PAHLAWAN
“Jika kau bisa membaca
mataku, maka cinta akan menemukanmu”
“Jangan pesimis, pasti ada jalannya koq. Aku yakin
kamu bisa dan senior pasti juga sangat percaya kepadamu, makanya memilihmu
mewakili fakultas kita di acara muslim dan muslimah kampus,” Karin memainkan
matanya.
Oh
my God, tidakkah tahu kalau selama ini menghindari panggung
karena terkena start syndrom. Apalagi
kalau pegang mic, pasti gemetar setengah mati. Dan sebelum mengutarakannya,
Dismawati, senior sekaligus panitia lomba menghampiri dengan membawa senyuman
termanis bergandengan kepercayaan.
“Kamu Irma kan? Sumpah, suara kamu keren banger aku
dengan di youtube.”
Apa?
Youtube? Mata Irma membelalak. Apa sebenarnya yang telah
terjadi? Perasaan seumur-umur dia tidak pernah merekam video dirinya bernyanyi
kemudian mengunggahnya di akun youtube. Gadis berhijab kuning itu melihat ke
arah sahabatnya, perlahan seperti tahu ulah siapa? Tuduhannya beralasan kala
mengingat dulu ia pernah direkam menyanyi oleh Karin. Apalagi Karin mendekapkan
tangannya ke dada dan mengucap tanpa nada kata maaf.
“Makasih kak.”
Bagaimanapun ia harus membalas perkataan senior yang
memujinya.
“Tapi kamu harus tahu Irma, bahwa fakultas kita itu
tak pernah kalah loh. Sudah tujuh tahun berturut-turut memenangkan pentas muslim
dan muslimah kampus.”
Beberapa detik setelah mendengar penjelasan Disma,
kaki-kaki Irma bergetar hebat. Seperti berada di hadapan jembatan yang tak
memiliki pegangan, di bawahnya jurang hitam. Kalau tak menyeberang, maka
serigala akan menikam. Ia mendengus berat. Semua mahasiswa di fakultas
Pendidikan Sains sedang bergantung padanya.
“Oh ya jangan lupa ya, selain menyanyi kamu harus
bisa memainkan satu alat musik. Itu merupakan kewajiban.”
Astagfirullah.
Benar-benar
embusan nafasnya sudah semakin berat.
“Kalau begitu kakak pergi dulu ya.”
Dismawati berlalu. Sementara Karin hanya pasrah,
apapun yang dilakukan padanya akan diterima.
Dan, Irma menatap tajam seolah ingin membunuh.
Bergegas bangkit dan mendekat, memegang tangan sahabatnya. Karin merasakan
keringat dingin menjalar di tubuh sahabatnya dan reaksi yang ditakutkan pun
tidak terjadi malah mendengar rengekan.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang Karin. Apa?”
matanya menyipit. Wajahnya sangat masam.
Karin pun ikut berdiri. “Tenang saja, aku yakin kamu
bisa,” tersenyum.
***
Irma berjalan sangat lamban. Di trotoar jalan menuju
halte. Pikiran yang melayang-layang. Waktunya tidak lebih dari satu bulan. Ia
harus bisa memainkan alat musik. Pikirannya kalutnya tertambah setelah
mengikuti pertemuan seluruh peserta muslim dan muslimah kampus, nampak sekali
saingannya sudah mempersiapkan dan piawai dalam bermain muslim. Ada yang
bermain piano, biola, drum, sulit, dan dirinya? Ah, ia menendang kaleng minuman tepat di hadapannya dan mengenai
seorang pengendara motor.
“Hei, mau cari mati kamu?” teriak pengendara itu
yang nampak preman. Celana robek-robek dan memakai anting-anting.
“Tapi kamu boleh juga,” tersenyum jahat.
Astagfirullah.
Irma
melihat sekeliling. Ternyata sudah masuk lorong sepi dan melewati halte. Dan
sebelum terjadi keburukan segera mengambil langkah seribu yang hasilnya dia
dikejar preman beranting itu.
Plak. Bum. Plak. Bum. Beberapa kali bunyi pukulan
mendarat di wajah dan badan perman itu yang mencoba melawan pahlawan berkuda
putih Irma.
“Ampun.... Ampun. Saya tidak akan mengganggu dia
lagi,” katanya memelas.
“Sekarang kamu pergi dari sini,” ucap Ferli dan
mengatur sedikit nafasnya yang belum beraturan.
Dia berpaling ke arah Irma yang melihat takjub.
“Kamu tidak apa-apa kan?” katanya panik.
Oh.
My God. Wajah ayu Irma bersinar.
“Koq malah senyum? Kamu tahu tidak, aku sangat
khawatir kepadamu,” pandangannya beralih ke langit.
Hah. Pun sama sekali tak menjawab. Irma masih
menikmati apa yang dialaminya. Seperti terbang ke langit ke tujuh.
Pict source: gambarzoom.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar