KENYATAAN
PAHIT
“Tuhan di mana aku
harus menyandera hati, ketika angin topang akan membawanya terbang jauh”
“Ini foto siapa?”
Pertanyaan calon besannya yang seolah tercengan
melihat foto keluarga. Shock. Tercengang. Menumburkan penasaran. Ada apa dengan
foto keluarganya? Apakah ada hal yang tidak masuk akal terlukis di sana? Atau
ada sebuah rahasia dibaliknya?
Fatimah tahu persis laki-laki yang berada di samping
anak kecil beralis tebal itu. Dia adalah laki-laki yang menerbangkannya ke
langit ke tujuh di usia muda dulu. Bahkan sempat mengarungi pernikahan, hanya
saja orang tua yang tak merestui berhasil menggagalkan impian masa depan.
“Itu adalah ayah Ihsan,” terang Rani.
Dan, suasana ganjil sekarang.
Mendadak kelumpuhan terpasang di kedua kaki Fatimah
membuatnya jatuh terluntai di kursinya, sebelum sempat dipegang oleh Rani.
Tangisan deras seperti hujan padahal tak ada tanda-tanda mendung. Bersama wajah
pucat dan terus menggeleng kepala. Membuat semuanya bingung.
Perlahan Ihsan mencari tahu siapa sebenarnya ayah
Fitri sampai-sampai bisa membuat ibunya buyar, padahal sebelumnya begitu
girang. Astafirullah. Persis sama
dengan sang ibu, dia juga tersungkur kaget.
“Ada apa ini? Tolong jangan membuat kami bingung.”
Fitri yang sudah terbawa suasana dan ikut menangis
mempertanyakan keadaan, kenapa berubah secepat itu? Mencoba mengerti dari
keadaan yang sama sekali tidak diinginkan.
“Ayahmu adalah mantan suamiku nak, dan Ihsan adalah
putranya,” jelas Fatimah.
Suara itu nyaring di telinga. Rani pun terduduk di
kursinya sendiri. Fitri hanya menanganga dalam tangisan. Batinnya
meraung-raung. Nurmia, Yudha dan Irwan pun tidak tahu harus berbuat apa.
Pertemuan keluarga itu pun tak menerbitkan
kebahagiaan melaikan menguak rahasia yang selama ini tersusun rapi.
***
Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Takdir begitu
menyayat hatinya. Sosok jangkung yang selama ini menjadi pendampingnya,
memunculkan muara bahagia, membawa ke dalam mimpi segala rupa dan paling
penting bersama-sama ingin meraih ridho ilahi nyatanya tak bisa diraih. Hanya
sebuah mimpi belaka. Layaknya bintang dan bintang, berada di langit yang sama,
pun dekat sama sekali bisa saling menggapai.
Allah.
Di
mana aku harus menaruh hati?
Ketika
nyaris air mata kering dalam semalam.
Aku
takut tidak bisa hidup tanpanya
Aku
takut jikalau melawan takdir.
Malam itu menjadi malam panjang baginya. Menangis
dalam sujud. Sajadah merahnya menjadi saksi. Ketidakberdayaan sebagai manusia
biasa.
***
Ihsan berlari sekencang-kencang, bahkan kalau perlu
ke ujung dunia. Kenapa takdir begitu menyiksa? Kenapa di saat semuanya sudah
terhitung empat tahun lamanya? Kenapa cinta sedalam duka?
Allah.
Ia
berteriak di atas bukit putih. Tempatnya dulu tersesat bersama Fitri. Ah.
Muncul penyesalan, andai tak membuat hati jatuh cinta padanya tak akan ada hati
yang lebam membiru.
Allah.
Allah. Allah.
Teriaknya disambut guntur. Hujan datang dengan
derasnya bersama kenangan-kenangan indah tentannya.
Seberapa besar dosanya sampai harus hidup di keadaan
seperti ini? Begitu terpuruk sampai larut dalam ketidakbijakan.
Astagfirulllah.
Ia
menengadah ke atas langit, air matanya berjatuhan bersama tetesan-tetesan hujan
yang membasahi seluruh raga dan jiawanya. Hah.
Adakah
kebahagiaan tersisa
Meskipun
itu hanyalah dalam mimpi
Impian
masa depan itu hanyalah semu
Ingin
saja aku diantar ke peristirahatan
Berkecamuk, meskipun beberapa kali beristigfhar.
Hanya manusia biasa yang tidak semudah itu menenangkan hati kala takdir mengambil
seenaknya. Semoga ada kebahagiaan tersisa
untuknya. Pekiknya dalam batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar