post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Jumat, 29 Juni 2018

Still Hoping (34)


DIAM
“Tuhan, aku mohon hilangkan kesedihannya”

Setelah ditinggalkan begitu saja dan terhalangi oleh Luna, tetap saja Digta bersikeras menemui istrinya bahkan berkata sesuatu yang makin membuat gadis itu seakan tidak ada harapan lagi. “Tolong jangan mencampuri urusan orang lain.” Kalimat itu membuat Luna terhenyak, sesudahnya muncul kaca-kaca yang nyaris retak, apalagi saat Digta sudah tidak ada lagi di pandangannya. Terlalu dalam mencintai bersama rasa sakit yang mulai dekat di dalam sana. Membuatnya tidak bisa mengontrol hatinya.

Digta terus mencari sampai di kantin, taman bahkan hampir semua tempat di kampus. Hanya saja tidak ditemukan tanda-tanda keberadaannya. Mungkinkah sudah pulang duluan? Ia mengambil ponsel di saku celananya, menekan tombol satu yang merupakan panggilan cepat untuk sang istri. Meneleponnya berulang-ulang, awalnya tidak diangkat pun sampai lima kali terdengar suara yang mengatakan “Nomor yang ada hubungi sedang berada di luar jangkauan.” Ah. Digta mendengus kesal namun tidak menghentikan pencariannya. Ia menengok jam yang mengikat di ujung lengannya. Lebih baik ia membatalkan semua kegiatannya hari ini. Ia cepat berlari ke parkiran, menaiki motornya dan mulai meraung-raungkannya. Pikirannya terus menderu khawarir. Allah, tolong jaga dia di manapun dia berada. Pekiknya juga tidak berhenti berharap. Lima belas menit selanjutnya ia sudah berada di depan kosnya. Ada perasaan lega melihat sepatu istri di serambi kos mereka, berselang waktu muncul pertanyaan.
Entah siapa yang sedang bersama Cantik sekarang? Kenapa ada sepasang lagi sepatu yang seperti milik seorang pemuda? Dan, pertanyaan-pertanyaan itu menemaninya mengetuk pintu. Hanya dua kali mengetuk pintu sambil meng mengucapkan salam dengan sedikit lantang, seorang pemuda membuka dan menjawab salamnya. Tak lupa memberikan senyuman yang dibalas Digta dengan mimik tidak suka.  Pun masuk segera tanpa berkata apa-apa lagi, dan menemukan sang istri sedang meniup luka di tangannya yang sudah diberi perban. Spontan mendekatinya dan mencoba meminta maaf atas apa yang telah terjadi. Pun sebenarnya, hal ini juga akan terungkap cepat atau lambat. Sepintar-pintar tupai melompat pasti akan jatuh juga. Cantik malah menatap sinis bahkan tidak mengatakan sepatah kata pun. Berbeda dari biasanya yang cerewet dan pasti membalas apapun yang diucapkannya. Dulu membuatnya kesal jika seperti itu, berbeda dengan sekarang ia malah menginginkannya dan kediamannya membuat frustasi. Digta memegang kepalanya yang seakan pening. Ia menengok pemuda itu yang ternyata sudah hilang. Ia berlari ke depan dan mencoba mencarinya, sekalian ingin menjawab rasa penasarannya. Siapa sebenarnya dia? Hanya saja, dia benar-benar sudah pergi. Dan, sekarang Digta tidak hanya frustasi atas kediaman sang istri, melainkan rasa bersalah pun menimbang kepada pemuda yang mungkin saja sudah menolong Cantik dan tidak memiliki maksud jahat apapun. Ia kembali masuk ke ruang tamu kosnya, ternyata Cantik sudah masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Beberapa kali mencoba mengetuk dan mengatakan agar diberi izin masuk, pun Cantik tidak memberikan respon apapun. Hanya sarung sholat, sajadah dan selimut tidur yang diletakkannya di sofa ruang tamu. Hah. Digta mendengus nafas berat. Beberapa kali mengucapkan istigfhar. Butuh waktu dan semoga besok ia bisa kembali seperti biasanya. Ceria dan memberikan senyuman tulus.
Pun Digta segera beranjak mengambil wudhu untuk sholat dhuhur. Memanjatkan doa penuh harap agar Tuhan segera mengenyahkan perasaan sedih Cantik. Lebih baik dia yang merasakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar