“Bukan
hanya masalah kesekawanan, ini tentang masa depan mereka”
Sambil berjalan. Irma
menerima telepon dari Ferli.
“Assalamualaikum.
Kamu di mana? Aku bisa jemput kamu sekarang? Ada hal penting yang harus aku
bicarakan?” seakan tanpa spasi.
“Waalaikumsalam.
Tolong kakak pelan-pelan bicaranya, jangan ngebut. Tidak ada yang ngejar koq.
Sekarang kakak ucapan istigfhar dulu,” lembut Irma, ia masih melihat arah mobil
yang berlalulalang, dia ingin segera menyebarang.
Terdengar
di balik telepon, Ferli mengucapkan Astagfirullah
dan mengembuskan nafas berkali-kali. Setelah merasa sudah cukup, Irma pun
mengatakan tentang keberadaannya.
“Aku
sekarang berjalan menuju kampus.”
‘Okay.
Kita ketemu di kelasmu ya. Assalam.”
“Waalaikumsalam.”
Irma
masih celingak-celinguk dan lehernya masih dihiasi handset pink yang masih
terhubung dengan ponselnya.
***
“Paling tidak, kita
harus memberinya kesempatan dan ayah harus melihat gadis itu.”
Harleks
melihat wajah istrinya dengan seksama.
“Jangan
bilang sebelumnya, kamu sudah pernah bertemu dengannya.”
Mau
tidak mau, Maryam harus mengakui dengan pelan mengangguk. Sejenak Harleks
berpikir, istrinya sudah memberi kesempatan kepada anaknya untuk bertemu dengan
gadis yang dicintainya. Apa salahnya ia juga melakukan hal yang demikian?
Bukankah kebahagiaan Ferli adalah kebahagiaannya juga? Sebagai ayah yang baik,
ia harus mendengarkan keinginan anaknya pun bukan hal yang salah.
Harleks
mengembuskan nafas panjang.
“Baiklah.
Aku juga ingin memberi kesempatan kepaada Ferli untuk membawa pacarnya ke
rumah.
Maryam
menampakkan wajah girang, langsung memeluk suami tercintanya. Meskipun selama
ini terkenal konsisten dan sangat tegas, tetap saja ia rela melakukan apapun
demi kebahagiaan putranya.
“Ayah
memang yang terbaik.”
“Ibu
yang mengajarkan aku seperti ini.”
Mata
keduanya saling menantang.
“Kalau
begitu, ibu telepon Ferli dulu dan siap-siap mempersiapkan makan malam dengan
gadis yang disukai Ferli.”
Harleks
hanya tersenyum ringan. Sebenarnya ia menyembunyikan perasaan takut. Harus
bagaimana ia menghadapi Bram? Tidakkah ia marah besar dan akan memutuskan
hubungan persahabatan sekaligus hubungan kerja? Entahlah, hanya berharap
kebaikan yang dilakukan pun juga akan menghasilkan kebaikan.
***
Setelah dua menit ia
terduduk di halaman rektorat kampus. Di bawah pohon rindang sambil memandang
jam yang terikat di lengannya. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit untuk
menunggu. Dan sesaat kemudian yang ditunggu akhirnya datang juga. Hanya saja
membingunkan, Ferli membawa wajah cemas dan membuatnya sendiri ketakutan.
“Maaf,
kalau sudah membuatmua menunggu terlalu lama,” kemudian ia terduduk di
sampingnya dengan jarak beberapa jengkal.
“Tidak
apa-apa koq. Lagian aku baru sampai sekitar tiga menit yang lalu.”
Irma
mencoba tetap baik-baik saja dengan menyamarkan penasaran bersama ketakutannya
melihat ekspresi Ferli.
“Apa
yang ingin kamu katakan?” sambil tersenyum lembut.
“Ayahku
sudah tahu dengan hubungan kita.”
Ternyata
benar apa yang dikhawatirkannya. Pekik Irma dalam batin.
“Lantas
bagaimana reaksinya?”
Ferli
tidak langsung menjawab, melainkan butuh beberapa menit untuk
mempersiapkan kalimat dan membuat Irma
semakin kalut.
“Dia
marah besar.”
Gadis
bertudung kuning itu merasa lemas tiba-tiba.
“Tapi,
kamu tenang aja. Aku akan tetap memperjuangkan hubungan kita dan kamu juga
harus membantuku,” sangat jelas cinta nyata di retina Ferli.
Perlahan
ketakutan yang mendengkur di hati Irma enyah bahkan terganti dengan semangat
apalagi setelah pemuda di sampingnya mengatakan bahwa ia pantas untuk
diperjuangkan.
Bukan
yang sempurna saja pantas diperjuangan, melainkan sosok sederhana yang mampu
membuat cinta sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar