BERIKAN DIA KESEMPATAN
“Aku mencintainya lebih dari yang
dia bayangkan”
Awan
cerah menggelayut di atas langit. Pagi hari itu banyak pasien yang berjalan di
taman, sekedar bercerita dengan salah satu anggota keluarganya. Ada yang sedang
latihan berjalan dan ada pula yang sedang makan bersama. Begitu pula dengan
yang dilakukan Irma bersama kedua orang tuanya, sedang asyik bercerita di
tempat yang penuh dengan aroma bunga-bunga itu. Namun, beberapa kali gadis itu
terlihat celingak-celingkuk, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Entah
kenapa kemarin Ferli begitu saja, tanpa permisi padanya. Padahal biasanya dia
tidak seperti itu, malahan bersikeras menjagaku. Mungkinkah karena sudah ada orang tuaku? Irma mencoba membuat
pikirannya positif. Tidak baik dalam keadaan sakit terlalu banyak pikiran.
Ia
lalu menyadari sesuatu bahwa ayahnya kemarin mengajak Ferli bicara berdua.
Entah apa yang dibicarakan. Perlahan mengambil nafas pelan kemudian
membuangnya. Beberapa kalimat basa-basi keluar sebelum pada intinya. Sang ayah
yang sudah tahu pasti anak gadisnya bertanya itu mencoba berkata jujur, tetapi
lembut. Selama ini dia tidak pernah menyembunyikan apapun dari keluarganya, hal
apapun. Mata Irma berkaca-kaca mendengar keputusan sang ayah. Sementara ibunya
mencoba menenangkan dengan memegang tangannya. Mengisyaratkan dari mata bahwa
semua pasti ada jalannya.
“Dia
memang pemuda yang baik na’. Tetapi dia tidak bisa menjagamu dengan benar. Kamu
selalu saja celaka kalau dekat dengannya,” tutur Aditia kemudian.
Wajah
Irma diangkat sedikit, “Ayah, bukankah itu urusan takdir. Celaka dan selamatnya
seseorang. Itu tidak ada hubungannya dengan kak Ferli, ayah.”
Rika
kemudian menggigit bibir bawahnya, tangannya sedikit meremas tangan putrinya.
Lagi-lagi memberikan isyarat, jangan sampa menentang ayahnya di saat sekarang,
menunggu beberapa waktu sampai kepalanya didinginkan dan diberikan pengertian.
“Ayah,
beri dia kesempatan. Dia pasti bisa membuktikkan bahwa dia adalah orang yang
pantas bersamaku.”
“Nak’,
kamu tidak pernah melawan ayah seperti ini. Entah apa kepalamu sudah dicuci
olehnya atau bagaimana,” Aditia mulai sedikit kesal.
Irma
menitikan air mata sambil justru ayahnya yang kepalanya mungkin dicuci. Selama
ini ia selalu berpikiran baik kepada siapa saja, lantas kenapa di saat seperti
ini malah melupakan semua itu? Hah. Begitu sakit rasanya, namun tidak mungkin
bisa melawan. Bagaimanapun ia adalah seorang ayah yang sedang khawatir kepada
anaknya. Benar apa yang diisyaratkan ibunya, ayah perlu berpikir dan diberikan
pengertian. Semuanya butuh proses.
***
Rika
merasa harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa terus-terusan melihatnya putrinya
bersedih. Sudah tiga hari terbaring di rumah sakit. Tidak memiliki nafsu makan,
bahkan sering senyum dengan terpaksa. Hah.
Diam-diam
ia mengambil ponsel Irma dan mencari nomor kontak Ferli. Kemudian ia meminta
izin kepada sang suami untuk ke luar sebentar membeli buah. Awalnya Aditia
ingin ikut, namun Rika beralasan kalau sampai keduanya sama-sama pergi maka
tidak ada yang akan menjaga Irma.
Beberapa
menit kemudian ia sudah berada di sebuah kafe bersama Ferli yang sangat sopan
padanya. Ia merasa bersalah karena suaminya sudah berpikir yang tidak baik
tentangnya. Pun berjanji, bahwa ia akan mencoba membantu hubungannya dengan
anaknya. Hanya saja, ia juga harus berani untuk terus berjuang akan cinta kalau
benar-benar ia mencintai Irma.
Dan,
betapa bahagianya Rika saat mendengar pernyataan pacar anaknya.
“Aku
mencintainya lebih dari yang dibayangkannya bu. Aku sangat mencintainya,”
katanya tegas.
Rika sampai
meneteskan air mata melihat ketulusan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar