MENGHINDAR
“Kamu
tahu seperti apa aku tanpa dirimu? Aku merasa seperti debu”
Di kelas, sebelum
pelajaran di mulai, Ferdi mencari keberadaan Suci. Sebelumnya ia menjemputnya
untuk sama-sama ke sekolah. Ya, meskipun sudah semalam diberikan pesan via line
agar berhenti menjadi sopirnya, tetap saja Ferdi merasa tidak perlu
melakukannya. Ia punya kewajiban untuk menjaganya selamanya.
“Assalam.”
“Waalaiakumsalam.
Kenapa kak? Ada yang bisa saya bantu?”
“Ia,
kamu lihat Suci tidak? Aku mencarinya di rumahnya kata tante Nini ia sudah
berangkat pagi-pagi sekali dan sekarang aku mencarinya di kelas pun juga tidak
menemukannya.”
Beberapa
detik Ida tidak menjawab pernyataan Ferdi melalui telepon, menimbulkan
kecurigaan. Mungkin saja, mereka sedangn bersama.
“Oh,
maaf kak. Aku juga tidak tahu, kalau begitu aku masuk dulu ya, soalnya bu Ida
sudah di kelas. Assalam.”
“Wassalam,”
terpaksa ia menutup teleponnya, padahal masih ada yang ingin dibicarakan.
Ia
melihat jam yang melingkar di tangannya. Sisa lima menit Bu Rosmini, Guru
Matematika akan masuk, membuatnya khawatir. Ia berdiri dan berjalan mencarinya
di mana saja di lingkungan sekolah, mulai dari perpustakaan, kantin, tanaman
sekolah sampai ruang UKS, tetap saja ia tidak menemukannya.
“Sebenarnya
kamu di mana Suci. Mohon jangan membuat aku khawatir,” katanya terus
celingak-celinguk.
Dan,
bel masuk berdentum memenuhi sudut telinganya. Terpaksa ia kembali berlari
menuju kelas dan berharap gadis yang dicarinya sudah berada di sana dan benar
saja apa yang diharapkannya.
Bagaimana
bentuk perasaan saat orang yang diberikan senyuman dengan ikhlas jutsru
menampakkan diri dengan membuangnya? Bukankah membentuk kesakitan yang
sampai-sampai akan membuat kapok? Hah.
Tidak. Itu bukanlah Suci, pasti dirinya hanya melakukannya demi orang lain,
bukan karena dirinya. Serta merta berprasangka baik walaupun selalu saja
diberikan sikap acuh.
Waktu
jam istirahat, Ida dan Ayu sudah menunggunya di depan kelas untuk bersama-sama
ke kantin dan Ferdi segera menawarkan diri untuk bergabung. Suci meliha ke arah
dua sahabatnya dengan tatapan mendung.
“Aku
tidak jadi deh. Soalnya aku masih kenyang,” kemudian berbalik entah berjalan ke
mana dan tidak melihat wajah Ferdi meskipun hanya sepintas.
Kesedihan
merebah sekali lagi dalam hati pemuda itu. Kenapa bercak-bercak luka perlahan
muncul dengan sikap menghindar Suci. Serasa apapun di dunia ini tidak ada
artinya, ketika seseorang yang disayangi malah menghindar.
“Kalau
begitu, bolehkan aku bicara dengan kalian berdua?” Ferdi penuh harap.
Ida
dan Ayu saling menatap. Sepertinya mereka merasa bersalah.
“Tentu
saja boleh kak.”
“Ayo!”
Ketiganya
mulai berjalan berisian menuju kantin.
***
Ketiganya
duduk di meja berbentuk segieempat dengan bangku panjang di dua sisinya.
Biasanya ditambah Suci mereka selalu makan bersama di kantin, saat jam
istirahat hanya saja berbeda hari ini.
Ferdi
diam sejenak padahal sebelumnya dia yang mengaja untuk ke kantin dan
membicarakan sesuatu. Ayu dan Ida saling
melihat, merasa hubungan antara sahabat dan pemuda di sampignya kenapa begitu
rumit?
“Kak
Fer…” kata Ida namun tidak dihiraukan.
Ferdi
sibuk mengaduk juicenya dengan pipet berwarna putih.
“Kak
Fer. Kakak dengar aku kan?”
“Ia
Suci, tentu aku mendengar kamu,” Ferdi spontan mengucap nama Suci.
Ida
dan Ayu menatap seniornya dengan kemendungan. Nampak sekali ada kerinduan di
matanya.
“Apakah
kakak merindukan Suci?” ida ikut berwajah mendung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar