JANGAN
SAKIT!
Dalam hujan itu, Hiro
juga melihat bagaimana Digta menahan Cantik untuk menghentikan pencariannya
meskipun tidak bisa mendengarkan percakapan antara mereka.
“Tidak
usah terus berlari, nanti kamu sakit,” menggenggam tangannya dan secepat kilat
yang berbenturan di langit, Cantik melepaskannya.
“Aku
harus mencarinya. Aku harus meminta maaf padanya,” katanya sambil terus
berlari.
Semua
yang melihat terheran-heran. Apa yang sebenarnya telah terjadi di antara mereka
berdua. Nampak ada yang bergosip berkelompok ada pula yang berkelompok hanya melihat.
Di kepala mereka penuh dengan beban pertanyaan yang menjadi teka-teki. Untuk
apa mereka berdua menerobos hujan lebat dan terlihat mesra setelah Digta memaksa
Cantik untuk menghentikan pencariannya.
“Saya
tidak mau tahu, kamu harus menghentikan ini semua. Aku tidak mau kalau kamu
sampai sakit. Aku khawatir padamu,” matanya menyiratkan kesungguhan.
Beberapa
kali sebelumnya sudah menolak, hanya saja kali ini Digta sedikit memaksa.
“Sekarang,
Hiro pasti membutuhkan waktu untuk sendiri,” katanya bersama raungan hujan yang
berdentuk keras.
Cantik
mulai menetralisir perkataannya. Mungkin
benar apa yang dikatakan Digta. Sementara waktu Hiro membutuhkan waktu. Dia
orang baik, pasti lambat laun akan mengerti.
Keduanya
berteduh di bawah pohon dan masih dipenuhi dengan mata-mata yang menyala dengan
pertanyaan-pertanyaan. Walaupun tersadar, Digta sama sekali tidak perduli. Dia
terus menampakkan perhatiannya, bahkan setelah hujan reda. Ia mengambil jacket
di dalam tasnya dan kemudian dipakaikan sendiri ke badan istrinya.
“Kamu
jangan sampai sakit atau aku akan khawatir.”
Allah, kenapa aku deg-deg-gan
seperti ini? Rasa ini kembali menggelitik dan perkataan Digta barusan, entah
kenapa membawa kebahagiaan tersendiri yang tak bisa diuangkapkan dengan
kata-kata. batin Cantik yang terus menatap Digta merapatkan
jacket yang dipakainya.
“Apa
kamu masih dingin?”
Cantik
hanya menggeleng. Dan, setelahnya perasaan khawatirnya pada senior yang sudah
dibohonginya muncul lagi.
“Bagaimana
sekarang? Kak Hiro sangat membenci aku.”
Dan,
kalimat yang menguap dari bibir Cantik membuat Digta meleleh dengan perasaan
yang tidak enak. Ada kesadaran tentang Cantik seolah begitu khawatir dengan pemuda
lain, padahal di depannya ada dirinya yang siap melindunginya. Perasaan apa ini? Kenapa begitu
menjengkelkan ketika gadis ini menyebutkan pemuda lain dihadapanku?
Pekiknya dalam hati. Sementara Cantik sibuk berbicara sendiri dan memukul
kepala Digta saat tahu ia tidak didengarkan.
“Kamu
dengar aku tidak sih? Aku kan lagi bicara padamu?”
“Aduh.
Sakit tahu. Ia, aku dengar,” Digta memegang kepalanya yang dikenai cincin pernikahan
mereka.
“Maaf.
Maaf. Aku tidak sengaja,” dan tangan Cantik yang reflek ingin memegangan kepala
Digta, tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Digta. Mata mereka saling
menantang. Kalau ada yang bisa melihat, pasti bertebaran bunga-bunga yang
menjatuhi mereka.
“Maaf,”
Digta menurunkan tangannya.
“Justru
aku yang harus meminta maaf,” dan mulai mengelus kepala suaminya.
Dan,
sekali lagi keduanya merasakan perasaan bahagia ketika bersama.
Kekecawaan
semakin merajam dari kejauhan. Hah.
“Kalian
benar-benar tidak menghargai perasaanku,” pekik Hiro masih dari gedung lantai
tiga Fakultas Sastra.
Bagaimanapun mereka berdua sudah
mempunyai ikatan. Rasanya tidak akan mungkin menjadi kebahagiaan Cantik, yang
jujur sudah menempati sudut istimewa dalam hati. Tidak mungkin menjadi orang
ketiga di antara mereka. Hiro berpikir dalam perjalanannya
menuju lantai dasar dan terkejut ketika yang dimaksud menunggunya di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar