TOKO
BUKU
“Insya
Allah, halal menanti kita”

Awal
bekerja aku sering melakukan kesalahan, apalagi aku ditempatkan di bagian
pembelian. Entah itu kurang cermat menghitung data ataupun kuang teliti, tetapi
selalu ada bantuan dari Jeni dan Jon. Mereka berdua adalah partnerku bekerja,
juga Dino dan Yuri. Alhamdulillah, semua
itu bisa akhirnya bisa kuatasi dengan baik.
Paling
penting dalam sehari pasti Sing akan menghubungiku, memberi kabar atau
menanyakan kabarku. Kadang juga mengirimkan foto kegiatannya kemudian memintaku
memberi saran, seperti untuk kegiatan out
door-nya minggu depan.
Setiap
hari, kami akan menyempatkan waktu bertemu. Seharian berjalan bersama,
Berjalan-jalan ke toko buku, di taman kota Palu menemaninya belajar ataupun
menontong film di bioskop.
Dan,
sabtu ini kami berjalan lagi bersama. Ia menungguku di serambi rumah.
Pakaiannya sangat elegan, baju putih bercampur hijau. Ia mengenakan celana
panjang lives biru. Sangat tampan,
apalagi saat tersenyum.
“Kamu
sangat cantik mengenakan baju ini,” kata yang memujiku terang-terangan. Dia
tidak pernah menyembunyikan dalam hatinya seperti aku. Membuat pipiku memerah.
“Kita
jalan aja! Tidak usah menggombal,” kataku kemudian mendahuluinya.
Ia
melajukan motornya pelan. Kibasan angina mendinginkan sampai ke hati. Bukan
hanya angin yang membuatku dingin, tetapi juga karena dirinya yang beberapa
kali nampak di kaca spion tersenyum. Sekitar lima belas menit, kami sudah
sampai di depan toko buku Marina.
Aku
suka membeli novel di toko buku ini, sampai-sampai hampir semua penjaganya tahu
namaku. Meskipun ukuran bangunan yang kecil dan hanya terdapat dua lantai yang
diisi banyak rak-rak buku, tetapi buku-buku yang dijual selalu up-date.
“Kamu
mau beli buku apa lagi hari ini? Novel lagi?” tanyanya, sambil ikut
celingak-celinguk memperhatikan buku-buku yang berjejer.
“Aku
mau beli buku ini,” kupegang buku di rak manejemen pembelian perusahaan,
ternyata dia juga memegangnya.
Mata
kami bertautan. Sejenak kulihat lagi ketulusan cinta yang selalu membuat hatiku
seakan jatuh ke lantai. Aku terkesima.
“Maaf,”
aku buru-buru melepaskan buku itu.
“Aku
juga minta maaf,” ia tersenyum ringan.
“Apa
kita menikah saja?” katanya dengan suara sedikit nyaring.
Aku
mengernyitkan dahi. Kemudian melihat sekeliling. Untung orang-orang yang juga
sibuk mencari buku tidak mendengarnya.
“Hzzzz,”
kukecup jari manisku.
Ia
menanguk. Kemudian, aku meneruskan mencariku meskipun dengan hati yang
berbunga-bunga.
Setelah
kurang lebih dua puluh menit mencari buku, aku dan Sing duduk di kursi yang
disediakan untuk pelanggan, membaca buku. Dan, dia mengulangi kembali
perkataannya. Saat itu,hanya kami berdua di sudut kanan lantai satu toko buku
itu.
“Sing,
jangan main-main,” aku berusaha kembali fokus membaca bukuku.
“Aku
tidak main-main kak. Aku serius.”
Aku
melihat matanya. Ada kejujuran di sana. Aku mendengus nafas berat.
“Baiklah
kalau memang serius?”
Ia
membentuk garis tipis di bibirnya.
“Tapi
belum saatnya, tunggu saat kamu benar-benar mapan.”
Ia
menyurutkan senyumannya.
“Tunggu
saat kamu sudah lulus, kemudian sudah pekerjaan. Insya Allah, aku akan siap
menerima lamaranmu.”
Aku
tersenyum dan ia membalasnya.
“Aku
janji kak. Menjadi calon imam yang baik untukmu.”
Kemudian
gemuruh tepuk tangan terdengah. Ah, ternyata para karyawan toko buku itu
mendengarnya.
***
SPECIAL
MOMENT AT PAST
Kami berjalan menuju
parkiran. Sebelumnya kami berdua, sholat di masjid kampus. Aku memandang langit
seketika, kehangatan muncul. Tiba-tiba, ada bintang jatuh.
“Ah
itu bintang jatuh,” kataku tanpa berpikir memegang tangannya.
Ia
tersenyum.
“Nanti,
aku akan ajak kamu ke tempat tinggi menatap bintang malam,” pandangannya juga
melihat gemerlap bintang.
Aku
beralih menatapnya, “Sungguh?”
“Ia…”
Aku
memegang tangannya semakin erat. Tanpa kesadaran.
“Tapi
tolong jangan terlalu erat pegangannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar