post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Kamis, 27 Juni 2019

Gelang (15)


KARENAMU
“Aku Di sini untukmu”

Di sore yang kian menjemput petang, aku duduk berdampingan dengan Sing. Dia sudah memakian baju koko berwarna putih murni, senada dengan kopiah yang penaka mahkota raja yang dipasang kepala. Sangat cocok. Nampak begitu rupawan dengan wajahnya kokoh dengan bibir tipis. Matanya sipit, teduh dan kehitaman. Ah, serasa baru aku sadar betapa beruntungnya aku memilikinya.
Dan, aku memakai talkum putih bercorak bunga-bunga hampir di setiap lekuk. Sing tidak berhenti memujinya, katanya aku sangat cantik. Hanya memberikan senyuman tipis, padahal jantung serasa ingin jatuh ke pasir putih. Dia begitu pandai memorakporandakan hatiku.

“Terima kasih untuk waktu yang berharga telah engkau berikan kepadaku,” katanya memandangku. Aku menunduk.
“Aku juga bererima kasih dan ingin mengatakan bahwa aku…..,” sedikit tertahan dan aku mengangat dagu, kucoba pelan menatap mata teduhnya agar dia bisa melihat cinta ini dengan jelas, “Aku sangat mencintaimu. Meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.”
Dia tertawa ringan.
“Aku juga sangat mencintaimu.”
Kami berdua masih menunggu maghrib dan sun set  sambil mendengar romantisnya ombak berkejaran, angina yang berlalu lalang di telinga. Begitu lembut membelai.
Nini, M, May dan yang lainnya membiarkan kami berdua. Mereka ikut bahagia.
***
Sing sangat perhatian. Jujur aku menyukainya, tapi aku juga tak ingin merepotkannya. Dia selalu datang membawakanku sarapan di kelas, menjemput dan mengantarku pulang. Banyak keirian yang berbisik bahkan nyaring menguap bersama udara yang memenuhi sudut dunia. Kukatakan padanya, agar bertingkah seperti biasa. Pada akhirnya, ia tidak bisa karena cinta yang membuatnya romantis. Pun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hatiku juga bahagia, selalu dekat-dekat dengannya.
“Tidak usah pikirkan omongan jelek orang lain, belum tentu itu yang terbaik bagi kita. Kalaupun ada yang baik atau kritik membangun, tentu kita akan ambil. Kita jadikan bahan intropeksi diri,” Sing memainkan jemarinya di laptopnya. Seperti biasa, ia melanjutnya tulisan novelnya yang belum selesai.
Kualihkan pandanganku dari buku kalkulus yang sedang aku baca. Melihatnya begitu tenang dalam menyikapi sikap mereka yang kurang suka dengan kami. aku harus belajar seperti dia.
“Jangan terlalu lama memandangku, nanti kamu makin jatuh cinta,” Sing tersenyum maut.
“Apaan sih? G-r,” aku menggelengkan kepala.
Kutarik nafas pelan untuk menetarlisir pikiranku yang selalu buyar saat dia tersenyum.
“Sing, aku mau nanya. Boleh?” pengalihan.
“Ya ampun. Masa tidak boleh sayang,” suaranya sedikit nyaring, membuat pengunjung di perpustakaan kampus di lantai dua melihat kami. Aku menggigit bibir.
Dia selalu bisa membuat aku malu.
Beberapa menit selanjutnya, kuajukan pertanyaan yang sebelumnya terhalang karena orang lain yang masih menatap kami.
“Kamu kuliah di sini itu pasti ada alasannya kan Sing?”
Ia menghentikan pekerjaannya. Pandangan menatap dua kelopak mataku. Aku menunduk secepatnya. Terdengar ia mengendus nafas berat.
“Apa kamu tidak ingat pertemuan pertama kita?” jawabnya dengan wajah yang serius.
Aku bingung. Apa maksudnya? Pertama pertama kami adalah di dalam auditorium kampus.
“Apa kamu tidak ingat pertemuan pertama kita?” Sing mengulang pertanyaannya.
Aku semakin bingung. Kembali ia mendengus nafas berat.
“Aku kuliah di sini itu karena kamu,” pernyataan Sing.
“Maksud kamu?”
Ia mulai bercerita……..
SPECIAL
Sing masih memakai pakaian putih abu-abu, ia ingin mengembalikan formulir yang sudah di isi ibunya. Padahal sama sekali tidak ada niat untuk kuliah Jurusan Teknik di Universitas Bina Bangsa. Ia sudah bebas tes masuk di Universitas Hasanuddin. Ia hanya ingin menyenangkan ibunya, sehingga ia berani mengantarkan formulir. Hanya saja, tetap akan berusaha berbicara kepada ibunya bahwa sebuah hal sia-sia jika melakukan sesuatu yang tidak disukai.
Dan, pikirannya berubah ketika ada seorang gadis cantik yang menghampirinya saat di kantin kampus. Gadis itu memberikannya minuman dingin, karena tidak tega melihat wajahnya yang nampak sangat khusus. Minuman itu tidak lebih penting daripada petuah yang diberikan setelahnya.
“Sebenarnya aku juga tidak ingin kuliah di sini. Tetapi karena orang tua yang meminta mau tidak mau aku harus menurutinya. Karena aku berpikir saat itu, aku bisa pindah jurusan juga nantinya, atau bahkan pindah kampus. Tetapi setelah waktu berlalu, aku sadar pilihan orang tuaku sangat tepat. Aku menyukai jurusan teknhik. Aku menyukai lingkungan di sini. Dosen-dosennya ramah dan teman-teman yang bersahabat. Senior dan juniornya saling menghormati dan menyayangi,” kata gadis itu yang tidak lain adalah aku.
Ah, mendengar cerita Sing, aku tersenyum merekah. Pun dia membalas dengan sunggingan serupa. Gelang mengikat di pergelangan tangan kami. Gelang yang mengikat hubungan kami, selain hati.
Bahagia itu merongrongku dalam dunianya. Sing adalah duniaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar