post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 16 Juni 2018

Baiduri (33)


MENGHINDAR
“Kamu tahu seperti apa aku tanpa dirimu? Aku merasa seperti debu”

Di kelas, sebelum pelajaran di mulai, Ferdi mencari keberadaan Suci. Sebelumnya ia menjemputnya untuk sama-sama ke sekolah. Ya, meskipun sudah semalam diberikan pesan via line agar berhenti menjadi sopirnya, tetap saja Ferdi merasa tidak perlu melakukannya. Ia punya kewajiban untuk menjaganya selamanya.
“Assalam.”
“Waalaiakumsalam. Kenapa kak? Ada yang bisa saya bantu?”

“Ia, kamu lihat Suci tidak? Aku mencarinya di rumahnya kata tante Nini ia sudah berangkat pagi-pagi sekali dan sekarang aku mencarinya di kelas pun juga tidak menemukannya.”
Beberapa detik Ida tidak menjawab pernyataan Ferdi melalui telepon, menimbulkan kecurigaan. Mungkin saja, mereka sedangn bersama.
“Oh, maaf kak. Aku juga tidak tahu, kalau begitu aku masuk dulu ya, soalnya bu Ida sudah di kelas. Assalam.”
“Wassalam,” terpaksa ia menutup teleponnya, padahal masih ada yang ingin dibicarakan.
Ia melihat jam yang melingkar di tangannya. Sisa lima menit Bu Rosmini, Guru Matematika akan masuk, membuatnya khawatir. Ia berdiri dan berjalan mencarinya di mana saja di lingkungan sekolah, mulai dari perpustakaan, kantin, tanaman sekolah sampai ruang UKS, tetap saja ia tidak menemukannya.
“Sebenarnya kamu di mana Suci. Mohon jangan membuat aku khawatir,” katanya terus celingak-celinguk.
Dan, bel masuk berdentum memenuhi sudut telinganya. Terpaksa ia kembali berlari menuju kelas dan berharap gadis yang dicarinya sudah berada di sana dan benar saja apa yang diharapkannya.
Bagaimana bentuk perasaan saat orang yang diberikan senyuman dengan ikhlas jutsru menampakkan diri dengan membuangnya? Bukankah membentuk kesakitan yang sampai-sampai akan membuat kapok? Hah. Tidak. Itu bukanlah Suci, pasti dirinya hanya melakukannya demi orang lain, bukan karena dirinya. Serta merta berprasangka baik walaupun selalu saja diberikan sikap acuh.
Waktu jam istirahat, Ida dan Ayu sudah menunggunya di depan kelas untuk bersama-sama ke kantin dan Ferdi segera menawarkan diri untuk bergabung. Suci meliha ke arah dua sahabatnya dengan tatapan mendung.
“Aku tidak jadi deh. Soalnya aku masih kenyang,” kemudian berbalik entah berjalan ke mana dan tidak melihat wajah Ferdi meskipun hanya sepintas.
Kesedihan merebah sekali lagi dalam hati pemuda itu. Kenapa bercak-bercak luka perlahan muncul dengan sikap menghindar Suci. Serasa apapun di dunia ini tidak ada artinya, ketika seseorang yang disayangi malah menghindar.
“Kalau begitu, bolehkan aku bicara dengan kalian berdua?” Ferdi penuh harap.
Ida dan Ayu saling menatap. Sepertinya mereka merasa bersalah.
“Tentu saja boleh kak.”
“Ayo!”
Ketiganya mulai berjalan berisian menuju kantin.
***
Ketiganya duduk di meja berbentuk segieempat dengan bangku panjang di dua sisinya. Biasanya ditambah Suci mereka selalu makan bersama di kantin, saat jam istirahat hanya saja berbeda hari ini.
Ferdi diam sejenak padahal sebelumnya dia yang mengaja untuk ke kantin dan membicarakan sesuatu.  Ayu dan Ida saling melihat, merasa hubungan antara sahabat dan pemuda di sampignya kenapa begitu rumit?
“Kak Fer…” kata Ida namun tidak dihiraukan.
Ferdi sibuk mengaduk juicenya dengan pipet berwarna putih.
“Kak Fer. Kakak dengar aku kan?”
“Ia Suci, tentu aku mendengar kamu,” Ferdi spontan mengucap nama Suci.
Ida dan Ayu menatap seniornya dengan kemendungan. Nampak sekali ada kerinduan di matanya.
“Apakah kakak merindukan Suci?” ida ikut berwajah mendung.
Ferdi mengangguk pelan. Ah……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar