“Nikmat Allah, bukan hanya tentang alam
semesta melainkan juga tentang manusia yang ditakdirkan hidup
berpasang-pasangan”
Pernahkah berpikir untuk bisa terbang sendiri
ke langit ke tujuh? Sambil melihat pemandangan indah ketika menatap bumi dari
kejauhan.
Membiarkan angin membelai, terpenting ada berada di atas dan
tersungging manis sepuasnya. Ya, memang Winda tak pernah sekalipun membayangkan
hal seperti itu terjadi dalam kehidupannya, hanya saja ketika jatuh cinta
menurutnya itu sama saja.
Tuhan Yang Maha Menghendaki segalanya. Segala
sesuatu membutuhkannya dan bukan Tuhan yang membutuhkan segala sesuatu. Ketika
ditakdirkan jatuh ke dalam mimpi seribu warna bunga, ia yakin itu adalah hal
terindah telah diberikan-Nya. Tak ada penyesalan sama sekali.
Biarlah takdir membawanya ke mana saja,
bersama usaha dan penyerahan diri kepada sang Khaliq. Selama berusaha menjaga
citra dan kewajiban, yakin saja semua pasti baik adanya.
“Sumpah, demi apapun. Kak Primus ganteng
banget....”
“Gantengnya selangit....”
“Gantengnya badai.....”
Dan masih banyak lagi percakapan antara dia dan
tiga teman seasrama, Reni, Api dan Ana. Mereka berempat sudah dua tahun
menjalani status persahabatan, mungkin bermula ketika nama mereka ditempatkan
di kamar sama, pertama kali masuk kampus.
“Kira-kira siapa yang wanita perebut hatinya
nanti,” Reni mengira-ngira.
Mimpi. Nyatanya tak sejauh yang terkira.
Entahlah, kenapa pikiran semacam itu tersendap di pikiran Winda.
Malam berlalu. Kesibukkan di awal semester tak
mengganggu konstentrasinya untuk tetap rajin menulis. Winda percaya suatu hari
nanti, dia akan menjadi seorang penulis terkenal dan berharap namanya akan
disebut oleh Primus, walaupun hanya satu kali. Ah. Khayalan tak ada matinya
tentang dia. Meskipun hanya bisa menatap dari jauh, sebenarnya itu lebih dari
cukup.
***
Sore itu hujan. Ya, September memang bulan
hujan, entahlah mungkin hanya terjadi di kotanya.
Seorang anak laki-laki berlari cepat menuju
halte. Hanya saja jaraknya dari sekolah membutuhkan sepuluh menit berlari,
itupun sudah sangat cepat. Hasilnya basah seluruh tubuh. Menggigil. Pasti kalau
sudah sampai di rumah dapat omelan lagi dari Sang Bunda.
“Mama kan udah bilang bawa payung,” pasti itu
yang diucapakan.
Memang anak bandel. Primus tidak suka bawa
payung, apalagi warnanya pink. Nanti teman-teman di sekolah bilang apa. Sang
Bunda terlalu pencinta warna pink, hampir semua barang di rumah warna pink.
Kadang hal tersebut menjengkelkan, hanya saja tak sampai hati memperlihatkan.
Hari itu bis datang terlambat dan Primus asyik
sendiri menikmati dingin yang menusuk tulang, sementara orang di sampingnya
semua memakai jacet. Ah, andai ada orang yang mau meminjamkan.
Alhamdulillah, ternyata betul. Seorang anak perempuan yang memakai baju SMP
sepertinya datang menghampiri, tanpa basa-basi menawarkan jacket milknya. Hanya
saja warna pink, membuatnya berpikir terlebih dahulu.
“Tidak usah berpikir lebih banyak, daripada
kamu sakit,” tersenyum.
Benar. Langsung mengambil dan membalas
sunggingan menawan.
Hah, siapa gadis itu? Kenapa dia baik sekali?
Cantik hatinya sama dengan wajahnya? Aku harus tahu namanya?
Dan, untung mereka satu sekolah. Setiap hari Primus
mencoba mencari tahu, nama dan kelas berapa gadis itu. Bimo dan Kari, dua
sahabatnya selalu membantunya mengorek informasi tentang gadis cantik itu.
“Tunggu apa lagi? Dekati dia! Atau kamu akan
didahului orang lain.”
“Ia, nanti kamu menyesal.”
Dan, hal itu pun benar juga. Di mana
penyesalan selalu datang belakangan. padahal punya banyak kesempatan. Gadis itu
menghilang, belakangan tahu dia pindah sekolah.
“Tidak ada yang tak bisa dilakukan selama kita
mau Prim,” Bimo menyemangati.
Lepas sekali bukan berarti selamanya
melepaskan. Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Sahabat memang seseorang
yang paling dibutuhkan, ketika pikiran mengapung sendiri tanpa tahu akan dibawa
ke arah mana, sahabat akan datang menghampiri dengan ketulusan menunjukkan
jalan.
“Lantas apa yang harus aku lakukan?”
penasaran.
“Cari tahu di mana keberedaannya dari
teman-temannya,” Bimo mantap sekali.
Ah. Andai Bimo adalah adiknya yang masih
balita, mungkin diciumi pipinya sekarang juga. Hanya saja mereka seumur, nanti
orang berpikir tidak-tidak. Hanya bersorak bahagia sambil memeluknya.
Rupanya gampang sekali mendapatkan, gadis itu
terkenal pintar. Semua orang di kelasnya, bukan semua orang seangkatannya
hampir semua tahu. Alamat dan semua akun sosmednya, tidak heran followersnya diinstagram
mencapao 10 K, kalah dengan dirinya cuma 9 K. Dan, mulai saat itu pendekatan
dimulai.
***
“Assalamualaikum..... Apa kabar kamu hari
ini?” diikuti dengan emoticon senyum.
“Alhamdulillah baik. Kamu sendiri apa kabar?”
“Alhamdulillah baik juga. Dan, aku
merindukanmu?”
Rindu. Kenapa membuat jantung Winda serasa
copot setiap kali chat dengan kekasihnya di facebook padahal mereka belum
pernah bertemu. Ah. Gila, memang jaman sekarang.
“Koq diam? Maafkan aku kalau perkataanku
membuatmu risih,” kali ini diikuti emoticon sedih.
“Astagfirullah, tidak sedih koq. Malah aku
senang,” memberikan sapu tangan.
“Senang. Alhamdulillah. Andai kita dekat pasti
kamu melihatku lompat-lompat sekarang.”
Winda Riang lagi, bahkan ikut melompat.
“Win, kita sudah dikenal sebagai pasangan
hampir setahun di fb, hanya saja kita tidak pernah bertemu. Apakah kamu tidak
mempunyai keinginan bertemu denganku di dunia nyata?”
Bertemu? Malah langsung berlari mencari seisi lemarinya. Adakah
bajunya yang paling bagus dipakai untuk bertemu pasangan di dunia maya?
Cantikkah ia hari ini? Hah. Menurut teman-temannya, dia yang paling cantik
diantara cewek sejurusan lantas kenapa harus takut? Astagfirullah. Winda
meleguhkan nafas panjang. Harus bisa mengontrol diri.
Sahabat-sahabatnya merasakan hal aneh menimpa
Winda, hanya saja tetap membantu mencarikan baju yang sangat pas. Walaupun
sebenarnya, bentuk tubuh mungil, langsing dan dambaan semua gadis sudah
dimiliknya, sebenarnya semua baju sangat pas dipakainya.
“Kita bertemu di taman kota ya, jam 11 siang.
Wassalam.” Chat terakhir pemuda itu.
***
Terlalu
cepat. Biarlah, karena ketidaksabaran membuatnya ingin segera bertemu
dengannya. Hanya saja pemuda terpopuler di sekolah, juga berada di sana.
Mengamati dengan mata sayup. Ah, semoga dia. Asal meracau dalam pikiran.
“Assalamualaikum.....” dia tersenyum, bahkan
menghampiri.
Haruskah berlari?
“Waalaikumsalam.... Kamu terlalu cepat
datang!”
Apa maksudnya? Terheran-heran.
“Aku Prima Wardana yang chat sama kamu,”
diikuti lagi senyuman maut.
Ingin rasanya pingsan saja. Benarkah ini
kenyataan atau hanya mimpi belaka?
“Waalaikumsalam,” tersungging manis.
Pembicaraan kaku, lidah Winda rasanya keluh.
Hanya saja pemuda itu terus bicara.
“Maafkan aku tak jujur, bahwa aku sebenarnya
Primus Prima Wardana.”
Bukannya marah, malah senyum-senyum tak jelas.
“Kamu tidak marah kan?”
“Ia, tidak apa-apa.”
Siapa yang bisa marah kepadanya? Pria paling
ganteng seuniversitas.
Alhamdulillah. Waktu mengalun, begitu lembut dan mungkin
sehalus kain sutera. Primus dan Winda tidak pacaran, melainkan hubungan taaruf.
Ya, pikiran mereka bukan main-main. Primus sangat serius, bahkan sudah
diperkenalkan ke orang tuanya, gadis yang telah berhasil merebut hatinya.
“Kami sangat percaya padamu Nak’, dan kami
percaya pilihanmu,” Rini, ibu Primus tersenyum manis kepada calon menantunya.
“Gadis ini yang dulu kamu lihat dari jauh
kan?” Profesor Tamrin, ayah Primus menerka-nerka.
Hah. Ketahuan? Dan, pemuda itu hanya
mengangguk tipis.
Pun tidak mudah membina sebuah hubungan
apalagi menjaga untuk tetap harmonis, pasti ada suka dan duka. Itupun dilalui
pasangan baru itu, ada beberapa teman sekampus yang iri.
“Entah trik apa yang dipakai Winda? Kenapa
dengan mudahnya meluluhkan hati pemuda tampan seperti Primus.”
“Aku tidak rela, kita harus membuat petisi
agar mereka putus.”
“Jangan sampai idola kita jatuh kepada gadis
yang salah.”
Dan, sebenarnya masih banyak lagi cemoohan.
Waktu pun bisa menghapus segalanya selama kepercayaan itu mengakar kuat, tak
peduli angin topan bertiup kencang bergandengan hujan yang menggigil menusuk
tulang,
“Apa kamu tidak perduli dengan omongan dan
memutuskan dia, banyak gosip yang beredar, dia itu gadis tukang selingkuh,”
Rian berucap sembarangan.
Matanya menyatakan kebohongan.
“Untuk apa percaya kepada orang lain,
sementara yang tulus menyayangi sudah hadir menemani setiap saat,” sambil
melambaikan tangan kepada gadis yang datang membawakannya air minum, tahu
dahaga akan menemui setelah seharian berlarian di lapangan-main basket.
Sial. Dan, Rian terbakar cemburu.
Mencintai karena Allah dan mencintai apa
adanya. Selalu berprasangka baik ditambah dengan kepercayaan kepada pasangan,
bukan pula tidak perduli dengan omongan orang lain hanya saja tanpa ada
buktinya untuk apa menyusahkan. Dan, kadang apa yang dilihat oleh mata belum
tentu itu terjadi.
Tuhan memberikan yang terbaik, setelah mampu
mempertahan status ta’aruf, skenario cinta mereka yang sederhana membawa kepada
perubahan luar biasa. Primus dan Winda
menikah dan berselang setahun punya anak kembar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar