post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 16 Juni 2018

Baiduri (34)


NYATA
“Aku tergugah, bukan. Sedikit tergugah”

Hoammmmmm.
Ida dan Ayu menurunkan kaki-kaki mereka ke lantai, sambil berjalan gontai menuju kamar mandi. Sudah subuh, harus segera melaksanakan kewajiban sholat. Lantas di mana Suci? Kenapa mendadak hilang. Harusnya dia membangunkan mereka juga, kalau akan melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid. Ida manyung, saat tidak melihatnya sahabatnya.

Air suci menyambar semua bagian yang harus terkena wudhu. Meskipun dingin, mereka tidak segan membersihkan diri. Mulai dari membasuh tangan sampai kedua kaki. Setelah selesai, keduanya kembali ke kamar Suci dan ditemui Suci yang terbaring di samping rangjang dengan keadaan masih memakai talkum. Sepertinya tertidur usai melaksanakan sholat.
Ida ingin membangunkan, namun buru- buru Ayu melarang dengan memberikan gelengan kepala yang lembut. Pun mereka melaksanakan sholat berdua.
Beberapa menit selanjutnya, Suci terbangun dengan sendirinya dan melihat jam yang menempel di dindingnya. Sepuluh menit lagi jam enam pagi. Sebaiknya ia memasak untuk sarapan mereka.
Ia berjalan ke arah dapur yang besar dan langsung membuka kulkasnya. Alhamdulillah, banyak sekali sayuran dan makanan yang sudah disiapkan oleh ibu Nini, hanya tinggal memasak dan mencampuradukkan di dalam wajah. Alhamdulillah, ia mengucapnya sambil tersenyum.
Hati boleh saja terluka, tetapi kesyukuran akan nikmat Allah yang setiap detik mengairi kehidupan tidak boleh hilang.
“Kamu ngapain ka Suci?” Ida datang bersama Ayu.
“Hmmm. Aku ingin masak nasi goreng untuk sarapan kita,” tersenyum ringan.
“Kami bantu ya?” Ayu menawarkan.
“Tidak usah, kalian kan tamu jadi tinggal duduk manis aja.”
“Apaan sih kak? Kan kita harus mengerjakan selalu sama-sama, namanya sahabat.”
“Benar itu,” Ida membenarkan Ayu.
“Baiklah,” Suci sumringah. Sahabat-sahabatnya selalu saja seperti itu. Selalu ingin bersama dalam hal apapun. Jujur, paling disukainya. Meskipun kadang tidak enak karena perasaan kalau-kalau membenani.
“Dalam persahabatan tidak ada yang namanya membebani. Justru sudah kewajiban seorang sahabat untuk membantu sahabatnya yang lain,” Ida seperti tahu isi hati Suci, meskipun hanya dilihat dari mimic wajahnya.
***
Apa yang harus dilakukan? Ketika hati itu terus saja menghilang? Bagaikan matahari yang tidak ingin lagi menyinari? Benar-benar memuakkan hari demi hari, sehari saja tidak melihat senyumnya dan seberapapun besar mendekat, semakin besar pula menghindarnya. Haruskah Ferdi menyerah? Karena cinta memang kadang tidak harus memiliki. Dan, pikirannya mengambang lagi. Suci adalah gadis yang pantas diperjuangkan. Dia adalah satu-satunya gadis yang menyadarkannya akan Cinta Tuhan pada hamba-Nya lebih besar. Dia bagaikan cahaya di kegelapan malam yang mengantarkannya sampai ke depan masjid. Ferdi bimbang, hatinya sangat ingin bersama meskipun takdir seolah saja menyalahi.
Sementara hati Suci merasakan sesak yang  begitu luar biasa, ketika pura-pura bahagia di hadapan pemuda yang dicintai. Ia bernyanyi bersama sahabatnya berjalan ke dalam alun-alun kampus, tanpa memperhatikan orang-orang yang melihatnya, termasuk Ferdi. Dan, bagi Ferdi yang sudah memutuskan untuk tetap memperjuangkan cintanya, kembali mendekati dengan memberikan setangkai bunga mawar.
“Bunga cantik ini untuk orang yang cantik,” memberikan senyuman menawan.
Dan, alangkah terkejutnya Ferdi, Ayu, Ida, semuanya dan bahkan Rini yang melihat. Nyata keinginan Suci untuk menjauhi Ferdi demi dirinya.
Suci membuang muka itu dan berkata menyakitkan.
“Aku mohon menjauhlah dari kehidupanku, kalau kamu ingin melihatku bahagia.”
Kalimat itu mengantarkan Ferdi pada kenyataan pahit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar