AKU
JUGA MENCINTAIMU
“Aku
mencintaimu apa adanya”
Hari Senin, di tengah
barisan siswa-siswa yang mengikuti upacara, aku mencari sela-sela untuk
menemukannya. Junior yang sudah berani menyatakan cinta kepadaku. Sebenarnya
hatiku tidak karuan. Satu sisi tidak ingin menerima cintanya karena
ketakutan-ketakutan yang tidak jelas, namun di satu sisi lain hati ini
memberontak karena merindu. Ingin melihat wajah mancungnya, bibir tipisnya, wajah
rupawannya, langkahnya yang selalu ingin dekat denganku dan sekarang nampak
sekali tidak ingin berada di dekatku. Ah, sungguh sakit.
Kumanjakan
diri bertanya kepada Tuhan setelahnya, dalam shalat istikharah. Entah jalan mana yang harus kupilih semoga adalah yang
terbaik. Semoga saja segera mendapatkan petunjuk. Supaya tidak berada dalam
dilemma terus-menerus. Ingin hidup bahagia seperti yang lainnya.
Dan,
petunjuk itu datang melalui salah satu pasangan fenomenal di kampus. Pasangan
antara senior dan junior. Siapa lagi kalau bukan Kerra dan Adit, yang ternyata
kembali bersatu setelah terdengus kabar putus. Aku mendekati mereka dan terus
bertanya, apakah mereka bahagia?
“Tentu
saja bahagia. Bukankah cinta itu datang dengan sendirinya dan tidak bisa
ditebak. Cinta itu juga apa adanya. Dan, ketika kita menahannya maka akan
tambah besar. Bukannya akan hilang,” jelas Kerra.
Aku
mengangguk dan melemparkan senyuman.
“Bahagialah
dengan cinta yang datang. Jangan sia-siakan. Karena ketika cinta itu enyah
mungkin saja hanya akan bermuara pada penyesalan yang panjang,” tambah Kerra,
kemudian pamit bersama Adit untuk ke kantin.
Alhamdulillah. Aku
bernafas lega. Allah memberikan pertolongannya secepatnya mungkin. Dan, aku
sudah bertekad bulat untuk menyatakn perasaan yang sama kepada Singto. Secepat
mungkin.
***
Kupandangi diriku di
dalam cermin. Gaun gamis merah yang sudah kukenakan, tidak terlalu besar dan
juga tidak terlalu ketat, Alhamdulillah sangat
pas ditubuhku. Ditambah kain hijab senada dan polesan jilbab, Insya Allah semoga bisa membuat Singto
sedikit melirikku di acara pernikahan Kerra dan Adit.
Aku
masih betah berdiri di depan cermin padahal sudah terhitung sejam lebih. Nini
yang menungguku di lantai dasar segere menelepon dan mengancam kalau tidak
turun secepatnya, maka dia akan berangkat sendiri.
“Ia-ia
maaf, aku turun nih sekarang,” kataku kemudian menutup telepon dan mengambil
tas yang juga senada dengan pakaian yang kukenakan.
***
Di pesta pernikahan
fasangan fenomenal di kampus cukup megah. Banyak dosen yang diundang, bahkan
sampai Rektor dan Dekan-dekan Fakultas. Sementara mahasiswa hampir memenuhi
setiap sudut taman yang menjadi tempat ijab Kabul kedua mempelai.
Kulirik
jam yang melingkar di tanganku. Kembali aku mengucap syukur kepada Allah karena
tidak terlambat. Acara ijab Kabul dilaksanakan sekitar sepuluh menit setelah
kedatanganku. Aku melirik Singto yang duduk di kursi depan, pandangannya seolah
kosong. Di sampingnya ada M, May dan juga teman-temannya yang lain.
Hikmat.
Ucapan syukur dari semua hadirin saat mempelai pria dengan mantap menyelesaikan
ikrar menikahi mempelai perempuan. Kedua mempelai kemudian mengambil gambar
dengan pose memperlihatkan buku nikah. Teman-temannya juga diajak serta
termasuk aku dan Nini. Singto yang juga ternyata sudah kenal dengan Aditia, pun
dipanggil. Dia tepat berdiri di sampingku.
Aku
mencoba menyapanya dan menanyakan kabarnya setelah pengambilan gambar, dia
hanya menjawab dengan pernyataan sama. Ya dan ya. Tidak ada yang lain, sampai
ia pergi dari hadapanku.
SPECIAL
Aku tidak mau menyesal.
Aku mengejarnya, untungnya ia sadar dan ternyata sudah menungguku di depan
pintu masuk taman. Aku mengajaknya makan di luar, ia mengangguk dan
menyemburkan senyuman tipis.
Sangat
perhatian. Ia memesan salah satu makanan kesukaanku, bakso. Ia bahkan
menuangkan air putih ke dalam gelas yang sudah dia pilih. Aku terkesima.
Setelah
makan, kami berjalan bersama menuju tempat pernikaha Kerra dan Aditia, hanya
saja aku meminta waktunya sebentar untuk bicara dari hati ke hati. Di atas
jembatan yang di bawahnya laut luas terhampar.
“Apakah
kamu benar mencintaiku?” pertanyaan itu meluncur saja, hanya sebelumnya melawan
gerogi yang luar biasa dalam diri.
Dengan
mantap ia mengucapkan, “Aku sangat mencintaimu. Aku mencintaimu apa adanya.”
Kami
saling melempar senyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar