, suka sekali menyiksa anak lemah,” Nini bahkan menginjaknya berkali-kali.
Tak ada balasan. Membiarkan tubuhnya dilukai. Pun tak berlangsung sama, Nini menyungkurkan diri.
“Kirana, aku juga harusnya disiksa, bukan hanya anak ini yang membuatmu tersiksa di setiap hari kamu masih hidup, tetapi tante juga,” diikuti tangisan.
Ferdi mengembuskan nafas sakit, kemudian beranjak bangkit memegang tangan Nini.
“Benar sekali apa yang tante katakan, orang jahat seperti kita yang selalu membuatnya tersiksa dan sesungguhnya tak pantas hidup.”
Nini menengok wajah Ferdi, terbit penyesalan mendalam.
Di antara tangisan pecah keduanya diiringin penyesalan, tersentuh retina mata Ferdi kepada sebuah buku yang terbuka. Foto Kirana terpampang jelas di sana. Ah. Buku diarrynya.
Nini mengambil seenaknya, melihat seksama dan ia tidak mungkin lupa tulisan Kirana yang selalu disuruhnya mencatatat utang tetangga-tetangganya di rumah. Menambah keyakinan mereka tentang keajaiban.
Keduanya saling menyentuhkan mata.
“Kirana, kamu di mana? Tante ingin bertemu denganmu, tante janji tak akan menyiksamu lagi, bahkan akan menyayangimu seperti yang kamu inginkan,” teriak Nini di alun-alun puing kekabaran.
“Kirana.... Kamu di mana?” Ferdi ikut berteriak yang disambut suara guntur, yang dalam hitungan menit pun jatuh bagiakan luka yang beterbangan bersama penyesalan.

Pict source: akaruidays.blogspot.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar