TIDAK
MENGENAKAN
Cantik baru selesai
mengikuti casting pentas kampus yang akan diadakan di hari wisudahan angkatan
empat Kampus Darma.
Banyak
sekali yang ikut, termasuk Digta, Hiro dan Luna. Cantik tidak berharap banyak,
bukan berarti ia merasa tidak percaya diri. Menurutnya, ia harus menerima
segala keputusan yang akan diambil pihak panitia. Yang lolos pasti yang
terbaik. Kalau dia yang lulus, akan sangat bersyukur pun kalau tidak,
kesyukuran wajib selalu bergerilya. Allah
akan menambahkan nikmat orang yang selalu bersyukur.
Hiro
mendekatinya yang sedang duduk di kursi melingkar buatan mahasiswa yang
melaksanakan program KKN di kampus, tepat di depan gedung fakultasnya. Kursi
yang terbuat dari semen dan diberi warna ceokelat, berjumlah empat dan di
dalamnya juga meja yang terbuat dari bahan sama. Di sampingnya ada pohon teduh.
Cantik sangat suka duduk di sana. Menikmati suasana siang di kampus yang masih
penuh dengan hingar bingar mahasiswa.
Apa
yang sedang dipikirkan gadis ini? Apakah masih tersirat rasa bersalahnya
padaku? Ataukah dia sudah melupakan seperti angina yang lewat saja? Ah mungkin
saja, toh dia tidak punya rasa apapun? Sangat jelas di matanya, sudah ada orang
lain yang diistimewakan? Hmmm. Tapi bukankah harusnya senang? Ketika yang
disayangi bisa bahagia? Pekik Hiro, sesaat tertahan ingin mendekati.
Entah
apa sebetulnya yang dipikirkan Cantik? Beberapa detik berlalu, ia masih belum
sadar ada pemuda di belakangnya. Pun Hiro mencoba mengagetkan dan berhasil.
Gadis berhijab itu kaget bukan kepalang, bahkan sampai memegang tangan pangeran
kampus. Mata mereka saling menantang. Untungnya tidak berlangsung lama, karena
suara kendaraan terparkir di samping fakultas. Nampak kikuk, meskipun mencoba
untuk bersikap santai. Tapi dorongan untuk tahu apa yang dilamunkan gadis itu
membuat Hiro serta merta bertanya, walaupun tidak langsung ditanggapi dan hanya
senyuman di awalnya. Setelah membutuhkan waktu beberapa detik, akhirnya Cantik
menceritakan apa yang sedang mengganjal di hatinya. Dimulai dari rasa
bersalahnya yang berakhir dengan perdamaian. Ia merasa sangat beruntung dan
berharap bisa menjadi teman baik.Tentu saja, Hiro tanpa berpikir panjang
langsung menerimanya. Cinta sepihak, bukan berarti harus memutuskan
silaturahim. Banyak orang yang bilang, kadang hubungan persahabatan lebih baik
dibandingkan hubungan pacaran.
Saat
itu, Cantik benar-benar senang. Sampai ia tidak habis tersenyum di hadapan
Hiro. Jujur, senyum itu membuat pemuda itu menengadahkan perasaannya ke langit-langit.
Berharap akan diterbangkan ke langit ke tujuh.
Ah, harus belajar menanggalkan
perasaan cinta dan merubahnya dengan persahabatan. Batinnya.
***
Dari kelas semester
satu Program Studi Sastra, perpustakaan fakultas sastra, bahkan sampai dari
kantin Digta mencari istrinya. Nyatanya dia sedang tersenyum manis dihadapan
pemuda lain. Dan, perasaan tidak mengenakan itu muncul lagi.
“Cantik,”
panggilnya dengan jarak lima meter. Hah. Tidak ada respon karena keasyikkan
bersenda gurau dengan pangeran kampus. Yang jelas-jelas akan mendapatkan perang
utama di pentas kampus.
“Kamu
sedang apa di situ Dig? Ayo kemari,” Hiro melihat dan spontan memanggil.
Hiro
berdiri dan disuruhnya Digta duduk di tempatnya.
“Kamu
pasti mau bicara dengan istrimukan,” katanya dengan wajah tulus.
“Kalau
begitu aku pergi dulu ya. Lagian aku sebentar lagi, akan masuk kelas,” katanya
sambil membalikkan badan.
Digta
dan Cantik hanya diam. Lalu keduanya saling menatap setelah Hiro menghilang
dari pandangan mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar