post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 15 Juni 2019

Gelang (11)


DIABAIKAN
“Jika memang engkau tidak memiliki perasaan sama. Aku akan belajar mengerti.”

Di kasur, aku hanya menerawang ke langit-langit kamar tidak jelas. Perasaan yang berkecamuk pun kembali memandang boneka hello kitty itu.
“Bagaimana kalau sampai Sing benar-benar menyukaiku?”
Pertanyaan itu membentur. Tiba-tiba dering ponselku berbunyi.
Masih dengan nada yang sama dari lagu Rossa di soundtrack Ayat-ayat Cinta Dua. Aku masuk ke dalam lagu, bulan mengekang malam. Rasanya tidak sama, tetapi mendengar itu aku percaya adanya cinta sejati seperti Aisyah dan Fahri dan mungkinkah bisa mengalir dalam kehidupanku bersama Sing? Allah. Lagi-lagi Sing. Pikirku.

Suara hatiku berbisik, harusnya engkau mengangkat telepon Sing dan kalau benar ia mengatakan cinta terima saja seperti apa yang dikatakan hatimu.
Aku menderuhkan nafas panjang.
Kuambil ponsel yang berdering untuk kedua kalinya. Aku masih memegangnya tanpa menyentuh sama sekali. Ada keraguan.
“Tidak ada cinta yang lama antara senior dan junior. Sudah banyak buktinya. Seperti Kisah Kerra kemarin dengan Adit, senior semester tujuh dan satu, hanya bertahan dalam waktu tiga bulan. Bukankah kamu ingin menjalin cinta hanya sekali. Saat kau membuka hati maka bukalah kepada orang yang kamu idamkan. Paling tidak, tiga tahun di atas usiamu.”
Dan, suara hati lain menyergap. Membuatku melepaskan kembali ponsel itu dan membiarkanya terus berdering.
***
Aku sudah siap ke kampus. Kupandangi diriku dalam cermin sambil tersenyum asam. Mulutku sedikit mengambang. Ada kekhawatiran menguak. Padahal hilir mudik udara masih sama seperti biasanya. Pagi cerah dalam balutan matahari yang menyemangati. Hanya saja, bagaimana berhadapan dengan Sing hari ini? Apakah aku akan terus menghindar? Aku menggumam. Kalau hanya itu caranya, biarkanlah.
Aku mengambil ponselku di atas meja, di dekat lampu tidur di samping kasur. Astagfirullah enam belas panggilan dan sepuluh pesan. Aku sama sekali tidak menyentuhnya, takut kalau-kalau membacanya akan berubah pikiran. Aku hanya menaruh ponsel itu ke dalam saku tasku yang ada di sisinya. Kemudian melangkah bebas keluar kamar dan menguncinya.
***
Benar saja, pemuda itu menunggu di lantai dasar sambil memperhatikan terus ponselnya. Seperti sedang mengirim pesan kepada seseorang. Tak lama ia menaruhnya ke telinga. Hah. untung aku sudah matikan ponselku dan dia tidak akan mendengar deringnya, pun aku yang melihatnya dari lantai dua secara sembunyi-sembunyi.
“Kasian juga dia,” sisi hatiku berbicara iba.
Tak lama ponselnya berbunyi, terdengar nama Muhdar disebutnya. Ternyata ia harus masuk kelas pagi, ia pun beranjak pergi namun menitipkan pesan dalam selembar kertas untukku kepada Nini. Allah., Batinku. Kemudian, ia beranjak keluar sambil berlari-lari kecil.
Aku pura-pura tidak tahu apa-apa. Hanya berjalan biasa menuju Nini dan menyapanya.
“Hi juga Kitty. Oh ya, ini ada surat untuk kamu dari junior andalanmu,” sekonyong-konyongnya Nini menarik kesimpulan sendiri. Mungkin saja karena aku sering membicarakannya ketika sedang bersamanya.
Aku mengambil surat itu dan cepat-cepat menaruhnya ke dalam tas.
“Koq tidak dibaca?”  Nini terheran-heran melihatku tidak penasaran dengan isi kertas itu.
“Tidak apa-apa. Nanti aja aku baca,” aku memberikan senyuman ringan.
Ia hanya mengangguk pelan. Memberikan isyarat, terserah kamu.
Kami berdua berjalan berisian menuju kampus dan Nini bertanya kepadaku, tentang hubungaku dengan sang junior. Aku menganga, tidak tahu harus menjawab apa karena akupun tidak mengerti.
***
SPECIAL
Setelah menerima boneka besar itu. Aku menggendongnya ke dalam kamar. Kupapah dengan lembut, bahkan sampai menciumnya beberapa kali. Tidak bisa kusangkal perasaan senang. Ah…. Sing, benar-benar tahu cara membuatku bahagia. Aku memutuskan memberi nama boneka itu dengan sebutan Sing. Sing akan selalu menemaniku dalam segala keadaan. Menerima keletihanku sepulang dari kampus yang kadang sangat menyibukkan. Aku kembali mendekapnya. Terbayang tentang pertemuanku di awal dengan si pemberi Sing, manis da nada kelucuan. Seolah ingin kembali.
“Pokoknya kamu akan menjadi sahabatku selamanya,” ucapku kepada boneka, seolah berbicara pada makhluk hidup. Kalau ada yang melihat, pasti sudah mengira aku gila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar