PESURUH
“Jika
kau tahu apa yang sebenarnya terjadi saat menyentuhmu dengan pandangan, hatiku
berdegup sangat kencang”
“Thank you,” ucapnya penuh terima kasih.
Ferli membalas dengan sunggingan menawan.
Irma menikmati perjalanannya. Berisian dengan
seorang pahlawan yang siap melindungi dari marabahaya. Sosok tampan dengan
tubuh menjulang. Jujur dari hatinya, bukan hanya senyuman dan parasnya yang
membuat terpesona, namun kesholehannya yang selalu menjaga jarak yang bukan
muhrim dan mahramnya. Pasti sama-sama cepat menundukan wajah kalau tertangkap
saling bertatapan. Kelepasan. Lucu. Hanya saja hal yang tidak bisa
ditawar-tawar kalau belum halal.
Jika Karin melihat, maka pasti akan jingkrak seperti
biasanya. Apalagi sudah ada kemajuan. Akhirnya
sahabatku sudah mendapatkan cinta sejatinya dan itu semua berkat dan
dukunganku. Pasti itu yang diucapkan.
“Alhamdulillah. Kita sudah sampai, masuk gih!”
katanya sambil melihat pagar besi hitam di luar asrama.
Astagfirullah,
koq waktu cepat banget sih? Bantahnya dalam hati.
Kemudian Irma membalikkan badan setelah mengucapkan terima kasih untuk yang
kelima kalinya.
Mereka tidak lagi jalan berisian. Melainkan Ferli
mengikutinya dari belakang. Dan, sebelum sampai di pintu masuk lift, gadis yang
sedang mengenakan hijab kuning itu melihat tingkah pahlawannya yang ingin bicara,
namun nampak ragu-ragu. Haruskah ia yang
memulai?
“Kak.....”
Oh
my God, kali ini tanpa pikir panjang seenaknya memanggil
kakak yang hanya direspon dengan senyuman tipis.
“Ia, kenapa?”
“Kakak, sepertinya mau ngomong sesuatu. Ngomong
aja?”
Tiba-tiba tangannya bergetar. Apakah ia merasa malu karena sudah tertangkap basah?
“Kak, ada tidak? Kalau ada, bicara saja tidak
apa-apa koq,” matanya membulat manis.
Semakin jelas rasa kikuk di diri Ferli.
“Um. Anu.... anu...
Apa namanya.....”
“Ia, apa? Bicara saja!” sekali lagi mencoba
meyakinkan.
“Aku mau ngajarin kamu mau gitar,” katanya lembut.
Allah.
Bolehkah aku pingsan sekarang? Pemuda ini benar-benar menghanyutkanku ke dalam
mimpi segala rupa.
“Memangnya boleh?”
“Boleh, tapi ada syaratnya,” kini sikapnya sudah
kembali seperti semula.
“Kamu harus mau jadi pesuruhku selama satu semester.
Terutama untuk bantu ngetik tugas kuliahku. Ingat kamu hanya bantu ngetik,” alisnya
terangkat.
“Ok.....” sekonyong-konyongnya mengiyakan.
“Hei, kalau mau pacaran jangan di depan lift dong,”
suara seorang gadis yang ternyata sudah dari tadi ingin masuk lift namun
terhalau yang hanya direspon dengan tawa tipis.
***
Tok-tok-tok.
“Ia, siapa? Sebentar....” Irma membangunkan diri
yang sebenarnya masih ingin menikmati hari libur, tapi entah siapa yang merusak
hari minggunya dengan pintu mengetuk pagi buta.
Tok-tok-tok. Bunyi ketukan di pintu semakin keras
saja. Mau tidak mau, ia harus segera bangkit dan, oh my God....
“Kak Ferli, ada apa pagi-pagi?” kekesalannya
tiba-tiba padam.
“Hari ini kamu sudah harus menjalani tugasmu sebagai
pesuruh,” katanya tegas.
“Apa? Hari ini?” mata Irma membelalak.
“Ia, hari ini. Kenapa, kamu tidak mau?” alisnya
terangkat.
Hampir seratus dua puluh detik tidak ada jawaban,
membuat Ferli sedikit kesal.
“Kalau tidak mau, aku juga tidak akan mau ngajarin
kamu,” kemudian membalikkan badan.
“Ok. Ok. Aku mau. Tapi, aku mandi dulu ya!” katanya
memohon.
“Baik, aku tunggu di lobby asrama.”
Ferli tersenyum seenaknya dan berlalu pagi.
Suka
sih suka, tapi kalau mengganggu hari liburnya sebenarnya ia tidak mau. Kalau
bukan karena alasan terpenting untuk diajar gitar, mungkin bisa tidur sepuasnya
seperti biasanya. Pekiknya dalam hati, sambil mengambil
handuk dan masuk ke kamar mandi.
Pict source: gambarzoom.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar