post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 16 Juni 2018

Still Hoping (26)


JANGAN SAKIT!
“Terlalu besar perhatian yang engkau berikan”

Dalam hujan itu, Hiro juga melihat bagaimana Digta menahan Cantik untuk menghentikan pencariannya meskipun tidak bisa mendengarkan percakapan antara mereka.
“Tidak usah terus berlari, nanti kamu sakit,” menggenggam tangannya dan secepat kilat yang berbenturan di langit, Cantik melepaskannya.
“Aku harus mencarinya. Aku harus meminta maaf padanya,” katanya sambil terus berlari.

Semua yang melihat terheran-heran. Apa yang sebenarnya telah terjadi di antara mereka berdua. Nampak ada yang bergosip berkelompok ada pula yang berkelompok hanya melihat. Di kepala mereka penuh dengan beban pertanyaan yang menjadi teka-teki. Untuk apa mereka berdua menerobos hujan lebat dan terlihat mesra setelah Digta memaksa Cantik untuk menghentikan pencariannya.
“Saya tidak mau tahu, kamu harus menghentikan ini semua. Aku tidak mau kalau kamu sampai sakit. Aku khawatir padamu,” matanya menyiratkan kesungguhan.
Beberapa kali sebelumnya sudah menolak, hanya saja kali ini Digta sedikit memaksa.
“Sekarang, Hiro pasti membutuhkan waktu untuk sendiri,” katanya bersama raungan hujan yang berdentuk keras.
Cantik mulai menetralisir perkataannya. Mungkin benar apa yang dikatakan Digta. Sementara waktu Hiro membutuhkan waktu. Dia orang baik, pasti lambat laun akan mengerti.
Keduanya berteduh di bawah pohon dan masih dipenuhi dengan mata-mata yang menyala dengan pertanyaan-pertanyaan. Walaupun tersadar, Digta sama sekali tidak perduli. Dia terus menampakkan perhatiannya, bahkan setelah hujan reda. Ia mengambil jacket di dalam tasnya dan kemudian dipakaikan sendiri ke badan istrinya.
“Kamu jangan sampai sakit atau aku akan khawatir.”
Allah, kenapa aku deg-deg-gan seperti ini? Rasa ini kembali menggelitik dan perkataan Digta barusan, entah kenapa membawa kebahagiaan tersendiri yang tak bisa diuangkapkan dengan kata-kata. batin Cantik yang terus menatap Digta merapatkan jacket yang dipakainya.
“Apa kamu masih dingin?”
Cantik hanya menggeleng. Dan, setelahnya perasaan khawatirnya pada senior yang sudah dibohonginya muncul lagi.
“Bagaimana sekarang? Kak Hiro sangat membenci aku.”
Dan, kalimat yang menguap dari bibir Cantik membuat Digta meleleh dengan perasaan yang tidak enak. Ada kesadaran tentang Cantik seolah begitu khawatir dengan pemuda lain, padahal di depannya ada dirinya yang siap melindunginya. Perasaan apa ini? Kenapa begitu menjengkelkan ketika gadis ini menyebutkan pemuda lain dihadapanku? Pekiknya dalam hati. Sementara Cantik sibuk berbicara sendiri dan memukul kepala Digta saat tahu ia tidak didengarkan.
“Kamu dengar aku tidak sih? Aku kan lagi bicara padamu?”
“Aduh. Sakit tahu. Ia, aku dengar,” Digta memegang kepalanya yang dikenai cincin pernikahan mereka.
“Maaf. Maaf. Aku tidak sengaja,” dan tangan Cantik yang reflek ingin memegangan kepala Digta, tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Digta. Mata mereka saling menantang. Kalau ada yang bisa melihat, pasti bertebaran bunga-bunga yang menjatuhi mereka.
“Maaf,” Digta menurunkan tangannya.
“Justru aku yang harus meminta maaf,” dan mulai mengelus kepala suaminya.
Dan, sekali lagi keduanya merasakan perasaan bahagia ketika bersama.
Kekecawaan semakin merajam dari kejauhan. Hah.
“Kalian benar-benar tidak menghargai perasaanku,” pekik Hiro masih dari gedung lantai tiga Fakultas Sastra.
Bagaimanapun mereka berdua sudah mempunyai ikatan. Rasanya tidak akan mungkin menjadi kebahagiaan Cantik, yang jujur sudah menempati sudut istimewa dalam hati. Tidak mungkin menjadi orang ketiga di antara mereka. Hiro berpikir dalam perjalanannya menuju lantai dasar dan terkejut ketika yang dimaksud menunggunya di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar