post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Kamis, 09 November 2017

Special Love (5)



PAHLAWAN
“Jika kau bisa membaca mataku, maka cinta akan menemukanmu”


“Jangan pesimis, pasti ada jalannya koq. Aku yakin kamu bisa dan senior pasti juga sangat percaya kepadamu, makanya memilihmu mewakili fakultas kita di acara muslim dan muslimah kampus,” Karin memainkan matanya.

Oh my God, tidakkah tahu kalau selama ini menghindari panggung karena terkena start syndrom. Apalagi kalau pegang mic, pasti gemetar setengah mati. Dan sebelum mengutarakannya, Dismawati, senior sekaligus panitia lomba menghampiri dengan membawa senyuman termanis bergandengan kepercayaan.
“Kamu Irma kan? Sumpah, suara kamu keren banger aku dengan di youtube.”
Apa? Youtube? Mata Irma membelalak. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Perasaan seumur-umur dia tidak pernah merekam video dirinya bernyanyi kemudian mengunggahnya di akun youtube. Gadis berhijab kuning itu melihat ke arah sahabatnya, perlahan seperti tahu ulah siapa? Tuduhannya beralasan kala mengingat dulu ia pernah direkam menyanyi oleh Karin. Apalagi Karin mendekapkan tangannya ke dada dan mengucap tanpa nada kata maaf.
“Makasih kak.”
Bagaimanapun ia harus membalas perkataan senior yang memujinya.
“Tapi kamu harus tahu Irma, bahwa fakultas kita itu tak pernah kalah loh. Sudah tujuh tahun berturut-turut memenangkan pentas muslim dan muslimah kampus.”
Beberapa detik setelah mendengar penjelasan Disma, kaki-kaki Irma bergetar hebat. Seperti berada di hadapan jembatan yang tak memiliki pegangan, di bawahnya jurang hitam. Kalau tak menyeberang, maka serigala akan menikam. Ia mendengus berat. Semua mahasiswa di fakultas Pendidikan Sains sedang bergantung padanya.
“Oh ya jangan lupa ya, selain menyanyi kamu harus bisa memainkan satu alat musik. Itu merupakan kewajiban.”
Astagfirullah. Benar-benar embusan nafasnya sudah semakin berat.
“Kalau begitu kakak pergi dulu ya.”
Dismawati berlalu. Sementara Karin hanya pasrah, apapun yang dilakukan padanya akan diterima.
Dan, Irma menatap tajam seolah ingin membunuh. Bergegas bangkit dan mendekat, memegang tangan sahabatnya. Karin merasakan keringat dingin menjalar di tubuh sahabatnya dan reaksi yang ditakutkan pun tidak terjadi malah mendengar rengekan.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang Karin. Apa?” matanya menyipit. Wajahnya sangat masam.
Karin pun ikut berdiri. “Tenang saja, aku yakin kamu bisa,” tersenyum.
***
Irma berjalan sangat lamban. Di trotoar jalan menuju halte. Pikiran yang melayang-layang. Waktunya tidak lebih dari satu bulan. Ia harus bisa memainkan alat musik. Pikirannya kalutnya tertambah setelah mengikuti pertemuan seluruh peserta muslim dan muslimah kampus, nampak sekali saingannya sudah mempersiapkan dan piawai dalam bermain muslim. Ada yang bermain piano, biola, drum, sulit, dan dirinya? Ah, ia menendang kaleng minuman tepat di hadapannya dan mengenai seorang pengendara motor.
“Hei, mau cari mati kamu?” teriak pengendara itu yang nampak preman. Celana robek-robek dan memakai anting-anting.
“Tapi kamu boleh juga,” tersenyum jahat.
Astagfirullah. Irma melihat sekeliling. Ternyata sudah masuk lorong sepi dan melewati halte. Dan sebelum terjadi keburukan segera mengambil langkah seribu yang hasilnya dia dikejar preman beranting itu.
Plak. Bum. Plak. Bum. Beberapa kali bunyi pukulan mendarat di wajah dan badan perman itu yang mencoba melawan pahlawan berkuda putih Irma.
“Ampun.... Ampun. Saya tidak akan mengganggu dia lagi,” katanya memelas.
“Sekarang kamu pergi dari sini,” ucap Ferli dan mengatur sedikit nafasnya yang belum beraturan.
Dia berpaling ke arah Irma yang melihat takjub.
“Kamu tidak apa-apa kan?” katanya panik.
Oh. My God. Wajah ayu Irma bersinar.
“Koq malah senyum? Kamu tahu tidak, aku sangat khawatir kepadamu,” pandangannya beralih ke langit.
Hah. Pun sama sekali tak menjawab. Irma masih menikmati apa yang dialaminya. Seperti terbang ke langit ke tujuh.


Pict source: gambarzoom.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar