post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Minggu, 01 Juli 2018

Still Hoping (37)


MASIH TENTANG HUJAN
“Langit pertama pun tahu ketika hujan membasahi tentang cinta yang sudah ada”


“Aku mencintaimu.”
Kalimat itu terucap di bibir tipis Digta. Cantik masih terdiam.
“Apakah kamu memiliki perasaan yang sama?”
Sinar mata pemuda itu benar-benar menginginkan jawaban yang sama dengan hatinya.  Hanya saja bagi Cantik sebenarnya mudah untuk mengatakan ya, pun hati lainnya berpikir beri dia waktu membuktikkan cinta. Bukan persoalan tidak percaya, cuma memastikan agar dia lebih yakin apakah yang dipilih benar-benar dirinya. Sekitar tiga ratus detik sama-sama diam dalam keheningan, gadis berkerudung kuning muda itu mulai mengangkat wajahnya. Tetapi tidak berani menatap mata sang suami.

“Maafkan aku. Jujur aku memang memiliki perasaan yang sama denganmu dan untuk menerima perasaannmu yang sama dengan perasaanku juga itu tidak mudah.”
Digta mengernyit.
“Apa maksudmu?”
Cantik mengambil nafas dalam-dalam, kemudian membuangnya perlahan. Genangan air mata di pipinya sudah dihapus dari tadi. Sehingga yang muncul hanyalah wajah ayu dan gelagat canggung yang coba dilawan dengan tenang.
“Aku ingin kamu membuktikkan cintamu.”
Digta mengambangkan senyuman. Hatinya pun mengucapkan syukur. Alhamdulillah. Setidaknya ia sudah tahu perasaan istrinya walaupun belum bisa diterima. Pun berjanji, Insya Allah akan menunjukkan cintanya yang besar, lebih dari yang Cantik bayangkan. Keduanya saling melemparkan senyuman.
Adzan asar berkumandang. Segera mereka beranjak menunaikan sholat di musholla yang sudah disediakan untuk pengunjung. Tanpa sadar keduanya saling berpegang tangan dan membiarkan pengunjung lain melihat. Baru dilepas ketika melihat tempat wudhu antara laki-laki dan perempuan itu berbeda.
Usai sholat, Digta mengajak sang istri makan di kafe di depan pintu masuk dunia fantasi, karena juga merasa lapar langsung saja Cantik menurut. Digta memesan nasi campur yang lauknya hanya sayur lodek, tempe-tahu tumis dan telur balado sementara Cantik memesan nasi goreng yang banyak di dalamnya sosis. Digta sangat menikmati makanannya. Ya, dia memang sangat suka telur balado bahkan sampai meminta satu lagi.
“Suatu hari nanti aku akan memasakkan kesukaanmu,” batin Cantik.
***
Hujan adalah rahmat Tuhan. Dan, hujan pula yang telah menyatukan mereka.
Keduanya berjalan berisian dengan satu payung di trotoar sambil terus hati-hati agar tidak terkena cipratanan air, hanya saja semakin tidak ingin itu terjadi malah harus terjadi karena ulah pengendara jalan yang ugal-ugalan.
Adegan romantic terjadi. Digta menghalangi Cantik terkena cipratan air hujan di jalan berlubang, membiarkan dirinya sendiri kebasahan. Serta merta didekapnya badan istrinya erat. Mata mereka pun beradu. Hujan yang masih turun, udara dingin yang masih menggigilkan tubuh juga payung kuning yang mereka pegang menjadi saksi bisu.
“Astagfirullah, maaf,” Digta buru-buru melepaskan pelukannya.
“Tidak apa-apa. Malah aku harus berterima kasih padamu.”
“Kalau begitu ayo kita jalan.”
Karena merasa diberikan lampu hijau, Digta kembali meraih tangan istrinya kemudian menyusuri jalan yang terus basah dengan air langit. Sekali lagi, hujan terus memberikan kenangan dan cerita indah bagi keduanya.
***
Sesampainya di rumah, Digta langsung menyuruh istrinya untuk mengganti pakaiannya, setelah itu dirinya karena kalau tidak, bisa-bisa masuk angina atau bahkan sakit. Cantik menurut. Setelah keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah tidak basah lagi, ia melihat dua cangkir teh panas yang sudah disiapkan di atas meja ruang tamu. Ah, suaminya begitu perhatian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar