“Jarak
bukanlah penghalang dalam sebuah hubungan”
Wajah tampannya dengan
pipi yang sedikit chubby basah dengan air mata. Ya, semenjak kemarin saat gadis
itu menjauhinya, kesedihan itu terus berlanjut. Kalau menurut Rini, seiring
waktu perasaan sialan itu akan hilang dari hati ibunya, pun nyatanya tidak. Dini
seakan tidak akan konsen melakukan apapun. Seperti beberapa hari lalu, dia
tidak sengaja menjatuhkan air panas hingga mengenai kakinya. Dia juga beberapa
kali melukai tangannya dengan pisau, sampai berdarah.
“Ibu,
kenapa selalu seperti ini? Apa yang ibu pikirkan?” Dan pertanyaan ini selalu
dijawab dengan lelehan air mata. Hah. Rini tidak harus berbuat apa, sampai ia
tidak tahan lagi dan mulai mengamuk.
“Ibu,
sebenarnya menganggap aku apa? Anak atau bukan? Atau ibu hanya menganggap Suci,
anak haram itu sebagai anak.”
Dan,
satu tamparan hampir melayang di wajah Rini. Untung Dina cepat tersadar.
“Nak,
jangan pernah kamu mengatakan hal memalukan seperti itu. Ibu tidak pernah
mengajarkanmu.”
Mata
keduanya saling menantang.
Hah.
Rini berlari ke kamarnya dan membanting pintunya dengan kasar sampai membuat
sang ibu kaget dan memegang dada.
“Kapan
kamu tersadar nak? Bahwa apa yang kamu lakukan itu adalah perbuatan yang
salah.”
***
Sudah malam, Rini belum
juga keluar dari kamarnya. Sudah beberapa kali membujuk dengan lembut sampai ia
menghubungi sang suami yang masih di luar kota.
“Assalamualaikum
mas. Mas kapan pulang?”
“Waalaikumsalam,
ia sayang. Ini sudah sampai di bandara, lima belas menit Insya Allah mas sudah
ada di rumah.”
“Baiklah
mas.”
“Sebenarnya
ada apa sayang? Apa telah terjadi sesuatu?”
Maryam
berpikir, tidak mungkin ia memberitahukan kepada suaminya apa yang telah
terjadi sementara ia masih berada dalam perjalanan.
“Sayang,
kamu masih di situ kan?”
“Ia
mas. Aku di sini.”
“Coba
jujur sama mas apa yang sudah terjadi?”
“Mas,
nanti ya kalau mas sudah sampai di rumah. Pokoknya tidak ada yang buruk,
hanyalah masalah kecil. Masalah besarnya adalah, aku sangat kangen sama mas,”
untungnya Dina cepat menetralisir situasi.
“Oh,
begitu. Mas juga kangen sekali sama kamu.”
“Kalau
begitu, aku tutup dulu teleponnya. Hati-hati perjalanan pulangnya mas.”
“Tentu,”
tersenyum ringan.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
***
Seperti biasa, sebelum
sampai di rumah. Dinand sangat suka melaksanakan sholat Isya berjamaah di dekat
rumahnya. Ia pun turun dari mobilnya dan memasuki Masjid Baiturrahim yang lekat
dengan warna keemasan, banyak tulisan Alquran. Masjid cantik dan menawan.
Arsitektur kegagahannya ditambah dengan dua menara di sudut kanan dan kiri.
Usai
sholat, ia segera kembali memasang sepatunya dan cepat-cepat menyeberang sampai
ada motor yang menghampirinya dengan kecepatan, untungnya ada seorang gadis
yang menolongnya dengan cepat.
“Bapak
tidak apa-apa kan?” Suci bertanya.
“Ia
nak, makasih ya.”
Dan,
Dinand sedikit tertahan saat menatap gadis yang menolongnya. Seperti melihat
sesuatu dalam dirinya. Ada dirinya, mata dan hidungnya seperti mililknya.
Sementara mimic wajahnya menyerupai istrinya.
“Nama
kamu siapa nak?”
“Aku
Suci om.”
“Nama
yang bagus,” dan Dinand melelehkan air mata.
“Ada
apa om? Kenapa om menangis?”
Dinand
hanya melihat dengan mendung.
“Aku
merindukan anak bapak?”
Suci
tidak mengeluarkan suara apapun. Ia tidak tahu cara menenangkan bapak yang baru ditolongnya.
Tuhan, memberikan cahaya pada
langit di waktu yang selalu tepat, menerangi bumi penuh dengan cinta. Seperti
derita Kirana atau Suci yang lambat laun terganti di waktu tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar