BERKELANA
“Sesal
adalah sesuatu yang melumpuhkan dan pada suatu hari aku menemukanmu.
Akan
kurajut senyumanmu bersamaku”
“Apa kemungkinan masih bisa ada korban yang selamat
dari kebakaran di rumah sakit Santika pak?” Ferdi berharap penuh.
“Tidak mungkin nak’, itu mustahil,” jelas pak
Polisi.
“Tapi pak, saya menemukan buku teman saya yang juga
merupakan korban yang terperangkap dalam rumah sakit Santika. Buku ini saya
temukan di sana.”
Pak Polisi melihat seksama wajah Ferdi. Ada perasaan
iba.
“Nak’, maaf kalau bapak bicara seperti ini ya. Tidak
mungkin ada korban yang selamat di dalam perangkat api yang terkoar-koar kala
itu. Kita tahu pemadam kebakaran sangat terlambat sehingga hanya tingga
puing-puing kebakaran yang mereka lihat,” kali ini memegang pundak Ferdi,
berharap merelakan kejadian yang sudah merenggut temannya.
“Tapi pak....”
Buru-buru pak polisi memotong, “Lebih baik kamu
berdoa, supaya teman kamu di tempatkan di pangkuan Tuhan, di tempat terbaik.”
Degup di dadanya tiba-tiba mengeras. Dengan menahan
emosi yang sebenarnya ingin meledak dan membantah. Hati kecilnya masih percaya
Kirana selamat dari kejadian naas itu.
Dia sangat yakin. Hati kecilnya sangat yakin.
“Makasih pak,” mengangkat bahu dan hanya dibalas
senyuman tipis dari petugas kemanan itu. Ia keluar dari kantor dengan langkah
berat.
Hah.
Ke mana aku harus berkelana mencarimu? Aku masih yakin bisa melihatmu Kirana. Langkahnya
tidak pasti, pikirannya meracau ke awan-awan.
Sudah jam sembilan. Gerbang sekolah pasti sudah
dikunci, meskipun dengan kekuasaan bisa masuk dengan mudah pun tidak bisa
menghalanginya hari itu mencari keberadaan orang yang sudah berkorban untuknya.
Lagian sudah berjanji, tidak akan lagi menyalahkan kekuasaan yang dimiliki
ayahnya, apalagi sebenarnya nikmat kekuasaan itu asalnya dari Tuhan.
Seperti meraung-raung, mencari apa yang sudah
dihilangkannya. Motor ninjanya membelah jalan menuju lokasi kebakaran. Berharap
di sana masih ada bukti yang bisa membuktikan Kirana masih hidup.
***
“Hallo... Kamu di mana Fer? Aku khawatir sama kamu.
Tadi aku ke rumahmu, kata Tante Maryam kamu belum pulang. Tapi kamu tenang
saja, aku tidak memberitahu mereka kalau kamu tidak masuk,” Rini dengan nada
cemas.
“Aku di rumah Sakit Santika.”
“Apa? Kamu di tempat rumah sakit yang kebakaran itu.
Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu......” dan, hanya terdengar suara
tutt...... nyaring di telinga Rini.
Sial.
Ucapnya
kesal.
Rini membuang ponselnya. Untuk pertama kalinya dalam
hidup, orang yang disayangi mengabaikannya begitu saja. Tidak bisa dibiarkan,
toh selama ini yang membantunya dalam segala hal, termasuk menyiksa Kirana.
Ah....
Rini
berteriak sekencang-kencangnya yang membuat kedua orang tuanya mendengar
pantulan suaranya.
***
Sudah pukul 19.00. Hah. Ferdi mendengus berat. Sudah
hampir sepuluh jam mencari tanda-tanda atau apa saja yang berkaitan dengan
Kirana, baik di tempat kebakaran maupun di sekitarnya. Tidak lupa bertanya
kepada orang-orang yang bertemu dengannya di jalan, apakah melihat gadis yang
memakai hijab putih, wajahnya ayu, putih dan tubuhnya pendek mungil. Tak lupa
memperlihatkan fotonya. Hanya saja hasilnya nihil.
Perutnya sudah keroncongan. Sudah lupa makan karena
fikiran terfokus pada Kirana.
Brum..... Dentuman guntur memenuhi sudut telinga. Ferdi
melihat ke langit, tak ada bintang terang seperti malam-malam sebelumnya.
Sepertinya hujan dan benar saja beberapa menit kemudian, pemuda yang merasakan
sesak karena penyesalan itu berlari ke bawah pohon, berteduh. Dan, kembali
merasakan penyesalan tiada akhir.
Pict source: akaruidays.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar