post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Selasa, 26 Desember 2017

Still Hoping (12)

SUARA HATI
“Aku tidak bisa berkutik, ketika tetesan dari hati itu melaut”


Terabaikan. Sebenarnya baru beberapa hari ini Cantik mengerti perasaan yang tidak mengenakan itu. Membuang-buang waktu hanya saja hinggap seenaknya. Sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya, kenapa begitu tidak suka melihat Luna dekat dengan Digta.
Dan, mencoba membalas dengan mengabaikan keduanya.
“Kamu mau minum jus jerus tidak?” tanya Digta yang sudah membawa beberapa buah jeruk dalam kresek, yang dibeli di mini market tidak jauh dari kosnya.

Cantik menoleh, tak menjawab dan melanjutkan kembali membaca novel. Luna terheran, pun langsung mengambil alih perhatian Digta.
“Mending kita bikin aja sekarang!” ajaknya.
“Kamu tidak usah ikut bikin. Kamu duduk manis aja di sini. Okay,” Digta tersenyum.
Sok ganteng. Pekik Cantik dalam batin kemudian pergi meninggalkan suami dan Luna yang terkaget dengan perubahan sikapnya, apalagi setelahnya mendengar pantulan pintu kamar yang keras.
Satu jam berlalu. Digta sudah mengantar Luna pulang dan dengan langkah cepat ia mendatangi Cantik yang pura-pura tidur.
“Assalamualaikum,” katanya pelan. Ia geleng-geleng kepala dan penasaran, apa sebenarnya yang membuat istrinya marah.
“Kamu tidur atau tidak sih? Kalau tidak aku mau bicara dengan kamu dulu sebentar,” membaca keadaan dengan melihat gerak-gerik Cantik yang bergerak kemana-mana, seperti sedang gelisah.
Ha. Cantik mendengus nafas panjang, kemudian bangkit. Alisnya terangkat dan menatap tajam Digta yang sedang duduk di sampingnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Apakah itu tentang sikapku? Tolong jujur padaku?”
Canti semakin meningkatkan ketajaman matanya. Beberapa kali tidak ada jawaban, beberapa kali juga usaha Digta berkata lembut sampai batas kesabarannya hilang.
“Terserah kamu. Pokoknya aku tidak peduli lagi sama kamu,” katanya bangkit.
“Emang aku perduli sama aku. Tidak lah yau,” kali ini Cantik ikut bersuara.
“Okay. Urusi urusan kamu sendiri, begitupun juga dengan aku, yang akan memperjuangkan cintaku dengan Luna,” kata Digta tegas.
Dan, terhenyak. Kenyataan yang beberapa menit sebelumnya takut akan didengarnya langsung dari mulut Digta.
Digta keluar dari kamar, kemudian melangkah cepat dan pergi meninggalkan bekas raungan motornya yang seolah membelah jalan. Sedang Cantik sekarang mendapatkan kaca-kaca di matanya. Selanjutnya tumpah ruah, bukan hanya di pipi melainkan juga di jiwa.
Ah. Hatinya yang sudah membaca jelas hadirnya perasaan cinta harus merasakan sepihak bahkan sebelum dimulai. Ia menangis sejadi-jadinya dalam suara yang tertahan agar jangan sampai terdengar oleh orang lain. Pun menyalahkan dirinya.
Harusnya sadar kalau hubungan di antara mereka hanyalah sebatas kontrak karena sebuah kejadian yang sebenarnya tidak harus terjadi. Harusnya sadar ada cinta lain yang lebih dulu mengisi relung hatinya. Dan, harusnya sadar dia bukan siapa-siapa. Ha. Ia memeluk erat kedua kakinya dan menangisi takdir cintanya.
***
Sudah pukul 20 malam. Tidak ada tanda-tanda kalau Digta akan datang. Ia duduk menunggu sambil mencoba menenangkan hatinya dengan menonton tv atau membaca novel yang hasilnya nihil, pun memutuskan menunggu di depan pagar kosnya.
Ah, hujan hadir. Buru-buru ia mengambil payung dan kembali menunggu Digta. Jam yang melingkat di tangannya sudah menunjukkan angka 23.00 dan masih saja tak ada bayangan kehadiran suaminya. Kembali mendengus nafas berat. Andai ia tak egois dan bersikap buruk kepadanya dan terhadap Luna.

pict source: www.anakcemerlang.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar