post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 18 November 2017

SURAT KEBERUNTUNGAN




Berkabut dalam ketidakpastian.
Besok, jika hari menjelang tanpa ada kertas-kertas berharga di telapak tangan, apa yang akan terjadi ? Aku meremang-remangkan nasibnya.
Aku duduk di jok paling belakang angkot, menatap di balik kaca orang-orang yang berkendara, melaju dan mendekat kepada yang ditumpanginya. Suasana hiruk-pikuk lalu lintas siang itu, sangat melahar. Mengundang keringat menyusup di antara lekuk pakaian, kemeja biru yang kupakai.
“Stop!!!”

Aku menyahut, sambil berdiri dan turun dari angkot. Mengambil sehelai uang kertas di saku, memberinya pada sopir.
Wajahku nampak lesu, sambil terus mengayunkan kaki menuju kos. Suara siul tiba-tiba memenuhi lubang telingaku, dari arah kanan sumber bunyi pengganggu itu. Sahrul, teman kosku menyampulkan sunggingan senyuman,  termohon dengan paksaan balasan. Meneruskan langkah dan tanpa berlama-lama masuk di kamar.
“Tok-tok tok-tok,”
“Sial, kenapa lagi dia?”
Sepertinya Sahrul yang mengetuk pintuku. Mengganggu sesaat ingin melenyapkan masalah lewat tidur.
“Ya, ada apa ?”
“Ini, ada surat buat kamu,”
Mimik mukaku bertanya-tanya.
“Ini dari seorang gadis tadi, sepertinya dia adalah teman kelasmu,”
Katanya tanpa menunggu lama langsung berlalu, tahu pasti isyarat dari dua bola mataku.
Tanpa perduli aku meletakkan saja kertas itu di meja, sebelum sempat membukanya. Lebih baik aku menstabilkan tubuhku, terlelap dan lagi-lagi untuk bisa menghilangkan masalah.
Sia-sia, mata yang terbuka menutun pikiran masalah itu lagi, sama sebelumnya terbangun tanpa ada usaha penyelesaian.
“Tidak boleh begini, aku harus usaha,”
Mendadak torehan kata-kata itu menguap di sela-sela ucapanku, sadar menuntun setelah lama terhanyut dalam kepasrahan, harus berlakon mencari rezeki-rezeki yang mungkin bisa di dapatkan lewat orang lain.
“Ka’, aku butuh bantuan, aku mau bayar SPP dan waktu pembayarannya tinggal besok. Ka’, saya mohon bantu saya sekarang,”
Aku mengumpulkan segenap keberanian dengan susah payah, baru kali ini memohon tanpa berpikir malu kepada kakak senior di jurusan yang sama.
“Maaf dik, kakak juga belum punya uang. Kakak juga barusan bayar SPP kemarin,”
Jawabannya melemahkanku. Dia menuturkan salam dan menutup teleponnya.
Aku menghembuskan nafas panjang, memerlukan waktu beberapa menit untuk sejenak berpikir tebing yang harus kudaki. Entah harus melewati lembah berlumpur atau ada jalan mulus yang terbentang di suatu tempat, harus segera kucari.
“Apapun dan bagaimanapun, saya harus dapat jalan keluarnya,”
Jam dinding menjadi fokus retina mataku, jarum kecilnya mengarah ke angka jam 9 malam.
“Ah, ini belum terlalu larut,”
Bangkit dari kelemahan, persis ketika aku mau kuliah dulu, mengendong tas ransel dengan bermodal tekad yang kuat untuk bisa kuliah, terima kesempatan, terima uluran bantuan dari saudara sepupu, meskipun, hanya sampai pada semester tiga.
Malam menjelma, tak urungkan niat, berpaling kepada hati lain yang mungkin mengiba. Menjejakkan ke nauangan penyelesaian masalah, dosen penasehat yang mungkin saja mau membantu membayarkan SPP.
“Yudha....,”
Panggil Sahrul, duduk di sebuah kursi panjang warna hitam di depan kos, aura wajahnya seperti penuh tanya.
“Mau ke mana, malam-malam gini?”
Pertanyaannya terlontar, kali ini aku tidak kesal seperti sebelumnya.
“Oh, ada urusan sebentar di luar,”
Dan, aku pun pergi dengan ucapan salam padanya.
Sia-sia saja dan lagi, dosen penasehatku, Pak Ali tidak ada di tempat, terbang ke Jakarta karena ada urusan di sana.
Tidak ada cara lagi, cuti kuliah sudah di depan mata, sempat berpikir untuk menelepon Ibuku, tidak mungkin, untuk makan saja ibu dan adik-adik saya di kampung kesusahan.
“Atau, haruskah aku menghubungi sepupuku,”
Solusi tidak benar, dia juga sedang berjuang untuk memperbaiki usaha minyak kelapanya yang terancam bangkrut.
Malam makin larut, aku memeriksa uang di kantong bajuku, tidak, baik di baju, celana tak satu lembarpun terselip uang.
“Apa yang harus aku lakukan,”
Panik membumbui pikiranku, sekitar jalan tambah sepi, kurang kendaraan yang berlalu lalang. Aku menengok jam yang ada di ponselku, Astaga, jam 11, aku terlalu lama merenungi nasib di taman kota tadi.
Namun, sepertinya ada cara untuk penyelesaian cara ini, meminta kerelaan hati Sahrul untuk datang menjemputku.
Aku tak mungkin lupa, bantuan Sahrul kali ini, dia benar-benar teman yang baik. Dia datang dengan motor birunya, menyuruh segera naik dibocengannya.
Keheningan pecah sesaat.
Sahrul sepertinya tidak mau bicara di atas motor, aku sendiripun sedang bertaut dikekesalan hati.
“Thank u ya sob, kalau bukan kamu, aku mungkin masih di jalan,”
Tuturku sambil merekahkan senyuman terima kasih.
“Apaan sih sob. Itukan gunanya teman,”
Jawabnya, memang baik.
“Tapi sob, aku penasaran deh sama isi surat yang dikasih temanmu tadi, apa itu surat cinta?”
Letupan pertayaanya,baginya sesuatu yang membuatnya penasaran.
“Bagaimana kalau kita buka sama-sama aja,”
Ajakku, matanya tergerak naik turun dan mengikutiku masuk kamar.
Kuambil surat yang diberikannya tadi siang padaku, tanpa lama-lama aku membuka amlop penutupnya.
Tertegung, takjub dan nyaris ingin lompat-lompat kegirangan. Lukiskan kesenangan tak terduga yang baru saja kuterima.
“Selamat ya Sob, kamu benar-benar hebat,”
Tukas Sahrul, ikut bahagia.
Seminggu sebelumnya, dari info teman-teman bahwa salah satu mahasiswa di semester enam jurusanku akan mendapatkan beasiswa supersemar, dan, aku tidak pernah berharap, ternyata aku adalah salah satu yang mendapatkannya.
Surat keberuntungan, pemberitahuan bahwa aku sudah mendapatkan biaya untuk pembayaran SPP. Sempat sebelumnya tidak ambil pusing, tenyata surat itu penyelesaian masalahnya.
Tersenyum bahagia, menatap surat itu, Sahrul juga ikut senang melihatku tersenyum puas. Menjadi saksi kebahagiaan temannya, malam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar