post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 15 November 2017

Baiduri (8)



BERKELANA
“Sesal adalah sesuatu yang melumpuhkan dan pada suatu hari aku menemukanmu.
Akan kurajut senyumanmu bersamaku”


“Apa kemungkinan masih bisa ada korban yang selamat dari kebakaran di rumah sakit Santika pak?” Ferdi berharap penuh.
“Tidak mungkin nak’, itu mustahil,” jelas pak Polisi.
“Tapi pak, saya menemukan buku teman saya yang juga merupakan korban yang terperangkap dalam rumah sakit Santika. Buku ini saya temukan di sana.”

Pak Polisi melihat seksama wajah Ferdi. Ada perasaan iba.
“Nak’, maaf kalau bapak bicara seperti ini ya. Tidak mungkin ada korban yang selamat di dalam perangkat api yang terkoar-koar kala itu. Kita tahu pemadam kebakaran sangat terlambat sehingga hanya tingga puing-puing kebakaran yang mereka lihat,” kali ini memegang pundak Ferdi, berharap merelakan kejadian yang sudah merenggut temannya.
“Tapi pak....”
Buru-buru pak polisi memotong, “Lebih baik kamu berdoa, supaya teman kamu di tempatkan di pangkuan Tuhan, di tempat terbaik.”
Degup di dadanya tiba-tiba mengeras. Dengan menahan emosi yang sebenarnya ingin meledak dan membantah. Hati kecilnya masih percaya Kirana selamat  dari kejadian naas itu. Dia sangat yakin. Hati kecilnya sangat yakin.
“Makasih pak,” mengangkat bahu dan hanya dibalas senyuman tipis dari petugas kemanan itu. Ia keluar dari kantor dengan langkah berat.
Hah. Ke mana aku harus berkelana mencarimu? Aku masih yakin bisa melihatmu Kirana. Langkahnya tidak pasti, pikirannya meracau ke awan-awan.
Sudah jam sembilan. Gerbang sekolah pasti sudah dikunci, meskipun dengan kekuasaan bisa masuk dengan mudah pun tidak bisa menghalanginya hari itu mencari keberadaan orang yang sudah berkorban untuknya. Lagian sudah berjanji, tidak akan lagi menyalahkan kekuasaan yang dimiliki ayahnya, apalagi sebenarnya nikmat kekuasaan itu asalnya dari Tuhan.
Seperti meraung-raung, mencari apa yang sudah dihilangkannya. Motor ninjanya membelah jalan menuju lokasi kebakaran. Berharap di sana masih ada bukti yang bisa membuktikan Kirana masih hidup.
***
“Hallo... Kamu di mana Fer? Aku khawatir sama kamu. Tadi aku ke rumahmu, kata Tante Maryam kamu belum pulang. Tapi kamu tenang saja, aku tidak memberitahu mereka kalau kamu tidak masuk,” Rini dengan nada cemas.
“Aku di rumah Sakit Santika.”
“Apa? Kamu di tempat rumah sakit yang kebakaran itu. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu......” dan, hanya terdengar suara tutt...... nyaring di telinga Rini.
Sial. Ucapnya kesal.
Rini membuang ponselnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, orang yang disayangi mengabaikannya begitu saja. Tidak bisa dibiarkan, toh selama ini yang membantunya dalam segala hal, termasuk menyiksa Kirana.
Ah.... Rini berteriak sekencang-kencangnya yang membuat kedua orang tuanya mendengar pantulan suaranya.
***
Sudah pukul 19.00. Hah. Ferdi mendengus berat. Sudah hampir sepuluh jam mencari tanda-tanda atau apa saja yang berkaitan dengan Kirana, baik di tempat kebakaran maupun di sekitarnya. Tidak lupa bertanya kepada orang-orang yang bertemu dengannya di jalan, apakah melihat gadis yang memakai hijab putih, wajahnya ayu, putih dan tubuhnya pendek mungil. Tak lupa memperlihatkan fotonya. Hanya saja hasilnya nihil.
Perutnya sudah keroncongan. Sudah lupa makan karena fikiran terfokus pada Kirana.
Brum..... Dentuman guntur memenuhi sudut telinga. Ferdi melihat ke langit, tak ada bintang terang seperti malam-malam sebelumnya. Sepertinya hujan dan benar saja beberapa menit kemudian, pemuda yang merasakan sesak karena penyesalan itu berlari ke bawah pohon, berteduh. Dan, kembali merasakan penyesalan tiada akhir.

Pict source: akaruidays.blogspot.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar