Berkabut dalam
ketidakpastian.
Besok, jika hari
menjelang tanpa ada kertas-kertas berharga di telapak tangan, apa yang akan
terjadi ? Aku meremang-remangkan nasibnya.
Aku duduk di jok paling
belakang angkot, menatap di balik kaca orang-orang yang berkendara, melaju dan
mendekat kepada yang ditumpanginya. Suasana hiruk-pikuk lalu lintas siang itu,
sangat melahar. Mengundang keringat menyusup di antara lekuk pakaian, kemeja biru
yang kupakai.
“Stop!!!”
Aku menyahut, sambil
berdiri dan turun dari angkot. Mengambil sehelai uang kertas di saku,
memberinya pada sopir.
Wajahku nampak lesu,
sambil terus mengayunkan kaki menuju kos. Suara siul tiba-tiba memenuhi lubang
telingaku, dari arah kanan sumber bunyi pengganggu itu. Sahrul, teman kosku
menyampulkan sunggingan senyuman,
termohon dengan paksaan balasan. Meneruskan langkah dan tanpa
berlama-lama masuk di kamar.
“Tok-tok tok-tok,”
“Sial, kenapa lagi
dia?”
Sepertinya Sahrul yang
mengetuk pintuku. Mengganggu sesaat ingin melenyapkan masalah lewat tidur.
“Ya, ada apa ?”
“Ini, ada surat buat
kamu,”
Mimik mukaku
bertanya-tanya.
“Ini dari seorang gadis
tadi, sepertinya dia adalah teman kelasmu,”
Katanya tanpa menunggu
lama langsung berlalu, tahu pasti isyarat dari dua bola mataku.
Tanpa perduli aku meletakkan
saja kertas itu di meja, sebelum sempat membukanya. Lebih baik aku menstabilkan
tubuhku, terlelap dan lagi-lagi untuk bisa menghilangkan masalah.
Sia-sia, mata yang
terbuka menutun pikiran masalah itu lagi, sama sebelumnya terbangun tanpa ada
usaha penyelesaian.
“Tidak boleh begini,
aku harus usaha,”
Mendadak torehan
kata-kata itu menguap di sela-sela ucapanku, sadar menuntun setelah lama
terhanyut dalam kepasrahan, harus berlakon mencari rezeki-rezeki yang mungkin
bisa di dapatkan lewat orang lain.
“Ka’, aku butuh
bantuan, aku mau bayar SPP dan waktu pembayarannya tinggal besok. Ka’, saya
mohon bantu saya sekarang,”
Aku mengumpulkan
segenap keberanian dengan susah payah, baru kali ini memohon tanpa berpikir
malu kepada kakak senior di jurusan yang sama.
“Maaf dik, kakak juga
belum punya uang. Kakak juga barusan bayar SPP kemarin,”
Jawabannya melemahkanku.
Dia menuturkan salam dan menutup teleponnya.
Aku menghembuskan nafas
panjang, memerlukan waktu beberapa menit untuk sejenak berpikir tebing yang
harus kudaki. Entah harus melewati lembah berlumpur atau ada jalan mulus yang
terbentang di suatu tempat, harus segera kucari.
“Apapun dan
bagaimanapun, saya harus dapat jalan keluarnya,”
Jam dinding menjadi
fokus retina mataku, jarum kecilnya mengarah ke angka jam 9 malam.
“Ah, ini belum terlalu
larut,”
Bangkit dari kelemahan,
persis ketika aku mau kuliah dulu, mengendong tas ransel dengan bermodal tekad
yang kuat untuk bisa kuliah, terima kesempatan, terima uluran bantuan dari
saudara sepupu, meskipun, hanya sampai pada semester tiga.
Malam menjelma, tak
urungkan niat, berpaling kepada hati lain yang mungkin mengiba. Menjejakkan ke
nauangan penyelesaian masalah, dosen penasehat yang mungkin saja mau membantu
membayarkan SPP.
“Yudha....,”
Panggil Sahrul, duduk
di sebuah kursi panjang warna hitam di depan kos, aura wajahnya seperti penuh
tanya.
“Mau ke mana,
malam-malam gini?”
Pertanyaannya
terlontar, kali ini aku tidak kesal seperti sebelumnya.
“Oh, ada urusan
sebentar di luar,”
Dan, aku pun pergi
dengan ucapan salam padanya.
Sia-sia saja dan lagi,
dosen penasehatku, Pak Ali tidak ada di tempat, terbang ke Jakarta karena ada
urusan di sana.
Tidak ada cara lagi,
cuti kuliah sudah di depan mata, sempat berpikir untuk menelepon Ibuku, tidak
mungkin, untuk makan saja ibu dan adik-adik saya di kampung kesusahan.
“Atau, haruskah aku
menghubungi sepupuku,”
Solusi tidak benar, dia
juga sedang berjuang untuk memperbaiki usaha minyak kelapanya yang terancam
bangkrut.
Malam makin larut, aku
memeriksa uang di kantong bajuku, tidak, baik di baju, celana tak satu
lembarpun terselip uang.
“Apa yang harus aku
lakukan,”
Panik membumbui
pikiranku, sekitar jalan tambah sepi, kurang kendaraan yang berlalu lalang. Aku
menengok jam yang ada di ponselku, Astaga, jam 11, aku terlalu lama merenungi
nasib di taman kota tadi.
Namun, sepertinya ada
cara untuk penyelesaian cara ini, meminta kerelaan hati Sahrul untuk datang
menjemputku.
Aku tak mungkin lupa,
bantuan Sahrul kali ini, dia benar-benar teman yang baik. Dia datang dengan
motor birunya, menyuruh segera naik dibocengannya.
Keheningan pecah
sesaat.
Sahrul sepertinya tidak
mau bicara di atas motor, aku sendiripun sedang bertaut dikekesalan hati.
“Thank u ya sob, kalau
bukan kamu, aku mungkin masih di jalan,”
Tuturku sambil
merekahkan senyuman terima kasih.
“Apaan sih sob. Itukan
gunanya teman,”
Jawabnya, memang baik.
“Tapi sob, aku
penasaran deh sama isi surat yang dikasih temanmu tadi, apa itu surat cinta?”
Letupan
pertayaanya,baginya sesuatu yang membuatnya penasaran.
“Bagaimana kalau kita
buka sama-sama aja,”
Ajakku, matanya
tergerak naik turun dan mengikutiku masuk kamar.
Kuambil surat yang
diberikannya tadi siang padaku, tanpa lama-lama aku membuka amlop penutupnya.
Tertegung, takjub dan
nyaris ingin lompat-lompat kegirangan. Lukiskan kesenangan tak terduga yang
baru saja kuterima.
“Selamat ya Sob, kamu
benar-benar hebat,”
Tukas Sahrul, ikut
bahagia.
Seminggu sebelumnya,
dari info teman-teman bahwa salah satu mahasiswa di semester enam jurusanku akan
mendapatkan beasiswa supersemar, dan, aku tidak pernah berharap, ternyata aku
adalah salah satu yang mendapatkannya.
Surat keberuntungan,
pemberitahuan bahwa aku sudah mendapatkan biaya untuk pembayaran SPP. Sempat
sebelumnya tidak ambil pusing, tenyata surat itu penyelesaian masalahnya.
Tersenyum bahagia,
menatap surat itu, Sahrul juga ikut senang melihatku tersenyum puas. Menjadi
saksi kebahagiaan temannya, malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar