DIAM
Setelah ditinggalkan
begitu saja dan terhalangi oleh Luna, tetap saja Digta bersikeras menemui
istrinya bahkan berkata sesuatu yang makin membuat gadis itu seakan tidak ada
harapan lagi. “Tolong jangan mencampuri
urusan orang lain.” Kalimat itu membuat Luna terhenyak, sesudahnya muncul
kaca-kaca yang nyaris retak, apalagi saat Digta sudah tidak ada lagi di
pandangannya. Terlalu dalam mencintai bersama rasa sakit yang mulai dekat di
dalam sana. Membuatnya tidak bisa mengontrol hatinya.
Digta
terus mencari sampai di kantin, taman bahkan hampir semua tempat di kampus.
Hanya saja tidak ditemukan tanda-tanda keberadaannya. Mungkinkah sudah pulang
duluan? Ia mengambil ponsel di saku celananya, menekan tombol satu yang
merupakan panggilan cepat untuk sang istri. Meneleponnya berulang-ulang,
awalnya tidak diangkat pun sampai lima kali terdengar suara yang mengatakan
“Nomor yang ada hubungi sedang berada di luar jangkauan.” Ah. Digta mendengus
kesal namun tidak menghentikan pencariannya. Ia menengok jam yang mengikat di
ujung lengannya. Lebih baik ia membatalkan semua kegiatannya hari ini. Ia cepat
berlari ke parkiran, menaiki motornya dan mulai meraung-raungkannya. Pikirannya
terus menderu khawarir. Allah, tolong
jaga dia di manapun dia berada. Pekiknya juga tidak berhenti berharap. Lima
belas menit selanjutnya ia sudah berada di depan kosnya. Ada perasaan lega
melihat sepatu istri di serambi kos mereka, berselang waktu muncul pertanyaan.
Entah siapa yang sedang bersama
Cantik sekarang? Kenapa ada sepasang lagi sepatu yang seperti milik seorang
pemuda? Dan, pertanyaan-pertanyaan itu menemaninya mengetuk
pintu. Hanya dua kali mengetuk pintu sambil meng mengucapkan salam dengan
sedikit lantang, seorang pemuda membuka dan menjawab salamnya. Tak lupa
memberikan senyuman yang dibalas Digta dengan mimik tidak suka. Pun masuk segera tanpa berkata apa-apa lagi,
dan menemukan sang istri sedang meniup luka di tangannya yang sudah diberi
perban. Spontan mendekatinya dan mencoba meminta maaf atas apa yang telah
terjadi. Pun sebenarnya, hal ini juga
akan terungkap cepat atau lambat. Sepintar-pintar tupai melompat pasti akan
jatuh juga. Cantik malah menatap sinis bahkan tidak mengatakan sepatah kata
pun. Berbeda dari biasanya yang cerewet dan pasti membalas apapun yang
diucapkannya. Dulu membuatnya kesal jika seperti itu, berbeda dengan sekarang
ia malah menginginkannya dan kediamannya membuat frustasi. Digta memegang
kepalanya yang seakan pening. Ia menengok pemuda itu yang ternyata sudah
hilang. Ia berlari ke depan dan mencoba mencarinya, sekalian ingin menjawab
rasa penasarannya. Siapa sebenarnya dia? Hanya saja, dia benar-benar sudah pergi.
Dan, sekarang Digta tidak hanya frustasi atas kediaman sang istri, melainkan
rasa bersalah pun menimbang kepada pemuda yang mungkin saja sudah menolong
Cantik dan tidak memiliki maksud jahat apapun. Ia kembali masuk ke ruang tamu
kosnya, ternyata Cantik sudah masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Beberapa
kali mencoba mengetuk dan mengatakan agar diberi izin masuk, pun Cantik tidak
memberikan respon apapun. Hanya sarung sholat, sajadah dan selimut tidur yang
diletakkannya di sofa ruang tamu. Hah. Digta mendengus nafas berat. Beberapa
kali mengucapkan istigfhar. Butuh waktu dan semoga besok ia bisa kembali
seperti biasanya. Ceria dan memberikan senyuman tulus.
Pun
Digta segera beranjak mengambil wudhu untuk sholat dhuhur. Memanjatkan doa
penuh harap agar Tuhan segera mengenyahkan perasaan sedih Cantik. Lebih baik
dia yang merasakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar