HARUKSAH
MEMBERI TAHU?
“Bimbang,
karena takut akan kehilangan”
“Allahumma salli ala
Muhammad ya Rabbi Salli Alaihi wa Sallim,” dan bershalawat beberapa kali dalam
alunan gitar yang dimainkan oleh Rini, drum oleh Ayu dan biola oleh Ida,
sementara Suci sendiri yang menyanyi.
Ya,
keempatnya akan mengikuti lomba sholawatan di sekolah. Sudah beberapa hari ini
terus latihan supaya bisa tampil maksimal. Setidaknya tidak mengecewakan bagi
teman-teman yang sudah berharap banyak. Mereka akui memang, permainan musik
mereka belum terlalu bagus, tetapi kalau latihan terus menerus pasti akan baik
juga. Untung juga Ferdi yang pintar memainkan semua alat music itu selalu mau
membantu.
“Jadi,
aku punya saran sebelum Suci menyanyi, baiknya ia menambahkan puisi dulu di
hadapannya. Puisi yang menyatakan kerinduan kepada Rasulullah sesuai dengan
tema lomba untuk memperingati Maulid. Bagiamana?” tawar Ferdi di sela-sela
istirahat latihan.
“Hmm.
Saya rasa itu menarik juga kak, supaya tidak terkesan hanya menanyi saja,” Ida
langsung menanggapi setuju.
Suci
dan yang lainnya ikut menanggukkan kepala.
Setelah
menyapakati, Suci dibantu teman-temannya langsung membuat puisi. Hmmm. Tidak
butuh waktu lama, karena gadis itu memang suka sekali menulis puisi bahkan sudah
banyak puisi yang dibuatkan dalam beberapa buku diarynya, berharap suatu saat
bisa dibukukan. Beberepa saat kemudian kembali latihan dan menambahkan pembacaan
puisi. Ah, sungguh tersentuh. betapa teresapi pembacaan puisi akan kerinduan
pada Rasulullah apalagi diiringi biola Ida yang seakan menyayat hati. Bukan
hanya sekedar puisi, juga tentang rindu kepada Revelusioner kehidupan yang
sudah berjuang mati-matian memperkenalkan Islam kepada semua Insan sampai bisa
kita peluk. Nabi Muhammad, Nabi akhir zaman yang sangat menyayangi umatnya.
Sudah sepantasnya senantiasa bershalawat padanya. Sudah sepantasnya selalu
mengagungkan Kekasih Allah.
Ferdi
ikut terlarut dalam tangisan. Betapa tidak, selama ini lebih banyak menyanyikan
lagu dibandingkan shalawat kepada Nabi Muhammad, yang jelas-jelas sudah membawa
cahaya dalam kegelapapan hidup.
“Allahumma
salli ala Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad.”
“Allahumma
salli ala Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad,” dan semuanya berucap
bersamaan.
Dari
pintu Maryam Dina melihat kehangatan persahabatan Rini dan teman-temannya, yang
sebenarnya salah satu dari mereka adalah anak kandungnya. Ha. Ia mendengus
nafas berat. Sampai kapan harus menyembunyikan kebenaran? Haruskah memberi tahu
semuanya? Hanya saja ketika nyaris mengungkapkan selalu saja terhalang dengan
ketakutan-ketakutan. Bagaimana kalau sampai keduanya anak gadisnya akan pergi
dari hidupnya? Pasti hidup menjadi kacau dan seakan-akan tidak ada artinya
lagi.
Ferdi
terjaga akan kehadirannya, Dina kemudian segera mengusap air matanya dan masuk
ke ruang latihan. Ia memberikan senyuman untuk menyamarkan bekas tangisannya
walaupun semuanya tahu bahwa dia sudah menangis.
“Saya
yakin kalian akan juara karena kalian sudah latihan keras dan bahkan memberikan
sentuhan puisi yang menyayat hati,” ucap Ibuda Rini.
“Amin,
makasih tante. Semoga doa tante dan doa kami semua dikabulkan,” Ferdi
menambahkan.
Dina
kemudian mengajak semuanya pulang ke rumah. Sudah banyak makanan yang disiapkan
dan dimasak sendiri olehnya. Hmmm. Tapi sayang, Ida dan Ayu tidak bisa ikut
karena mereka harus segera pulang juga ke rumah mereka sendiri. Sudah beberapa
hari ini sudah bermalam di rumah Rini, orang tuanya sudah menelepon terus. Suci
juga menolak, tapi karena Dina sangat memintanya maka mau tak mau ia pun luluh
dan Ferdi selalu ingin di sampingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar