KERESAHAN
“Aku
benar-benar tidak suka melihatmu dengannya”
Mata mereka saling
menantang. Tidak ada pembicaraan sama sekali. Keduanya takut kalau-kalau
mengeluarkan kalimat apapun, mungkin akan menyakitkan. Diam lebih baik daripada
harus menyakiti. Bukankah demikian? Hanya sikap tetap menampakkan
ketidaksukaan.
Digta
menyudahi duluan. Ia pergi ke kamar dengan langkah berat dan membanting pintu,
sampai-sampai Cantik sedikit ketakutan. Tidak mau kalah, gadis itu beranjak ke
dapur, dengan kasar mengambil gelas sampai berdentuman dengan meja. Untungnya
bukan gelas kaca. Ia minum sambil berpikir tentang suaminya yang entah dirasuki
setan apa.
“Dasar
aneh. Marah-marah tidak jelas. Emang dia pikir, dia siapa. Aku kan juga bisa
marah. Pokoknya lihat aja nanti,” pekiknya.
***
Malam mengalun. Di
dapur, Cantik memasak seperti biasanya. Berkali-kali ia melihat kea rah kamar.
Tidak ada tanda-tanda kalau Digta keluar.
“Apa
dia tidak kelaparan? Seharian hanya mengurung diri di kamar? Mmmm. Tapi kalau
aku membawakannya makanan, nanti dia berpikir yang macam-macam lagi,” bingung.
Satu
jam kembali berlalu, gadis itu pura-pura menikmati acara tv sambil membaca
buku. Berkali-kali ia melirik ke kamar, sama sekali tidak ada tanda-tanda
perubahan. Pertanyaan berbenturan di kepalanya. Ia sudah tidak tahan. Cantik
mengangkat bahu dan menemui Digta.
“Wei,
kamu kenapa sih? Kamu tidak lapar emangnya?”
Digta
terlihat tidur, namun Cantik tahu itu hanyalah pura-pura.
“Jangan
diam dong! Beritahu apa yang sedang kamu rasakan? Kenapa tiba-tiba seperti ini.
Aku tahu kalau kamu tidak tidur,” suara gadis itu makin lantang.
Dan,
Digta terbangun.
“Kenapa
kalau aku diam? Itukan terserah aku. Mulut-mulut aku,” ketus.
“Aku
tahu, hanya saja kamu tidak boleh menyiksa dirimu sendiri kalau lagi marah pada
orang lain. Itu perut kamu sudah keroncongan dari tadi bunyi-bunyi,” Cantik
menunjuk perutnya.
Digta
mengelus perutnya.
“Baiklah
kalau kamu memaksa,” Digta sok jual mahal, walaupun sebenarnya dari tadi ingin
diajak.
Terlihat
begitu lapar, sampai-sampai makanan itu tidak dikunyah hanya ditelan. Ia
tersedak dan butuh air, secepatnya Cantik memberinya air.
“Pelan-pelan
dong makannya. Tidak akan lari ke mana koq.”
“Tidak
usah peduli lah sama aku. Urusin aja sana si Hiro-hiro kamu itu,” Digta kembali
ketus.
“Kamu
kenapa sih? Selalu nyolot sama aku? Apa sebenarnya salah aku?” mata Cantik
menyala.
“Aku
tidak suka kamu berada dekat Hiro. Pokoknya aku tidak suka,” Digta berdiri.
Mendadak
suasana senyap. Kalimat itu membuat
keduanya tidak bisa berucap apa-apa. Pun Digta kembali meminum air dan
masuk ke dalam kamar. Malam itu dihabiskan dengan perenungan.
Apa
yang sebenarnya terjadi di antara mereka? Apakah sudah terjalin hubungan
istimewa karena sebuah takdir yang dulunya mengharuskan mereka untuk menikah? Ah…..
Semalaman mereka berpikir panjang. Terlihat sangat gelisah.
“Apa
kamu belum tidur?” Digta merasa bukan hanya dirinya yang tidak bisa tidur,
melainkan gadis yang dari tadi hanya mendengus nafas panjang.
“Ia,
aku belum tidur,” Cantik menjawab lembut.
“Ha….
Maafkan aku, hari ini aku sangat kasar kepadamu.”
“Hmmm.
Aku benar-benar tidak mengerti padamu.”
“Maksud
kamu?”
“Kamu
pikir saja sendiri tentang apa yang kamu bilang di dapur tadi.”
Mendadak
hening mengambil alih suasana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar