post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 24 Juni 2019

Gelang (13)


AKU JUGA MENCINTAIMU
“Aku mencintaimu apa adanya”

Hari Senin, di tengah barisan siswa-siswa yang mengikuti upacara, aku mencari sela-sela untuk menemukannya. Junior yang sudah berani menyatakan cinta kepadaku. Sebenarnya hatiku tidak karuan. Satu sisi tidak ingin menerima cintanya karena ketakutan-ketakutan yang tidak jelas, namun di satu sisi lain hati ini memberontak karena merindu. Ingin melihat wajah mancungnya, bibir tipisnya, wajah rupawannya, langkahnya yang selalu ingin dekat denganku dan sekarang nampak sekali tidak ingin berada di dekatku. Ah, sungguh sakit.

Kumanjakan diri bertanya kepada Tuhan setelahnya, dalam shalat istikharah. Entah jalan mana yang harus kupilih semoga adalah yang terbaik. Semoga saja segera mendapatkan petunjuk. Supaya tidak berada dalam dilemma terus-menerus. Ingin hidup bahagia seperti yang lainnya.
Dan, petunjuk itu datang melalui salah satu pasangan fenomenal di kampus. Pasangan antara senior dan junior. Siapa lagi kalau bukan Kerra dan Adit, yang ternyata kembali bersatu setelah terdengus kabar putus. Aku mendekati mereka dan terus bertanya, apakah mereka bahagia?
“Tentu saja bahagia. Bukankah cinta itu datang dengan sendirinya dan tidak bisa ditebak. Cinta itu juga apa adanya. Dan, ketika kita menahannya maka akan tambah besar. Bukannya akan hilang,” jelas Kerra.
Aku mengangguk dan melemparkan senyuman.
“Bahagialah dengan cinta yang datang. Jangan sia-siakan. Karena ketika cinta itu enyah mungkin saja hanya akan bermuara pada penyesalan yang panjang,” tambah Kerra, kemudian pamit bersama Adit untuk ke kantin.
Alhamdulillah. Aku bernafas lega. Allah memberikan pertolongannya secepatnya mungkin. Dan, aku sudah bertekad bulat untuk menyatakn perasaan yang sama kepada Singto. Secepat mungkin.
***
Kupandangi diriku di dalam cermin. Gaun gamis merah yang sudah kukenakan, tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu ketat, Alhamdulillah sangat pas ditubuhku. Ditambah kain hijab senada dan polesan jilbab, Insya Allah semoga bisa membuat Singto sedikit melirikku di acara pernikahan Kerra dan Adit.
Aku masih betah berdiri di depan cermin padahal sudah terhitung sejam lebih. Nini yang menungguku di lantai dasar segere menelepon dan mengancam kalau tidak turun secepatnya, maka dia akan berangkat sendiri.
“Ia-ia maaf, aku turun nih sekarang,” kataku kemudian menutup telepon dan mengambil tas yang juga senada dengan pakaian yang kukenakan.
***
Di pesta pernikahan fasangan fenomenal di kampus cukup megah. Banyak dosen yang diundang, bahkan sampai Rektor dan Dekan-dekan Fakultas. Sementara mahasiswa hampir memenuhi setiap sudut taman yang menjadi tempat ijab Kabul kedua mempelai.
Kulirik jam yang melingkar di tanganku. Kembali aku mengucap syukur kepada Allah karena tidak terlambat. Acara ijab Kabul dilaksanakan sekitar sepuluh menit setelah kedatanganku. Aku melirik Singto yang duduk di kursi depan, pandangannya seolah kosong. Di sampingnya ada M, May dan juga teman-temannya yang lain.
Hikmat. Ucapan syukur dari semua hadirin saat mempelai pria dengan mantap menyelesaikan ikrar menikahi mempelai perempuan. Kedua mempelai kemudian mengambil gambar dengan pose memperlihatkan buku nikah. Teman-temannya juga diajak serta termasuk aku dan Nini. Singto yang juga ternyata sudah kenal dengan Aditia, pun dipanggil. Dia tepat berdiri di sampingku.
Aku mencoba menyapanya dan menanyakan kabarnya setelah pengambilan gambar, dia hanya menjawab dengan pernyataan sama. Ya dan ya. Tidak ada yang lain, sampai ia pergi dari hadapanku.
SPECIAL
Aku tidak mau menyesal. Aku mengejarnya, untungnya ia sadar dan ternyata sudah menungguku di depan pintu masuk taman. Aku mengajaknya makan di luar, ia mengangguk dan menyemburkan senyuman tipis.
Sangat perhatian. Ia memesan salah satu makanan kesukaanku, bakso. Ia bahkan menuangkan air putih ke dalam gelas yang sudah dia pilih. Aku terkesima.
Setelah makan, kami berjalan bersama menuju tempat pernikaha Kerra dan Aditia, hanya saja aku meminta waktunya sebentar untuk bicara dari hati ke hati. Di atas jembatan yang di bawahnya laut luas terhampar.
“Apakah kamu benar mencintaiku?” pertanyaan itu meluncur saja, hanya sebelumnya melawan gerogi yang luar biasa dalam diri.
Dengan mantap ia mengucapkan, “Aku sangat mencintaimu. Aku mencintaimu apa adanya.”
“Aku juga mencintaimu.”
Kami saling melempar senyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar