SUARA
HATI
“Aku
tidak bisa berkutik, ketika tetesan dari hati itu melaut”
Terabaikan.
Sebenarnya baru beberapa hari ini Cantik mengerti perasaan yang tidak
mengenakan itu. Membuang-buang waktu hanya saja hinggap seenaknya. Sama sekali
tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya, kenapa begitu tidak suka melihat
Luna dekat dengan Digta.
Dan, mencoba membalas dengan mengabaikan keduanya.
“Kamu mau minum jus jerus tidak?” tanya Digta yang
sudah membawa beberapa buah jeruk dalam kresek, yang dibeli di mini market
tidak jauh dari kosnya.
Cantik menoleh, tak menjawab dan melanjutkan kembali
membaca novel. Luna terheran, pun langsung mengambil alih perhatian Digta.
“Mending kita bikin aja sekarang!” ajaknya.
“Kamu tidak usah ikut bikin. Kamu duduk manis aja di
sini. Okay,” Digta tersenyum.
Sok
ganteng. Pekik Cantik dalam batin kemudian pergi meninggalkan
suami dan Luna yang terkaget dengan perubahan sikapnya, apalagi setelahnya
mendengar pantulan pintu kamar yang keras.
Satu jam berlalu. Digta sudah mengantar Luna pulang
dan dengan langkah cepat ia mendatangi Cantik yang pura-pura tidur.
“Assalamualaikum,” katanya pelan. Ia geleng-geleng
kepala dan penasaran, apa sebenarnya yang membuat istrinya marah.
“Kamu tidur atau tidak sih? Kalau tidak aku mau
bicara dengan kamu dulu sebentar,” membaca keadaan dengan melihat gerak-gerik
Cantik yang bergerak kemana-mana, seperti sedang gelisah.
Ha. Cantik mendengus nafas panjang, kemudian
bangkit. Alisnya terangkat dan menatap tajam Digta yang sedang duduk di
sampingnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu? Apa ada
sesuatu yang mengganggumu? Apakah itu tentang sikapku? Tolong jujur padaku?”
Canti semakin meningkatkan ketajaman matanya.
Beberapa kali tidak ada jawaban, beberapa kali juga usaha Digta berkata lembut
sampai batas kesabarannya hilang.
“Terserah kamu. Pokoknya aku tidak peduli lagi sama
kamu,” katanya bangkit.
“Emang aku perduli sama aku. Tidak lah yau,” kali
ini Cantik ikut bersuara.
“Okay. Urusi urusan kamu sendiri, begitupun juga
dengan aku, yang akan memperjuangkan cintaku dengan Luna,” kata Digta tegas.
Dan, terhenyak. Kenyataan yang beberapa menit
sebelumnya takut akan didengarnya langsung dari mulut Digta.
Digta keluar dari kamar, kemudian melangkah cepat
dan pergi meninggalkan bekas raungan motornya yang seolah membelah jalan.
Sedang Cantik sekarang mendapatkan kaca-kaca di matanya. Selanjutnya tumpah
ruah, bukan hanya di pipi melainkan juga di jiwa.
Ah. Hatinya yang sudah membaca jelas hadirnya
perasaan cinta harus merasakan sepihak bahkan sebelum dimulai. Ia menangis
sejadi-jadinya dalam suara yang tertahan agar jangan sampai terdengar oleh
orang lain. Pun menyalahkan dirinya.
Harusnya sadar kalau hubungan di antara mereka
hanyalah sebatas kontrak karena sebuah kejadian yang sebenarnya tidak harus
terjadi. Harusnya sadar ada cinta lain yang lebih dulu mengisi relung hatinya.
Dan, harusnya sadar dia bukan siapa-siapa. Ha. Ia memeluk erat kedua kakinya
dan menangisi takdir cintanya.
***
Sudah
pukul 20 malam. Tidak ada tanda-tanda kalau Digta akan datang. Ia duduk
menunggu sambil mencoba menenangkan hatinya dengan menonton tv atau membaca
novel yang hasilnya nihil, pun memutuskan menunggu di depan pagar kosnya.
Ah, hujan hadir. Buru-buru ia mengambil payung dan
kembali menunggu Digta. Jam yang melingkat di tangannya sudah menunjukkan angka
23.00 dan masih saja tak ada bayangan kehadiran suaminya. Kembali mendengus
nafas berat. Andai ia tak egois dan
bersikap buruk kepadanya dan terhadap Luna.
pict source: www.anakcemerlang.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar