post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Selasa, 15 Mei 2018

Still Hoping (20)


KERESAHAN
“Aku benar-benar tidak suka melihatmu dengannya”

 Mata mereka saling menantang. Tidak ada pembicaraan sama sekali. Keduanya takut kalau-kalau mengeluarkan kalimat apapun, mungkin akan menyakitkan. Diam lebih baik daripada harus menyakiti. Bukankah demikian? Hanya sikap tetap menampakkan ketidaksukaan.
Digta menyudahi duluan. Ia pergi ke kamar dengan langkah berat dan membanting pintu, sampai-sampai Cantik sedikit ketakutan. Tidak mau kalah, gadis itu beranjak ke dapur, dengan kasar mengambil gelas sampai berdentuman dengan meja. Untungnya bukan gelas kaca. Ia minum sambil berpikir tentang suaminya yang entah dirasuki setan apa.

“Dasar aneh. Marah-marah tidak jelas. Emang dia pikir, dia siapa. Aku kan juga bisa marah. Pokoknya lihat aja nanti,” pekiknya.
***
Malam mengalun. Di dapur, Cantik memasak seperti biasanya. Berkali-kali ia melihat kea rah kamar. Tidak ada tanda-tanda kalau Digta keluar.
“Apa dia tidak kelaparan? Seharian hanya mengurung diri di kamar? Mmmm. Tapi kalau aku membawakannya makanan, nanti dia berpikir yang macam-macam lagi,” bingung.
Satu jam kembali berlalu, gadis itu pura-pura menikmati acara tv sambil membaca buku. Berkali-kali ia melirik ke kamar, sama sekali tidak ada tanda-tanda perubahan. Pertanyaan berbenturan di kepalanya. Ia sudah tidak tahan. Cantik mengangkat bahu dan menemui Digta.
“Wei, kamu kenapa sih? Kamu tidak lapar emangnya?”
Digta terlihat tidur, namun Cantik tahu itu hanyalah pura-pura.
“Jangan diam dong! Beritahu apa yang sedang kamu rasakan? Kenapa tiba-tiba seperti ini. Aku tahu kalau kamu tidak tidur,” suara gadis itu makin lantang.
Dan, Digta terbangun.
“Kenapa kalau aku diam? Itukan terserah aku. Mulut-mulut aku,” ketus.
“Aku tahu, hanya saja kamu tidak boleh menyiksa dirimu sendiri kalau lagi marah pada orang lain. Itu perut kamu sudah keroncongan dari tadi bunyi-bunyi,” Cantik menunjuk perutnya.
Digta mengelus perutnya.
“Baiklah kalau kamu memaksa,” Digta sok jual mahal, walaupun sebenarnya dari tadi ingin diajak.
Terlihat begitu lapar, sampai-sampai makanan itu tidak dikunyah hanya ditelan. Ia tersedak dan butuh air, secepatnya Cantik memberinya air.
“Pelan-pelan dong makannya. Tidak akan lari ke mana koq.”
“Tidak usah peduli lah sama aku. Urusin aja sana si Hiro-hiro kamu itu,” Digta kembali ketus.
“Kamu kenapa sih? Selalu nyolot sama aku? Apa sebenarnya salah aku?” mata Cantik menyala.
“Aku tidak suka kamu berada dekat Hiro. Pokoknya aku tidak suka,” Digta berdiri.
Mendadak suasana senyap. Kalimat itu membuat  keduanya tidak bisa berucap apa-apa. Pun Digta kembali meminum air dan masuk ke dalam kamar. Malam itu dihabiskan dengan perenungan.
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka? Apakah sudah terjalin hubungan istimewa karena sebuah takdir yang dulunya mengharuskan mereka untuk menikah? Ah….. Semalaman mereka berpikir panjang. Terlihat sangat gelisah.
“Apa kamu belum tidur?” Digta merasa bukan hanya dirinya yang tidak bisa tidur, melainkan gadis yang dari tadi hanya mendengus nafas panjang.
“Ia, aku belum tidur,” Cantik menjawab lembut.
“Ha…. Maafkan aku, hari ini aku sangat kasar kepadamu.”
“Hmmm. Aku benar-benar tidak mengerti padamu.”
“Maksud kamu?”
“Kamu pikir saja sendiri tentang apa yang kamu bilang di dapur tadi.”
Mendadak hening mengambil alih suasana.
“Hah. Sudahlah, mungkin aku hanya kesal saja dengan tugasku yang makin menumpuk. Aku minta maaf sebesar-besarnya dan aku akan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi,” Digta memendam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar