post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 25 Juni 2018

Baiduri (38)


SAKIT
“Ibu, benar-benar merindukannya”

Siang itu, di pintu masuk sekolah pada saat matahari terasa di ujung kepala, panas yang menyengai membuat siapa saja ingin segera pulang ke rumah lalu menyalakan AC atau kipas angin untuk diterpakan ke seluruh badan yang kepanasan.
Jelas ada yang terlihat sudah menancap gas motornya lalu hilang dalam beberapa detik. Ada pula yang berjalan tak kalah cepat dengan mempraktekkan jalan cepat seperti yang diajarkan dalam pelajaran olahraga. Tapi beda dengan Ferdi, cahaya matahari yang menerobos kepala teman-temannya yang lain serasa menjadi angina sepoi-sepoi. Terus senyum melihat jam yang melingkar di tangannya.

Saat gadis yang sudah ditunggu sudah muncul di retinanya, kesenangan bertambah dengan kecepatan di luar ambang intensitas. Hentakan kakiknya yang berjalan penaka alunan lagu yang bermelodi indah, apalagi ditambah sampulan senyuman yang nyaris membuat jantung Ferdi jatuh ke lantai. Hah. Gadis ini benar-benar piawai memainkan hati. Pekiknya dalam batin sambil membalas dengan sunggingan serupa.
Langsung gadis itu berdiri di sampingnya dan Ferdi mendadak salah tingkah, matanya entah mencari apa dan ia menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya Suci pun begitu, hanya saja ia mengontrolnya dengan cara mengepal tangannya. Kemudian, lembut mengutarakan maaf karena sudah lama membuat menunggu. Ia mengibaskan rasa tidak enaknya. Serta mertaFerdi menyemai, bukan kesalahannya. Toh ia bisa menunggu lebih lama lagi, termasuk menunggu perasaannya.
Sekarang, situasinya berbeda. Sekeras apapun Suci mengepal tangannya, ia sudah tidak bisa lagi mengatasinya. Ferdi tiba-tiba membuatnya linglung. Kalau dibiarkan maka sepertinya kakinya akan lumpuh sebentar lagi dan ia akan terkapar di tanah. Hah. Sungguh memalukan kalau hal itu sampai terjadi. Suci mengeluarkan suara menggerutu. Ish. Sambil menyembunyikan wajahnya yang merah dan berbalik membelakangi Ferdi. Ferdi hanya tersenyum meskipun perasaannya juga bercampur aduk.
Ida dan Ayu datang, merasakan keanehan yang terjadi di antara kedua sahabatnya yang tersenyum namun tidak berhadapan satu sama lain.
“Kayaknya, kita bakalan jadi obat nyamuk lagi Yu,” Ida meledek.
Mereka bereempat meledekkan tawa riang bersama. Sahabat dan cinta bisa menjadi satu, selama keikhlasan menyemai dalam batin. Jangan pernah congkak, bahwa segala sesuatu harus dari diri sendiri. Jangan mengangkat diri dan mengatakan bahwa bisa diatasi dengan sendiri, meskipun kadang waktu merestui, nyatanya kebersamaan lebih terukir di hati sampai kapanpun, bahkan selamanya.
***
“Ma, mama kenapa demam sekali?” Rini sangat khawatir.
“Ibu, tidak apa-apa nak. Ibu hanya demam biasa koq. Nanti juga akan sembuh kalau minum obat,” Dina tersenyum terpaksa.
“Tapi bu,” sebelum menyangga, sang ibu menggelengkan kepala. Rini tahu betul, bahwa itu bukan sakit biasa. Ini seperti rindu yang mencekam, karena ibu juga sudah pernah mengalaminya saat dirinya maupun ayahnya berada jauh darinya.
“Apa ibu ingin bertemu dengan Suci?”
Pertanyaan itu tidak tahu, apa tulus dari hatinya? Hanya saja ia sudah tidak tahu harus bagaimana. Betapapun ia mencoba menjauhkan Suci dari ibunya, sepertinya tidak akan bisa. Takdir seolah merestui.
“Ibu tidak bisa bohong nak, ibu benar-benar merindukannya.”
Dan, kalimat itu entah kenapa sangat menyayat hatinya. Ah…..
Rini melihat ke langit-langit, air matanya meleleh. Beberapa detik ia memerlukan waktu, kemudian bangkit mencari keberadaan gadis yang dirindui ibunya. Demi sang ibu, ia rela mengorbankan perasaannya. Harapnya, ada secercah kebahagiaan untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar