post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 26 Juni 2019

Gelang (14)


KAMI, PACARAN
“Kau bisa menemukan cinta itu di mataku setiap hari”

Esok mengibarkan sinar secerah di hatiku. Rupanya bahagia saat jujur pada diri sendiri, apalagi tentang cinta.
Pagi menjatuhkan semangatnya tepat di wajahku. Senyuman berseri seperti mentari. Penaka bunga bermekaran, membuat siapa saja yang menyentuh mata akan ikut tersungging manis. Nini sampai bertanya-tanya, apakah aku sudah tidak waras? Tidak terlontar jawaban apapun. Kecuali senyuman ringan dan sahabatku itu hanya menggelengkan kepala. Terheran-heran.

Aku menarik nafas rindu. Bahagia itu juga karena tahu penawar rindu akan segera dekat. Aku beranjak menuju serambi kelas di lantai dua. Kuperhatikan lalu lalang mahasiswa, ada yang bergerombol, ada pula yang menyendiri. Ada yang berjalan cepat da nada pula yang berjalan. Berbagai macam ekspresi, namun yang menarik perhatianku adalah sosok pemuda pemilik hati. Ia melambaikan tangan dengan melemparkan senyuman maut. Aku buru-buru pindah, takut ketahuan senang. Setidaknya aku sudah melihatnya sebelum kelas pagi berlangsung.
Ternyata benar apa yang dikatakan Dilan, baik di film maupun di novelnya. Tentang rindu yang berat. Setelah kelas pagi sampai siang selesai. Aku buru-buru keluar kelas, kutarik Nini dengan mengatakan aku sangat lapar. Ia setuju tanpa tahu ada niat terselebung. Sedikit merengek ketika rangkulanku terlalu kuat.
“Kak Kitty….,” ada suara yang memanggil dan aku tahu sekali siapa pemiliknya.
Aku tidak mau berbalik. Jantungku rasanya ingin copot.
“Kak, ini novel kakak yang aku janjikan,” Sing memberikan novel Ayat-ayat Cinta Dua saat dia sudah berdiri di hadapanku.
Nini kembali terheran-heran. Apa yang sebenarnya telah terjadi antara aku dan Sing? Kenapa aku nampak kikuk? Dan pertanyaan gadis pemilik tai lalat di pipinya itu meluncur lembut setelah Sing pergi meninggalkan senyum. Ia mengintrogasiku seperti polisi kepada terdakwa.
“Bukannya kamu bilang kita adalah sahabat. Jadi, kamu tidak boleh menyembunyikan apapun dariku,” ia mengernyit.
Aku minta maaf sebelumnya, seharusnya aku sudah mengatakan dari malam tadi saat menelepon. Hanya saja aku masih malu-malu. Sekarang, mau tidak mau harus menghujaninya kejujuran. Tentang kejujuran hubungan aku dengan Sing. Benci yang bermuara menjadi cinta, sebab cinta tidak bisa ditebak.
***
Aku dan Sing berjalan berisian menuju lantai tiga Grand Mall. Di bioskop. Film Perfect Husband akan diputar sebentar lagi. Sing sudah memesannya via whats app sebelumnya. Sebelum masuk ke dalam pintu masuk pengambilan tiket, kami berpapasan dengan gadis berkerudung hijau yang senada dengan baju gamisnya. Cantik. Tidak heran ia menjadi Putri Kampus. Pina nampak sangat dekat dengan Sing. Aku menggumam menunggu mereka bercerita tentang film. Sebenarnya aku bisa saja masuk di antara pembicaraan mereka. Hanya saja, aku merasa tidak enak hati. Hah. Aku mendengus nafas berat.
Tidak ada pembicaraan sama sekali dengan Sing. Meskipun  dia mengajak dengan nada lembut, menawarkan makanan dan minuman. Hanya memberikan wajah jutek seperti saat pertama bertemu.
Sampai dia mengantarku ke depan pintu masuk asrama, aku hanya mengucapkan terima kasih tanpa melihat wajahnya. Berharap ia bisa membaca sesuatu dari sikapku. Ternyata tidak.
Aku langsung mengambil ponsel saat masuk ke dalam kamar. Aku menelepon sahabatku. Aku menceritakan apa yang aku rasakan.
“Itu tidak baik Kit. Kamu harusnya kasih tahu kalau kamu merasa cemburu padanya. Saling jujur dalam sebuah hubungan itu harus,” kata Nini lembut.
SPECIAL
Pesta ucapan terima kasih kepada senior sedang berlangsung, di bibir pantai. Tempat yang sama dengan ospek di luar kampus dulu. Sing tanpa mengingat persoalan sebelumnya datang menghampiriku. Membawa banyak hadiah. Boneka Doraemon besar, bungkusan-bungkusan kado yang sudah urusnya semalaman bersama M, May dan yang lainnya.
Sing tersenyum sambil memberikan boneka besar itu kepadaku, ada lipatan kertas di tangan boneka kesukaanku itu. Permintaan maaf karena tidak peka dan sekaligus ucapan cinta yang bercurah.
“Harusnya aku yang minta maaf karena terlalu berlebihan,” aku tersenyum ringan.
Kami saling melemparkan senyuman dan beberapa detik tersadar, ternyata semuanya sedang memperhatikan. Bertanya setelahnya apa yang terjadi di antara kami.
“Kami, kami pacaran,” kataku dengan suara nyaring.
Hah…. Semua senang. Alhamdulillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar