post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 06 November 2017

Nyawa Hidupku (23)



KENYATAAN PAHIT
“Tuhan di mana aku harus menyandera hati, ketika angin topang akan membawanya terbang jauh”


“Ini foto siapa?”
Pertanyaan calon besannya yang seolah tercengan melihat foto keluarga. Shock. Tercengang. Menumburkan penasaran. Ada apa dengan foto keluarganya? Apakah ada hal yang tidak masuk akal terlukis di sana? Atau ada sebuah rahasia dibaliknya?

Fatimah tahu persis laki-laki yang berada di samping anak kecil beralis tebal itu. Dia adalah laki-laki yang menerbangkannya ke langit ke tujuh di usia muda dulu. Bahkan sempat mengarungi pernikahan, hanya saja orang tua yang tak merestui berhasil menggagalkan impian masa depan.
“Itu adalah ayah Ihsan,” terang Rani.
Dan, suasana ganjil sekarang.
Mendadak kelumpuhan terpasang di kedua kaki Fatimah membuatnya jatuh terluntai di kursinya, sebelum sempat dipegang oleh Rani. Tangisan deras seperti hujan padahal tak ada tanda-tanda mendung. Bersama wajah pucat dan terus menggeleng kepala. Membuat semuanya bingung.
Perlahan Ihsan mencari tahu siapa sebenarnya ayah Fitri sampai-sampai bisa membuat ibunya buyar, padahal sebelumnya begitu girang. Astafirullah. Persis sama dengan sang ibu, dia juga tersungkur kaget.
“Ada apa ini? Tolong jangan membuat kami bingung.”
Fitri yang sudah terbawa suasana dan ikut menangis mempertanyakan keadaan, kenapa berubah secepat itu? Mencoba mengerti dari keadaan yang sama sekali tidak diinginkan.
“Ayahmu adalah mantan suamiku nak, dan Ihsan adalah putranya,” jelas Fatimah.
Suara itu nyaring di telinga. Rani pun terduduk di kursinya sendiri. Fitri hanya menanganga dalam tangisan. Batinnya meraung-raung. Nurmia, Yudha dan Irwan pun tidak tahu harus berbuat apa.
Pertemuan keluarga itu pun tak menerbitkan kebahagiaan melaikan menguak rahasia yang selama ini tersusun rapi.
***
Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Takdir begitu menyayat hatinya. Sosok jangkung yang selama ini menjadi pendampingnya, memunculkan muara bahagia, membawa ke dalam mimpi segala rupa dan paling penting bersama-sama ingin meraih ridho ilahi nyatanya tak bisa diraih. Hanya sebuah mimpi belaka. Layaknya bintang dan bintang, berada di langit yang sama, pun dekat sama sekali bisa saling menggapai.
Allah.
Di mana aku harus menaruh hati?
Ketika nyaris air mata kering dalam semalam.
Aku takut tidak bisa hidup tanpanya
Aku takut jikalau melawan takdir.
Malam itu menjadi malam panjang baginya. Menangis dalam sujud. Sajadah merahnya menjadi saksi. Ketidakberdayaan sebagai manusia biasa.
***
Ihsan berlari sekencang-kencang, bahkan kalau perlu ke ujung dunia. Kenapa takdir begitu menyiksa? Kenapa di saat semuanya sudah terhitung empat tahun lamanya? Kenapa cinta sedalam duka?
Allah. Ia berteriak di atas bukit putih. Tempatnya dulu tersesat bersama Fitri. Ah. Muncul penyesalan, andai tak membuat hati jatuh cinta padanya tak akan ada hati yang lebam membiru.
Allah. Allah. Allah.
Teriaknya disambut guntur. Hujan datang dengan derasnya bersama kenangan-kenangan indah tentannya.
Seberapa besar dosanya sampai harus hidup di keadaan seperti ini? Begitu terpuruk sampai larut dalam ketidakbijakan.
Astagfirulllah. Ia menengadah ke atas langit, air matanya berjatuhan bersama tetesan-tetesan hujan yang membasahi seluruh raga dan jiawanya. Hah.
Adakah kebahagiaan tersisa
Meskipun itu hanyalah dalam mimpi
Impian masa depan itu hanyalah semu
Ingin saja aku diantar ke peristirahatan
Berkecamuk, meskipun beberapa kali beristigfhar. Hanya manusia biasa yang tidak semudah itu menenangkan hati kala takdir mengambil seenaknya. Semoga ada kebahagiaan tersisa untuknya. Pekiknya dalam batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar