post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 08 November 2017

KUCINTA APA ADANYA



“Nikmat Allah, bukan hanya tentang alam semesta melainkan juga tentang manusia yang ditakdirkan hidup berpasang-pasangan”


Pernahkah berpikir untuk bisa terbang sendiri ke langit ke tujuh? Sambil melihat pemandangan indah ketika menatap bumi dari kejauhan.
Membiarkan angin membelai, terpenting ada berada di atas dan tersungging manis sepuasnya. Ya, memang Winda tak pernah sekalipun membayangkan hal seperti itu terjadi dalam kehidupannya, hanya saja ketika jatuh cinta menurutnya itu sama saja.
Tuhan Yang Maha Menghendaki segalanya. Segala sesuatu membutuhkannya dan bukan Tuhan yang membutuhkan segala sesuatu. Ketika ditakdirkan jatuh ke dalam mimpi seribu warna bunga, ia yakin itu adalah hal terindah telah diberikan-Nya. Tak ada penyesalan sama sekali.
Biarlah takdir membawanya ke mana saja, bersama usaha dan penyerahan diri kepada sang Khaliq. Selama berusaha menjaga citra dan kewajiban, yakin saja semua pasti baik adanya.
“Sumpah, demi apapun. Kak Primus ganteng banget....”
“Gantengnya selangit....”
“Gantengnya badai.....”
Dan masih banyak lagi percakapan antara dia dan tiga teman seasrama, Reni, Api dan Ana. Mereka berempat sudah dua tahun menjalani status persahabatan, mungkin bermula ketika nama mereka ditempatkan di kamar sama, pertama kali masuk kampus.
“Kira-kira siapa yang wanita perebut hatinya nanti,” Reni mengira-ngira.
Mimpi. Nyatanya tak sejauh yang terkira. Entahlah, kenapa pikiran semacam itu tersendap di pikiran Winda.
Malam berlalu. Kesibukkan di awal semester tak mengganggu konstentrasinya untuk tetap rajin menulis. Winda percaya suatu hari nanti, dia akan menjadi seorang penulis terkenal dan berharap namanya akan disebut oleh Primus, walaupun hanya satu kali. Ah. Khayalan tak ada matinya tentang dia. Meskipun hanya bisa menatap dari jauh, sebenarnya itu lebih dari cukup.
***
Sore itu hujan. Ya, September memang bulan hujan, entahlah mungkin hanya terjadi di kotanya.
Seorang anak laki-laki berlari cepat menuju halte. Hanya saja jaraknya dari sekolah membutuhkan sepuluh menit berlari, itupun sudah sangat cepat. Hasilnya basah seluruh tubuh. Menggigil. Pasti kalau sudah sampai di rumah dapat omelan lagi dari Sang Bunda.
“Mama kan udah bilang bawa payung,” pasti itu yang diucapakan.
Memang anak bandel. Primus tidak suka bawa payung, apalagi warnanya pink. Nanti teman-teman di sekolah bilang apa. Sang Bunda terlalu pencinta warna pink, hampir semua barang di rumah warna pink. Kadang hal tersebut menjengkelkan, hanya saja tak sampai hati memperlihatkan.
Hari itu bis datang terlambat dan Primus asyik sendiri menikmati dingin yang menusuk tulang, sementara orang di sampingnya semua memakai jacet. Ah, andai ada orang yang mau meminjamkan.
Alhamdulillah, ternyata betul. Seorang anak perempuan yang memakai baju SMP sepertinya datang menghampiri, tanpa basa-basi menawarkan jacket milknya. Hanya saja warna pink, membuatnya berpikir terlebih dahulu.
“Tidak usah berpikir lebih banyak, daripada kamu sakit,” tersenyum.
Benar. Langsung mengambil dan membalas sunggingan menawan.
Hah, siapa gadis itu? Kenapa dia baik sekali? Cantik hatinya sama dengan wajahnya? Aku harus tahu namanya?
Dan, untung mereka satu sekolah. Setiap hari Primus mencoba mencari tahu, nama dan kelas berapa gadis itu. Bimo dan Kari, dua sahabatnya selalu membantunya mengorek informasi tentang gadis cantik itu.
“Tunggu apa lagi? Dekati dia! Atau kamu akan didahului orang lain.”
“Ia, nanti kamu menyesal.”
Dan, hal itu pun benar juga. Di mana penyesalan selalu datang belakangan. padahal punya banyak kesempatan. Gadis itu menghilang, belakangan tahu dia pindah sekolah.
“Tidak ada yang tak bisa dilakukan selama kita mau Prim,” Bimo menyemangati.
Lepas sekali bukan berarti selamanya melepaskan. Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Sahabat memang seseorang yang paling dibutuhkan, ketika pikiran mengapung sendiri tanpa tahu akan dibawa ke arah mana, sahabat akan datang menghampiri dengan ketulusan menunjukkan jalan.
“Lantas apa yang harus aku lakukan?” penasaran.
“Cari tahu di mana keberedaannya dari teman-temannya,” Bimo mantap sekali.
Ah. Andai Bimo adalah adiknya yang masih balita, mungkin diciumi pipinya sekarang juga. Hanya saja mereka seumur, nanti orang berpikir tidak-tidak. Hanya bersorak bahagia sambil memeluknya.
Rupanya gampang sekali mendapatkan, gadis itu terkenal pintar. Semua orang di kelasnya, bukan semua orang seangkatannya hampir semua tahu. Alamat dan semua akun sosmednya, tidak heran followersnya diinstagram mencapao 10 K, kalah dengan dirinya cuma 9 K. Dan, mulai saat itu pendekatan dimulai.
***
“Assalamualaikum..... Apa kabar kamu hari ini?” diikuti dengan emoticon senyum.
“Alhamdulillah baik. Kamu sendiri apa kabar?”
“Alhamdulillah baik juga. Dan, aku merindukanmu?”
Rindu. Kenapa membuat jantung Winda serasa copot setiap kali chat dengan kekasihnya di facebook padahal mereka belum pernah bertemu. Ah. Gila, memang jaman sekarang.
“Koq diam? Maafkan aku kalau perkataanku membuatmu risih,” kali ini diikuti emoticon sedih.
“Astagfirullah, tidak sedih koq. Malah aku senang,” memberikan sapu tangan.
“Senang. Alhamdulillah. Andai kita dekat pasti kamu melihatku lompat-lompat sekarang.”
Winda Riang lagi, bahkan ikut melompat.
“Win, kita sudah dikenal sebagai pasangan hampir setahun di fb, hanya saja kita tidak pernah bertemu. Apakah kamu tidak mempunyai keinginan bertemu denganku di dunia nyata?”
Bertemu? Malah langsung berlari mencari seisi lemarinya. Adakah bajunya yang paling bagus dipakai untuk bertemu pasangan di dunia maya? Cantikkah ia hari ini? Hah. Menurut teman-temannya, dia yang paling cantik diantara cewek sejurusan lantas kenapa harus takut? Astagfirullah. Winda meleguhkan nafas panjang. Harus bisa mengontrol diri.
Sahabat-sahabatnya merasakan hal aneh menimpa Winda, hanya saja tetap membantu mencarikan baju yang sangat pas. Walaupun sebenarnya, bentuk tubuh mungil, langsing dan dambaan semua gadis sudah dimiliknya, sebenarnya semua baju sangat pas dipakainya.
“Kita bertemu di taman kota ya, jam 11 siang. Wassalam.” Chat terakhir pemuda itu.
***
            Terlalu cepat. Biarlah, karena ketidaksabaran membuatnya ingin segera bertemu dengannya. Hanya saja pemuda terpopuler di sekolah, juga berada di sana. Mengamati dengan mata sayup. Ah, semoga dia. Asal meracau dalam pikiran.
“Assalamualaikum.....” dia tersenyum, bahkan menghampiri.
Haruskah berlari?
“Waalaikumsalam.... Kamu terlalu cepat datang!”
Apa maksudnya? Terheran-heran.
“Aku Prima Wardana yang chat sama kamu,” diikuti lagi senyuman maut.
Ingin rasanya pingsan saja. Benarkah ini kenyataan atau hanya mimpi belaka?
“Waalaikumsalam,” tersungging manis.
Pembicaraan kaku, lidah Winda rasanya keluh. Hanya saja pemuda itu terus bicara.
“Maafkan aku tak jujur, bahwa aku sebenarnya Primus Prima Wardana.”
Bukannya marah, malah senyum-senyum tak jelas.
“Kamu tidak marah kan?”
“Ia, tidak apa-apa.”
Siapa yang bisa marah kepadanya? Pria paling ganteng seuniversitas.
Alhamdulillah. Waktu mengalun, begitu lembut dan mungkin sehalus kain sutera. Primus dan Winda tidak pacaran, melainkan hubungan taaruf. Ya, pikiran mereka bukan main-main. Primus sangat serius, bahkan sudah diperkenalkan ke orang tuanya, gadis yang telah berhasil merebut hatinya.
“Kami sangat percaya padamu Nak’, dan kami percaya pilihanmu,” Rini, ibu Primus tersenyum manis kepada calon menantunya.
“Gadis ini yang dulu kamu lihat dari jauh kan?” Profesor Tamrin, ayah Primus menerka-nerka.
Hah. Ketahuan? Dan, pemuda itu hanya mengangguk tipis.
Pun tidak mudah membina sebuah hubungan apalagi menjaga untuk tetap harmonis, pasti ada suka dan duka. Itupun dilalui pasangan baru itu, ada beberapa teman sekampus yang iri.
“Entah trik apa yang dipakai Winda? Kenapa dengan mudahnya meluluhkan hati pemuda tampan seperti Primus.”
“Aku tidak rela, kita harus membuat petisi agar mereka putus.”
“Jangan sampai idola kita jatuh kepada gadis yang salah.”
Dan, sebenarnya masih banyak lagi cemoohan. Waktu pun bisa menghapus segalanya selama kepercayaan itu mengakar kuat, tak peduli angin topan bertiup kencang bergandengan hujan yang menggigil menusuk tulang,
“Apa kamu tidak perduli dengan omongan dan memutuskan dia, banyak gosip yang beredar, dia itu gadis tukang selingkuh,” Rian berucap sembarangan.
Matanya menyatakan kebohongan.
“Untuk apa percaya kepada orang lain, sementara yang tulus menyayangi sudah hadir menemani setiap saat,” sambil melambaikan tangan kepada gadis yang datang membawakannya air minum, tahu dahaga akan menemui setelah seharian berlarian di lapangan-main basket.
Sial. Dan, Rian terbakar cemburu.
Mencintai karena Allah dan mencintai apa adanya. Selalu berprasangka baik ditambah dengan kepercayaan kepada pasangan, bukan pula tidak perduli dengan omongan orang lain hanya saja tanpa ada buktinya untuk apa menyusahkan. Dan, kadang apa yang dilihat oleh mata belum tentu itu terjadi.
Tuhan memberikan yang terbaik, setelah mampu mempertahan status ta’aruf, skenario cinta mereka yang sederhana membawa kepada perubahan luar biasa.  Primus dan Winda menikah dan berselang setahun punya anak kembar.
Cinta sejati memang ada, yang tak membutuhkan kemewahan yang penting kesetiaan dan kepercayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar