KAMI,
PACARAN
“Kau
bisa menemukan cinta itu di mataku setiap hari”
Esok mengibarkan sinar
secerah di hatiku. Rupanya bahagia saat jujur pada diri sendiri, apalagi
tentang cinta.
Pagi
menjatuhkan semangatnya tepat di wajahku. Senyuman berseri seperti mentari.
Penaka bunga bermekaran, membuat siapa saja yang menyentuh mata akan ikut
tersungging manis. Nini sampai bertanya-tanya, apakah aku sudah tidak waras?
Tidak terlontar jawaban apapun. Kecuali senyuman ringan dan sahabatku itu hanya
menggelengkan kepala. Terheran-heran.
Aku
menarik nafas rindu. Bahagia itu juga karena tahu penawar rindu akan segera
dekat. Aku beranjak menuju serambi kelas di lantai dua. Kuperhatikan lalu
lalang mahasiswa, ada yang bergerombol, ada pula yang menyendiri. Ada yang
berjalan cepat da nada pula yang berjalan. Berbagai macam ekspresi, namun yang
menarik perhatianku adalah sosok pemuda pemilik hati. Ia melambaikan tangan
dengan melemparkan senyuman maut. Aku buru-buru pindah, takut ketahuan senang. Setidaknya
aku sudah melihatnya sebelum kelas pagi berlangsung.
Ternyata
benar apa yang dikatakan Dilan, baik di film maupun di novelnya. Tentang rindu
yang berat. Setelah kelas pagi sampai siang selesai. Aku buru-buru keluar
kelas, kutarik Nini dengan mengatakan aku sangat lapar. Ia setuju tanpa tahu
ada niat terselebung. Sedikit merengek ketika rangkulanku terlalu kuat.
“Kak
Kitty….,” ada suara yang memanggil dan aku tahu sekali siapa pemiliknya.
Aku
tidak mau berbalik. Jantungku rasanya ingin copot.
“Kak,
ini novel kakak yang aku janjikan,” Sing memberikan novel Ayat-ayat Cinta Dua
saat dia sudah berdiri di hadapanku.
Nini
kembali terheran-heran. Apa yang sebenarnya telah terjadi antara aku dan Sing?
Kenapa aku nampak kikuk? Dan pertanyaan gadis pemilik tai lalat di pipinya itu
meluncur lembut setelah Sing pergi meninggalkan senyum. Ia mengintrogasiku
seperti polisi kepada terdakwa.
“Bukannya
kamu bilang kita adalah sahabat. Jadi, kamu tidak boleh menyembunyikan apapun
dariku,” ia mengernyit.
Aku
minta maaf sebelumnya, seharusnya aku sudah mengatakan dari malam tadi saat
menelepon. Hanya saja aku masih malu-malu. Sekarang, mau tidak mau harus
menghujaninya kejujuran. Tentang kejujuran hubungan aku dengan Sing. Benci yang bermuara menjadi cinta, sebab
cinta tidak bisa ditebak.
***
Aku dan Sing berjalan
berisian menuju lantai tiga Grand Mall. Di bioskop. Film Perfect Husband akan
diputar sebentar lagi. Sing sudah memesannya via whats app sebelumnya. Sebelum
masuk ke dalam pintu masuk pengambilan tiket, kami berpapasan dengan gadis berkerudung
hijau yang senada dengan baju gamisnya. Cantik. Tidak heran ia menjadi Putri
Kampus. Pina nampak sangat dekat dengan Sing. Aku menggumam menunggu mereka
bercerita tentang film. Sebenarnya aku bisa saja masuk di antara pembicaraan
mereka. Hanya saja, aku merasa tidak enak hati. Hah. Aku mendengus nafas berat.
Tidak
ada pembicaraan sama sekali dengan Sing. Meskipun dia mengajak dengan nada lembut, menawarkan
makanan dan minuman. Hanya memberikan wajah jutek seperti saat pertama bertemu.
Sampai
dia mengantarku ke depan pintu masuk asrama, aku hanya mengucapkan terima kasih
tanpa melihat wajahnya. Berharap ia bisa membaca sesuatu dari sikapku. Ternyata
tidak.
Aku
langsung mengambil ponsel saat masuk ke dalam kamar. Aku menelepon sahabatku.
Aku menceritakan apa yang aku rasakan.
“Itu
tidak baik Kit. Kamu harusnya kasih tahu kalau kamu merasa cemburu padanya.
Saling jujur dalam sebuah hubungan itu harus,” kata Nini lembut.
SPECIAL
Pesta ucapan terima
kasih kepada senior sedang berlangsung, di bibir pantai. Tempat yang sama
dengan ospek di luar kampus dulu. Sing tanpa mengingat persoalan sebelumnya
datang menghampiriku. Membawa banyak hadiah. Boneka Doraemon besar,
bungkusan-bungkusan kado yang sudah urusnya semalaman bersama M, May dan yang
lainnya.
Sing
tersenyum sambil memberikan boneka besar itu kepadaku, ada lipatan kertas di
tangan boneka kesukaanku itu. Permintaan maaf karena tidak peka dan sekaligus
ucapan cinta yang bercurah.
“Harusnya
aku yang minta maaf karena terlalu berlebihan,” aku tersenyum ringan.
Kami
saling melemparkan senyuman dan beberapa detik tersadar, ternyata semuanya
sedang memperhatikan. Bertanya setelahnya apa yang terjadi di antara kami.
“Kami,
kami pacaran,” kataku dengan suara nyaring.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar