NYATA
“Aku tergugah, bukan. Sedikit
tergugah”
Hoammmmmm.
Ida
dan Ayu menurunkan kaki-kaki mereka ke lantai, sambil
berjalan gontai menuju kamar mandi. Sudah subuh, harus segera melaksanakan
kewajiban sholat. Lantas di mana Suci? Kenapa mendadak hilang. Harusnya dia
membangunkan mereka juga, kalau akan melaksanakan sholat subuh berjamaah di
masjid. Ida manyung, saat tidak melihatnya sahabatnya.
Air
suci menyambar semua bagian yang harus terkena wudhu. Meskipun dingin, mereka
tidak segan membersihkan diri. Mulai dari membasuh tangan sampai kedua kaki. Setelah
selesai, keduanya kembali ke kamar Suci dan ditemui Suci yang terbaring di
samping rangjang dengan keadaan masih memakai talkum. Sepertinya tertidur usai
melaksanakan sholat.
Ida
ingin membangunkan, namun buru- buru Ayu melarang dengan memberikan gelengan
kepala yang lembut. Pun mereka melaksanakan sholat berdua.
Beberapa
menit selanjutnya, Suci terbangun dengan sendirinya dan melihat jam yang
menempel di dindingnya. Sepuluh menit lagi jam enam pagi. Sebaiknya ia memasak
untuk sarapan mereka.
Ia
berjalan ke arah dapur yang besar dan langsung membuka kulkasnya. Alhamdulillah, banyak sekali sayuran dan
makanan yang sudah disiapkan oleh ibu Nini, hanya tinggal memasak dan
mencampuradukkan di dalam wajah. Alhamdulillah,
ia mengucapnya sambil tersenyum.
Hati
boleh saja terluka, tetapi kesyukuran akan nikmat Allah yang setiap detik
mengairi kehidupan tidak boleh hilang.
“Kamu
ngapain ka Suci?” Ida datang bersama Ayu.
“Hmmm.
Aku ingin masak nasi goreng untuk sarapan kita,” tersenyum ringan.
“Kami
bantu ya?” Ayu menawarkan.
“Tidak
usah, kalian kan tamu jadi tinggal duduk manis aja.”
“Apaan
sih kak? Kan kita harus mengerjakan selalu sama-sama, namanya sahabat.”
“Benar
itu,” Ida membenarkan Ayu.
“Baiklah,”
Suci sumringah. Sahabat-sahabatnya selalu saja seperti itu. Selalu ingin
bersama dalam hal apapun. Jujur, paling disukainya. Meskipun kadang tidak enak
karena perasaan kalau-kalau membenani.
“Dalam
persahabatan tidak ada yang namanya membebani. Justru sudah kewajiban seorang
sahabat untuk membantu sahabatnya yang lain,” Ida seperti tahu isi hati Suci,
meskipun hanya dilihat dari mimic wajahnya.
***
Apa
yang harus dilakukan? Ketika hati itu terus saja menghilang? Bagaikan matahari
yang tidak ingin lagi menyinari? Benar-benar memuakkan hari demi hari, sehari
saja tidak melihat senyumnya dan seberapapun besar mendekat, semakin besar pula
menghindarnya. Haruskah Ferdi menyerah? Karena cinta memang kadang tidak harus
memiliki. Dan, pikirannya mengambang lagi. Suci adalah gadis yang pantas
diperjuangkan. Dia adalah satu-satunya gadis yang menyadarkannya akan Cinta
Tuhan pada hamba-Nya lebih besar. Dia bagaikan cahaya di kegelapan malam yang
mengantarkannya sampai ke depan masjid. Ferdi bimbang, hatinya sangat ingin
bersama meskipun takdir seolah saja menyalahi.
Sementara
hati Suci merasakan sesak yang begitu
luar biasa, ketika pura-pura bahagia di hadapan pemuda yang dicintai. Ia
bernyanyi bersama sahabatnya berjalan ke dalam alun-alun kampus, tanpa
memperhatikan orang-orang yang melihatnya, termasuk Ferdi. Dan, bagi Ferdi yang
sudah memutuskan untuk tetap memperjuangkan cintanya, kembali mendekati dengan
memberikan setangkai bunga mawar.
“Bunga
cantik ini untuk orang yang cantik,” memberikan senyuman menawan.
Dan,
alangkah terkejutnya Ferdi, Ayu, Ida, semuanya dan bahkan Rini yang melihat.
Nyata keinginan Suci untuk menjauhi Ferdi demi dirinya.
Suci
membuang muka itu dan berkata menyakitkan.
“Aku
mohon menjauhlah dari kehidupanku, kalau kamu ingin melihatku bahagia.”
Kalimat
itu mengantarkan Ferdi pada kenyataan pahit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar