post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 25 Juni 2018

Baiduri (37)


MEMBAIK
“Jangan pernah menangis di hadapanku”

Ferdi baru selesai merangkai bunga mawar yang dipetiknya sendiri dari kebun neneknya, meskipun sesekali tertusuk duri ia sama sekali tidak perduli.
Suci belum seperti yang dulu. Dia masih menjauhinya dan membuang muka saat bertemu. Sama sekali tidak menjadi penghalangnya untuk membuat gadis itu senang. Ia sudah berjanji sebelumnya. Sebagai laki-laki yang dipegang adalah omongannya. Kenapa masih bersikeras padahal sudah dicampakkan? Tidak, sama sekali tidak merasa dicampakkan. Suci hanya merasa tertekan dan waktu akan mengembalikannya.
Sebelumnya berusaha mendapatkan maaf padahal dirinya berlumur kesalahan yang sangat sulit dipikirkan oleh akal. Kalau dia jadi Suci, mungkin dia tidak akan pernah memaafkan orang yang sudah berbuat jahat padanya. Gadis itu memang memiliki hati lembut dan pantas untuk diperjuangkan.
Berjalan dengan cepat-cepat menuju kelas, setangkai bunga mawar yang cantik itu diletakkan di meja Suci. Untung belum ada orang yang datang. Ditempelkannya sebuah kertas kecil, “Semoga harimu selalu menyenangkan.”  Namun, ia mendengar suara pintu terbuka. Ia berlari di ujung ruangan dan bersembunyi di bawah kolom meja.
Rupanya yang datang adalah Suci dan kedua sahabatnya. Pembicaraan mereka terdengar jelas di gendang telinga Ferdi. Ida dan Ayu mencoba mengorek permasalahan antara Suci dan Ferdi, yang jelas-jelas pernah dikatakan bahwa dia sudah jatuh cinta pada pemuda itu. Gadis berhijab putih terdengar mendenguskan nafas. Ia terduduk dan mulai menceritakan alasan apa yang sampai membuatnya harus menjauhi Ferdi. Tidak lain adalah agar Rini tidak membencinya lagi. Dan, setelah beberapa kali melakukannya sungguh menyiksa batinnya. Dorongan untuk selalu melihat wajah Ferdi meskipun sekarang hanya dari kejauhan itu sangat membahagiannya. Suci melelehkan air mata dan melihat langit-langit kelasnya. Ida mendekati dan memeluknya. Ayu malah mempersiapkan kata-kata ejaan yang perlahan membuat sahabatnya mengerti. Tidak baik memang membuat orang lain membenci kita, pun selama kita tidak memintanya bukankah menjadi kesalahan? Dan, sebuah kesalahan terbesar saat mengorbankan kebahagiaan sendiri demi orang lain, padahal orang yang kita pedulikan itu sama sekali tidak pernah menghargai.
Saat itu Suci makin melelehkan air mata. Ferdi tidak tahan, ia bangkit dan memberikan sapu tangan biru miliknya. Meskipun ketiga gadis itu sangat terkejut sekaligus takjub. Dia selalu ada untuk Suci.
Ah, untung Ayu tidak sendiri menjadi obat nyamuk.
***
Dari kejadian pagi itu dan setelah Ayu memberikan pengertian kepadanya. Suci tidak lagi bersikap tidak perduli pada Ferdi. Malah meminta maaf sangat lembut sampai meneteskan lagi air mata kesedihan.
“Suci, aku mohon jangan menangis! Itu membuat aku sangat tersiksa. Sekalipun kamu salah padaku, aku sudah memaafkan sebelumnya. Aku tidak pernah memasukkannya ke dalam hati.”
“Benarkah?” wajahnya masih menunduk.
“Jangan pernah kau meragukan kata-kataku ini. Nanti kamu akan semakin jatuh cinta padaku.”
Perlahan, Suci mengangkat dagunya. Bisa-bisanya Ferdi menggombal di waktu masih larut dalam kesedihan. Dan, darimana ia belajar mantra seperti itu? Padahal meskipun ia tidak belajar, ia memang sudah jaruh cinta padanya. Suci tersenyum.
“Begitu dong senyum, kan makin cantik,” Ferdi membalas dengan sunggingan menawan.
“Makasih ya, kamu udah maafkan aku. Aku tidak tahu apa yang akan aku alami, kalau kamu tidak memaafkan aku,” katanya sambil mengusap air mata yang masih tergenang di pipinya.
Dari kejauhan, Rini kembali mengiris. Betatapun ia mencoba menjauhkan Suci dari Ferdi, semuanya hanya akan sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar