DI
MANA?
“Kirana adalah bintang
sementara aku adalah sampah tak berguna yang bergelimang penyesalan”
Bukan hanya sekali Ferdi memukul tembok, ini sudah
kesekian kalinya. Tak perduli dengan tangannya yang sudah remuk dan jika terus
terjadi maka bisa dipastikan akan cacat. Bram dan Arma, kedua orang tuanya
sudah tidak tahu lagi perkataan apa agar anaknya bisa sadar. Sekalipun Rini
yang selama ini bisa membuatnya tenang pun tak mampu berbuat apa-apa.
Hari ketiga setelah diberitakan Kirana meninggal
dalam kebakaran pemuda itu terus menyalahkan diri, mengamuk dan entah akan
berbuat apa lagi yang selalu membuat sekelilingnya khawatir. Dan, detik
berikutnya pun terjadi lagi. Ferdi menghilang di kamarnya.
“Di mana kamu Kirana? Aku tidak percaya orang baik
sepertimu akan meninggal seperti ini? Untuk apa kamu menolong aku yang sudah
sangat jahat kepadamu. Ah.... Harusnya aku yang mati bukan kamu,” teriaknya di
depan puing-puing kebakaran.
Sekarang, Ferdi menatap kosong bangunan yang dulu
mega kini hancur hanya karena amukan api. Persis hati kerasnya yang sudah remuk
karena kebaikan hati seorang gadis yang dulu sangat dibencinya, malah
membiarkannya hidup menikmati matahari.
Ah.... Haha....Hahah..... Kembali tertawa dalam
tangisan. Berulang kali, seperti skenario yang terus berulang. Kemudian
berlutut masih menatap penuh harap bahwa semua yang terjadi hanyalah mimpi
buruk.
Dan, tiba-tiba telinganya dipenuhi raungan tangisan
di antara puing-puing bangunan itu.
“Maafkan tante selama ini nak, tante hanya bisa
menyiksamu meskipun kamu tidak pernah membalasnya. Kenapa bukan tante saja yang
meninggal, kenapa kamu Kirana?”
Wanita paru baya itu tenggelam dalam penyesalan.
Ferdi berdiri mendekati, nama yang disebut wanita
itu bukankah orang yang sama menolongnya dari maut?
“Tante, tante siapa? Apa hubungannya tante dengan
Kirana?” sekonyong-konyongnya bertanya.
“Saya tante Kirana dan saya yang selama ini
menampungnya,” Nini menyeka air mata yang berjatuhan di pipinya, “Kamu, kamu
siapanya Kirana?” dan dia mengembalikan pertanyaan Ferdi.
Pelan dan perlahan menahan isakan, “Aku yang
menyebabkan Kirana bisa meninggal dan menyiksanya selama....”
Belum selesai pembicaraannya, satu tamparan melayang
di wajah gagahnya.
“Dasar sialan, ternyata kamu yang selama ini
menyiksanya, memberikan luka lebam di setiap badannya saat pulang sekolah.
Dasar anak tak berguna, suka sekali menyiksa anak lemah,” Nini bahkan
menginjaknya berkali-kali.
Tak ada balasan. Membiarkan tubuhnya dilukai. Pun
tak berlangsung sama, Nini menyungkurkan diri.
“Kirana, aku juga harusnya disiksa, bukan hanya anak
ini yang membuatmu tersiksa di setiap hari kamu masih hidup, tetapi tante
juga,” diikuti tangisan.
Ferdi mengembuskan nafas sakit, kemudian beranjak
bangkit memegang tangan Nini.
“Benar sekali apa yang tante katakan, orang jahat
seperti kita yang selalu membuatnya tersiksa dan sesungguhnya tak pantas
hidup.”
Nini menengok wajah Ferdi, terbit penyesalan
mendalam.
Di antara tangisan pecah keduanya diiringin
penyesalan, tersentuh retina mata Ferdi kepada sebuah buku yang terbuka. Foto
Kirana terpampang jelas di sana. Ah. Buku
diarrynya.
Nini mengambil seenaknya, melihat seksama dan ia
tidak mungkin lupa tulisan Kirana yang selalu disuruhnya mencatatat utang
tetangga-tetangganya di rumah. Menambah keyakinan mereka tentang keajaiban.
Keduanya saling menyentuhkan mata.
“Kirana, kamu di mana? Tante ingin bertemu denganmu,
tante janji tak akan menyiksamu lagi, bahkan akan menyayangimu seperti yang
kamu inginkan,” teriak Nini di alun-alun puing kekabaran.
“Kirana.... Kamu di mana?” Ferdi ikut berteriak yang
disambut suara guntur, yang dalam hitungan menit pun jatuh bagiakan luka yang
beterbangan bersama penyesalan.
Pict source: akaruidays.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar