post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 06 Mei 2019

Gelang (3)


PENGAGUM
“Aku sudah lama mencintaimu”

“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Aku bertanya dengan terheran-heran kepada pemuda yang memiliki jiwa sok pahlawan itu.
“Aku hanya menunggu temanku kak.”
“Oh, ya sudah. Tapi, kamu harus ingat, jangan pernah melakukan hal seperti tadi.”
Ia terdiam sejenak. Entah apa yang dipikirkannya, ia langsung mengeluarkan kata-kata yang juga membuatku terdiam. Kenapa kalau aku melakukannya? Apakah kakak khawatir kepadaku? Tanyanya.

Biasanya aku marah kalau ada yang berlaku sok tahu di hadapanku. Hanya saja, entah kenapa itu malah membuatku kikuk.
Kubalikkan badan meskipun dengan langkah berat. Serasa ada sesuatu yang menimpa tubuhku. Perasaan dalam relung hatiku bergejolak. Hah. Ada apa ini? Kenapa jantungku berdegup kencang? Untung Nini dan teman-teman yang lain masih ada di auditorium. Pikirku.
Serius, aku merasa aneh dengan apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak berhenti memikirkan anak pemberontak itu. Padahal aslinya dia selalu berhasil membuatku kesal. Selalu berhasil membuat kepalaku pusing. Tetapi justru banyak yang kagum kepadanya. Semalaman aku berpikir dan tidak  bisa tidur.
***
Esok menjelang dan kegiatan ospek terus berlanjut. Hanya saja aku terlambat datang ke auditorium karena semalaman tidak bisa tidur. Alhasil, sebagai ketua hazer, aku dihukum oleh mantan ketua hazer yang lalu, meskipun aku sudah mencoba menjelaskan. Ya, aku akui memang yang terjadi adalah salahku. Mau tak mau, aku harus menjalaninya. Disuruh hormat menghadap tiang bendera selama lima jam.
Nampak sekali Sing ingin membelaku, saat ia berdiri dan memperkenalkan nama dan nomor ospeknya. Kejegal dengan gelekan kepala.
Alhamdulillah. Ia menurut juga, namun yang membuat aku bingung kenapa nampak ia sangat khawatir.
***
Apa? Sudah selesai sholat Asyar? Tetapi Kit kembali hormat di depan tiang bendera?
Sing yang masih berada di antara teman-temannya yang mengikuti arahan dari wakil ketua hazer langsung berlari ke lapangan. Tanpa perduli, siapa yang memanggilnya. Ia terus berlari dan akhirnya menemukanku yang mulai nampak lemas.
Guntur di langit memenuhi sudut telinga. Mendung sudah dari tadi menghiasinya. Beberapa detik berlalu, pun akhirnya hujan turun juga. Membasahiku yang masih terus berdiri dan mulai kedingingan.
Sing berlari kepadaku, memberikan jacketnya di badanku. Sambil berteriak dalam hujan agar menghentikan apa yang masih aku lakukan. Sudah empat jam lebih hormat, kenapa tidak berhenti juga? Bentaknya.
Nini dan teman-teman yang lain datang, nampak memiliki maksud yang sama dengan Sing. Hanya saja, sebelum mereka melakukannya juga, aku mencoba menjelaskan  bahwa yang kulakukan adalah sebuah tanggungjawab. Mereka tidak berhak untuk melarangku.
Kewajiban mereka adalah membawa Sing agar kembali mengikuti pengarahan, bukan berada di tengah lapangan seperti ini. Nini mengerti bahwa kalau aku sudah memutuskan sesuatu, sangat sulit untuk dirubah.
Ia pun mulai memperingati Sing agar jangan mencampuri urusan tanggung jawab kepala Hazer.
“Ayo, sekarang juga kamu kembali ke auditorium atau kamu tidak akan pernah kembali ke sana,” Nini mengancam.
Sing mendengus nafas berat, kemudian berbalik masuk ke auditorium.
Rupanya semua mahasiswa baru dari jauh melihat yang terjadi dan meninggalkan auditorium, pun wakil ketua hazer memutuskan untuk menyudahi pertemuan hari ini dan menggantinya dengan memberi semangat kepadaku agar bisa menyelesaikan hukumanku dengan baik.
Tuhan. Aku benar-benar merasakan aroma kekentalan persaudaraan. Pikirku.
***
Special
Ya Tuhan, aku sangat kaget ketika Sing datang membawa obat pijat kemudian memijat kakiku dengan memakai sarung tangan.
Aku mencoba melepaskannya dan mengatakan bahwa tidak baik kalau bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan secara langsung. Pun dia menjawab dengan tegas, toh dia melakukannya dengan maksud mengobati lagian dia juga memakai sarung tangan. Tidak ada maksud yang lain.
Aku sedikit meringis ketika ia memijat lembut kakiku bahkan sampai memukul kepalanya, namun ia hanya diam. Aku tersenyum setelahnya dan mengucapka terima kasih.
“Jangan pernah lagi membuat aku khawatir,” katanya kemudian pergi tanpa menjelaskan apa maksud dari perkataannya.
Pemuda pemberontak itu ternyata baik. batinku sambil terus melihatnya menjauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar