post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Selasa, 19 Juni 2018

Baiduri (36)


MELIHATNYA
“Jarak bukanlah penghalang dalam sebuah hubungan”

Wajah tampannya dengan pipi yang sedikit chubby basah dengan air mata. Ya, semenjak kemarin saat gadis itu menjauhinya, kesedihan itu terus berlanjut. Kalau menurut Rini, seiring waktu perasaan sialan itu akan hilang dari hati ibunya, pun nyatanya tidak. Dini seakan tidak akan konsen melakukan apapun. Seperti beberapa hari lalu, dia tidak sengaja menjatuhkan air panas hingga mengenai kakinya. Dia juga beberapa kali melukai tangannya dengan pisau, sampai berdarah.

“Ibu, kenapa selalu seperti ini? Apa yang ibu pikirkan?” Dan pertanyaan ini selalu dijawab dengan lelehan air mata. Hah. Rini tidak harus berbuat apa, sampai ia tidak tahan lagi dan mulai mengamuk.
“Ibu, sebenarnya menganggap aku apa? Anak atau bukan? Atau ibu hanya menganggap Suci, anak haram itu sebagai anak.”
Dan, satu tamparan hampir melayang di wajah Rini. Untung Dina cepat tersadar.
“Nak, jangan pernah kamu mengatakan hal memalukan seperti itu. Ibu tidak pernah mengajarkanmu.”
Mata keduanya saling menantang.
Hah. Rini berlari ke kamarnya dan membanting pintunya dengan kasar sampai membuat sang ibu kaget dan memegang dada.
“Kapan kamu tersadar nak? Bahwa apa yang kamu lakukan itu adalah perbuatan yang salah.”
***                                                                                                        
Sudah malam, Rini belum juga keluar dari kamarnya. Sudah beberapa kali membujuk dengan lembut sampai ia menghubungi sang suami yang masih di luar kota.
“Assalamualaikum mas. Mas kapan pulang?”
“Waalaikumsalam, ia sayang. Ini sudah sampai di bandara, lima belas menit Insya Allah mas sudah ada di rumah.”
“Baiklah mas.”
“Sebenarnya ada apa sayang? Apa telah terjadi sesuatu?”
Maryam berpikir, tidak mungkin ia memberitahukan kepada suaminya apa yang telah terjadi sementara ia masih berada dalam perjalanan.
“Sayang, kamu masih di situ kan?”
“Ia mas. Aku di sini.”
“Coba jujur sama mas apa yang sudah terjadi?”
“Mas, nanti ya kalau mas sudah sampai di rumah. Pokoknya tidak ada yang buruk, hanyalah masalah kecil. Masalah besarnya adalah, aku sangat kangen sama mas,” untungnya Dina cepat menetralisir situasi.
“Oh, begitu. Mas juga kangen sekali sama kamu.”
“Kalau begitu, aku tutup dulu teleponnya. Hati-hati perjalanan pulangnya mas.”
“Tentu,” tersenyum ringan.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
***
Seperti biasa, sebelum sampai di rumah. Dinand sangat suka melaksanakan sholat Isya berjamaah di dekat rumahnya. Ia pun turun dari mobilnya dan memasuki Masjid Baiturrahim yang lekat dengan warna keemasan, banyak tulisan Alquran. Masjid cantik dan menawan. Arsitektur kegagahannya ditambah dengan dua menara di sudut kanan dan kiri.
Usai sholat, ia segera kembali memasang sepatunya dan cepat-cepat menyeberang sampai ada motor yang menghampirinya dengan kecepatan, untungnya ada seorang gadis yang menolongnya dengan cepat.
“Bapak tidak apa-apa kan?” Suci bertanya.
“Ia nak, makasih ya.”
Dan, Dinand sedikit tertahan saat menatap gadis yang menolongnya. Seperti melihat sesuatu dalam dirinya. Ada dirinya, mata dan hidungnya seperti mililknya. Sementara mimic wajahnya menyerupai istrinya.
“Nama kamu siapa nak?”
“Aku Suci om.”
“Nama yang bagus,” dan Dinand melelehkan air mata.
“Ada apa om? Kenapa om menangis?”
Dinand hanya melihat dengan mendung.
“Aku merindukan anak bapak?”
Suci tidak mengeluarkan suara apapun. Ia tidak tahu cara menenangkan bapak  yang baru ditolongnya.
Tuhan, memberikan cahaya pada langit di waktu yang selalu tepat, menerangi bumi penuh dengan cinta. Seperti derita Kirana atau Suci yang lambat laun terganti di waktu tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar