MASIH
TENTANG HUJAN
“Langit
pertama pun tahu ketika hujan membasahi tentang cinta yang sudah ada”
“Aku mencintaimu.”
Kalimat
itu terucap di bibir tipis Digta. Cantik masih terdiam.
“Apakah
kamu memiliki perasaan yang sama?”
Sinar
mata pemuda itu benar-benar menginginkan jawaban yang sama dengan hatinya. Hanya saja bagi Cantik sebenarnya mudah untuk
mengatakan ya, pun hati lainnya berpikir beri dia waktu membuktikkan cinta.
Bukan persoalan tidak percaya, cuma memastikan agar dia lebih yakin apakah yang
dipilih benar-benar dirinya. Sekitar tiga ratus detik sama-sama diam dalam
keheningan, gadis berkerudung kuning muda itu mulai mengangkat wajahnya. Tetapi
tidak berani menatap mata sang suami.
“Maafkan
aku. Jujur aku memang memiliki perasaan yang sama denganmu dan untuk menerima
perasaannmu yang sama dengan perasaanku juga itu tidak mudah.”
Digta
mengernyit.
“Apa
maksudmu?”
Cantik
mengambil nafas dalam-dalam, kemudian membuangnya perlahan. Genangan air mata
di pipinya sudah dihapus dari tadi. Sehingga yang muncul hanyalah wajah ayu dan
gelagat canggung yang coba dilawan dengan tenang.
“Aku
ingin kamu membuktikkan cintamu.”
Digta
mengambangkan senyuman. Hatinya pun mengucapkan syukur. Alhamdulillah. Setidaknya ia sudah tahu perasaan istrinya walaupun
belum bisa diterima. Pun berjanji, Insya Allah akan menunjukkan cintanya yang
besar, lebih dari yang Cantik bayangkan. Keduanya saling melemparkan senyuman.
Adzan
asar berkumandang. Segera mereka beranjak menunaikan sholat di musholla yang
sudah disediakan untuk pengunjung. Tanpa sadar keduanya saling berpegang tangan
dan membiarkan pengunjung lain melihat. Baru dilepas ketika melihat tempat
wudhu antara laki-laki dan perempuan itu berbeda.
Usai
sholat, Digta mengajak sang istri makan di kafe di depan pintu masuk dunia
fantasi, karena juga merasa lapar langsung saja Cantik menurut. Digta memesan
nasi campur yang lauknya hanya sayur lodek, tempe-tahu tumis dan telur balado
sementara Cantik memesan nasi goreng yang banyak di dalamnya sosis. Digta
sangat menikmati makanannya. Ya, dia memang sangat suka telur balado bahkan
sampai meminta satu lagi.
“Suatu
hari nanti aku akan memasakkan kesukaanmu,” batin Cantik.
***
Hujan adalah rahmat
Tuhan. Dan, hujan pula yang telah menyatukan mereka.
Keduanya
berjalan berisian dengan satu payung di trotoar sambil terus hati-hati agar
tidak terkena cipratanan air, hanya saja semakin tidak ingin itu terjadi malah
harus terjadi karena ulah pengendara jalan yang ugal-ugalan.
Adegan
romantic terjadi. Digta menghalangi Cantik terkena cipratan air hujan di jalan
berlubang, membiarkan dirinya sendiri kebasahan. Serta merta didekapnya badan
istrinya erat. Mata mereka pun beradu. Hujan yang masih turun, udara dingin
yang masih menggigilkan tubuh juga payung kuning yang mereka pegang menjadi
saksi bisu.
“Astagfirullah,
maaf,” Digta buru-buru melepaskan pelukannya.
“Tidak
apa-apa. Malah aku harus berterima kasih padamu.”
“Kalau
begitu ayo kita jalan.”
Karena
merasa diberikan lampu hijau, Digta kembali meraih tangan istrinya kemudian
menyusuri jalan yang terus basah dengan air langit. Sekali lagi, hujan terus
memberikan kenangan dan cerita indah bagi keduanya.
***
Sesampainya di rumah,
Digta langsung menyuruh istrinya untuk mengganti pakaiannya, setelah itu dirinya
karena kalau tidak, bisa-bisa masuk angina atau bahkan
sakit. Cantik menurut. Setelah keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah
tidak basah lagi, ia melihat dua cangkir teh panas yang sudah disiapkan di atas
meja ruang tamu. Ah, suaminya begitu perhatian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar