PULANG
“Serupa bintang di
ujung timur kala subuh yang kadang kala hadir dan selalu dirindu”
Irma mengembuskan nafas legah. Setidaknya ia sudah
tidak melihat wajah Ferli kurang delapan jam dulu bahkan sampai besok kalau
perlu. Masih kikuk dengan persoalan pagi. Hanya saja membingungkan, seolah lupa
dengan persoalan kesalnya.
Ah. Mengingat itu perasaan gadis riang itu bercampur
aduk. Sebelumnya malu sampai-sampai pipi, telinga, hidung bahkan semua sampulan
seperti masakan yang sudah siap dihidangkan. Sekarang, malah-malah senyum
sendiri sambil terus menggigit pipet minumannya.
Suasana kelasnya belum ramai, hanya ada beberapa
teman-teman yang datang pagi untuk mengerjakan tugas. Untungnya tugas makalah
yang dikumpulkan sudah diselesaikan jadi Irma masih bisa kesemsem terus dengan
kejadian pagi.
“Ini anak, kesambet setan apaan lo?”
Karin duduk di sampingnya terhitung sudah tiga ratus
detik tetapi tidak dihiraukan. Lagi-lagi abnormal, persis masuk kampus pertama
kali. Pasti ada hubungannya dengan Senior
Ferli. Pekik Karin di batin.
“Karin, sejak kamu ada di situ?” terheran.
“Dari jaman Nabi Adam diciptakan. Dari tadi
lah..... Kamu sebenarnya kenapa sih?
Senyam-senyum kayak orang gila. Mending kita ke rumah sakit sebentar ya,
periksa keadaanmu,” nada Karin meledek.
“Apaan sih....?” mata Irma membulat.
Karin yang tidak mau ketinggalan berita apapun dari
kisah percintaan sahabat dengan senior buru-buru mengintrogasi dan untungnya
seperti biasa sahabat tercintanya curhat.
***
Karin menggandeng Irma menuju kantin, sudah hampir
empat jam duduk di ruangan mendengarkan dosen menjelaskan pelajaran. Perut
mereka sudah keroncongan, meminta jatah. Sambil terus mengantri keduanya
bercerita masih tentang kejadian pagi.
“Dek. Kalian mau makan atau tidak?” tanya pelayan
kantin.
Keduanya tidak sadar waktu mengalun cepat. Beberapa
yang ada di depan mereka sudah asyik menikmati makananya. Irma terbelalak
memandang ke samping. Astagfirullah.
Kemudian maju mengambil piring dan meminta makanan kesukaannya. “Nasi ukuran
biasa ya mba, sayur capcai, ayam goreng penyet.”
“Kalau aku, nasi ukuran biasa juga ada sosisnya,
ayam goreng penyet juga,” Karin tersenyum.
Oh
my God. Kembali degup jantung Irma berdetak kencang.
Buru-buru mengambil langkah seribu, pura-pura tak melihat Ferli yang berada di
antrian dan tersenyum padanya.
“Ayo!” sambil ditarik tangan Karin menuju meja
paling sudut dan terhalang tembok besar agar tidak banyak melihat.
Menghindar
adalah cara terbaik ketika takut ketahuan.
***
Irma
memeriksa jam yang melingkar di lengan kananya. Harusnya menerima tawaran Karin
untuk diantar, sekarang malah duduk lagi di halte menunggu bis. Kehilangan bus
pertama karena tiba-tiba ada praket, membuat harus menunggu hampir satu jam
lagi bus kedua datang. Ah..... untung
sudah sholat Asyar di masjid kampun. Kembali tersenyum.
“Assalamualaikum.....”
Pandangannya menyentuh sesuatu yang indah. Sumpah ganteng sekali. Relungnya
berkecamuk.
“Waalaikumsalam,” tersenyum.
“Dek kecil, kamu nunggu bis lagi ya?” Ferli
menaikkan alis.
Dek
kecil? Gadis berhijab itu mengontrol diri. Jangan sampai
salah tingkah dan salah bicara lagi.
“Ia, kakak besar.”
Pemuda memanyungkan mulut. Gadis dihadapannya pintar
membalas.
“Masalah tadi pagi, itu.....” Ferli ingin mengambil
alih suasana tetapi buru-buru Irma menunjuk bis yang sudah mendekat, “ Itu bis
sudah datang,” dan pura-pura nampak tenang.
Ferli hanya menggeleng kepala dan tersenyum,
kemudian naik bis dan duduk berdampingan lagi dengan Irma. Mungkinkah ada cinta yang sama darinya persis seperti hati Irma?
Entahlah, waktu akan menjawab.
Pict source: gambarzoom.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar