KARENAMU
“Aku
Di sini untukmu”
Di sore yang kian
menjemput petang, aku duduk berdampingan dengan Sing. Dia sudah memakian baju
koko berwarna putih murni, senada dengan kopiah yang penaka mahkota raja yang
dipasang kepala. Sangat cocok. Nampak begitu rupawan dengan wajahnya kokoh
dengan bibir tipis. Matanya sipit, teduh dan kehitaman. Ah, serasa baru aku
sadar betapa beruntungnya aku memilikinya.
Dan,
aku memakai talkum putih bercorak bunga-bunga hampir di setiap lekuk. Sing
tidak berhenti memujinya, katanya aku sangat cantik. Hanya memberikan senyuman
tipis, padahal jantung serasa ingin jatuh ke pasir putih. Dia begitu pandai
memorakporandakan hatiku.
“Terima
kasih untuk waktu yang berharga telah engkau berikan kepadaku,” katanya
memandangku. Aku menunduk.
“Aku
juga bererima kasih dan ingin mengatakan bahwa aku…..,” sedikit tertahan dan
aku mengangat dagu, kucoba pelan menatap mata teduhnya agar dia bisa melihat
cinta ini dengan jelas, “Aku sangat mencintaimu. Meskipun aku tidak tahu apa
yang akan terjadi ke depannya.”
Dia
tertawa ringan.
“Aku
juga sangat mencintaimu.”
Kami
berdua masih menunggu maghrib dan sun set
sambil mendengar romantisnya ombak
berkejaran, angina yang berlalu lalang di telinga. Begitu lembut membelai.
Nini,
M, May dan yang lainnya membiarkan kami berdua. Mereka ikut bahagia.
***
Sing sangat perhatian.
Jujur aku menyukainya, tapi aku juga tak ingin merepotkannya. Dia selalu datang
membawakanku sarapan di kelas, menjemput dan mengantarku pulang. Banyak keirian
yang berbisik bahkan nyaring menguap bersama udara yang memenuhi sudut dunia.
Kukatakan padanya, agar bertingkah seperti biasa. Pada akhirnya, ia tidak bisa
karena cinta yang membuatnya romantis. Pun aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Hatiku juga bahagia, selalu dekat-dekat dengannya.
“Tidak
usah pikirkan omongan jelek orang lain, belum tentu itu yang terbaik bagi kita.
Kalaupun ada yang baik atau kritik membangun, tentu kita akan ambil. Kita
jadikan bahan intropeksi diri,” Sing memainkan jemarinya di laptopnya. Seperti
biasa, ia melanjutnya tulisan novelnya yang belum selesai.
Kualihkan
pandanganku dari buku kalkulus yang sedang aku baca. Melihatnya begitu tenang
dalam menyikapi sikap mereka yang kurang suka dengan kami. aku harus belajar seperti dia.
“Jangan
terlalu lama memandangku, nanti kamu makin jatuh cinta,” Sing tersenyum maut.
“Apaan
sih? G-r,” aku menggelengkan kepala.
Kutarik
nafas pelan untuk menetarlisir pikiranku yang selalu buyar saat dia tersenyum.
“Sing,
aku mau nanya. Boleh?” pengalihan.
“Ya
ampun. Masa tidak boleh sayang,” suaranya sedikit nyaring, membuat pengunjung
di perpustakaan kampus di lantai dua melihat kami. Aku menggigit bibir.
Dia
selalu bisa membuat aku malu.
Beberapa
menit selanjutnya, kuajukan pertanyaan yang sebelumnya terhalang karena orang
lain yang masih menatap kami.
“Kamu
kuliah di sini itu pasti ada alasannya kan Sing?”
Ia
menghentikan pekerjaannya. Pandangan menatap dua kelopak mataku. Aku menunduk
secepatnya. Terdengar ia mengendus nafas berat.
“Apa
kamu tidak ingat pertemuan pertama kita?” jawabnya dengan wajah yang serius.
Aku
bingung. Apa maksudnya? Pertama pertama kami adalah di dalam auditorium kampus.
“Apa
kamu tidak ingat pertemuan pertama kita?” Sing mengulang pertanyaannya.
Aku
semakin bingung. Kembali ia mendengus nafas berat.
“Aku
kuliah di sini itu karena kamu,” pernyataan Sing.
“Maksud
kamu?”
Ia
mulai bercerita……..
SPECIAL
Sing
masih memakai pakaian putih abu-abu, ia ingin mengembalikan formulir yang sudah
di isi ibunya. Padahal sama sekali tidak ada niat untuk kuliah Jurusan Teknik
di Universitas Bina Bangsa. Ia sudah bebas tes masuk di Universitas Hasanuddin.
Ia hanya ingin menyenangkan ibunya, sehingga ia berani mengantarkan formulir.
Hanya saja, tetap akan berusaha berbicara kepada ibunya bahwa sebuah hal
sia-sia jika melakukan sesuatu yang tidak disukai.
Dan,
pikirannya berubah ketika ada seorang gadis cantik yang menghampirinya saat di
kantin kampus. Gadis itu memberikannya minuman dingin, karena tidak tega
melihat wajahnya yang nampak sangat khusus. Minuman itu tidak lebih penting
daripada petuah yang diberikan setelahnya.
“Sebenarnya
aku juga tidak ingin kuliah di sini. Tetapi karena orang tua yang meminta mau
tidak mau aku harus menurutinya. Karena aku berpikir saat itu, aku bisa pindah
jurusan juga nantinya, atau bahkan pindah kampus. Tetapi setelah waktu berlalu,
aku sadar pilihan orang tuaku sangat tepat. Aku menyukai jurusan teknhik. Aku
menyukai lingkungan di sini. Dosen-dosennya ramah dan teman-teman yang
bersahabat. Senior dan juniornya saling menghormati dan menyayangi,” kata gadis
itu yang tidak lain adalah aku.
Ah,
mendengar cerita Sing, aku tersenyum merekah. Pun dia membalas dengan
sunggingan serupa. Gelang mengikat di pergelangan tangan kami. Gelang yang
mengikat hubungan kami, selain hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar