SAKIT
“Ibu,
benar-benar merindukannya”
Siang itu, di pintu
masuk sekolah pada saat matahari terasa di ujung kepala, panas yang menyengai
membuat siapa saja ingin segera pulang ke rumah lalu menyalakan AC atau kipas
angin untuk diterpakan ke seluruh badan yang kepanasan.
Jelas
ada yang terlihat sudah menancap gas motornya lalu hilang dalam beberapa detik.
Ada pula yang berjalan tak kalah cepat dengan mempraktekkan jalan cepat seperti
yang diajarkan dalam pelajaran olahraga. Tapi beda dengan Ferdi, cahaya matahari
yang menerobos kepala teman-temannya yang lain serasa menjadi angina
sepoi-sepoi. Terus senyum melihat jam yang melingkar di tangannya.
Saat
gadis yang sudah ditunggu sudah muncul di retinanya, kesenangan bertambah
dengan kecepatan di luar ambang intensitas. Hentakan kakiknya yang berjalan
penaka alunan lagu yang bermelodi indah, apalagi ditambah sampulan senyuman
yang nyaris membuat jantung Ferdi jatuh ke lantai. Hah. Gadis ini benar-benar piawai memainkan hati. Pekiknya dalam batin
sambil membalas dengan sunggingan serupa.
Langsung
gadis itu berdiri di sampingnya dan Ferdi mendadak salah tingkah, matanya entah
mencari apa dan ia menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya Suci pun begitu, hanya
saja ia mengontrolnya dengan cara mengepal tangannya. Kemudian, lembut
mengutarakan maaf karena sudah lama membuat menunggu. Ia mengibaskan rasa tidak
enaknya. Serta mertaFerdi menyemai, bukan kesalahannya. Toh ia bisa menunggu
lebih lama lagi, termasuk menunggu perasaannya.
Sekarang,
situasinya berbeda. Sekeras apapun Suci mengepal tangannya, ia sudah tidak bisa
lagi mengatasinya. Ferdi tiba-tiba membuatnya linglung. Kalau dibiarkan maka
sepertinya kakinya akan lumpuh sebentar lagi dan ia akan terkapar di tanah.
Hah. Sungguh memalukan kalau hal itu sampai terjadi. Suci mengeluarkan suara
menggerutu. Ish. Sambil menyembunyikan wajahnya yang merah dan berbalik
membelakangi Ferdi. Ferdi hanya tersenyum meskipun perasaannya juga bercampur
aduk.
Ida
dan Ayu datang, merasakan keanehan yang terjadi di antara kedua sahabatnya yang
tersenyum namun tidak berhadapan satu sama lain.
“Kayaknya,
kita bakalan jadi obat nyamuk lagi Yu,” Ida meledek.
Mereka
bereempat meledekkan tawa riang bersama. Sahabat dan cinta bisa menjadi satu,
selama keikhlasan menyemai dalam batin. Jangan pernah congkak, bahwa segala
sesuatu harus dari diri sendiri. Jangan mengangkat diri dan mengatakan bahwa
bisa diatasi dengan sendiri, meskipun kadang waktu merestui, nyatanya
kebersamaan lebih terukir di hati sampai kapanpun, bahkan selamanya.
***
“Ma, mama kenapa demam
sekali?” Rini sangat khawatir.
“Ibu,
tidak apa-apa nak. Ibu hanya demam biasa koq. Nanti juga akan sembuh kalau
minum obat,” Dina tersenyum terpaksa.
“Tapi
bu,” sebelum menyangga, sang ibu menggelengkan kepala. Rini tahu betul, bahwa
itu bukan sakit biasa. Ini seperti rindu yang mencekam, karena ibu juga sudah
pernah mengalaminya saat dirinya maupun ayahnya berada jauh darinya.
“Apa
ibu ingin bertemu dengan Suci?”
Pertanyaan
itu tidak tahu, apa tulus dari hatinya? Hanya saja ia sudah tidak tahu harus
bagaimana. Betapapun ia mencoba menjauhkan Suci dari ibunya, sepertinya tidak
akan bisa. Takdir seolah merestui.
“Ibu
tidak bisa bohong nak, ibu benar-benar merindukannya.”
Dan,
kalimat itu entah kenapa sangat menyayat hatinya. Ah…..
Rini
melihat ke langit-langit, air matanya meleleh. Beberapa detik ia memerlukan
waktu, kemudian bangkit mencari keberadaan gadis yang dirindui ibunya. Demi
sang ibu, ia rela mengorbankan perasaannya. Harapnya, ada secercah kebahagiaan
untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar