post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 01 Juli 2019

Gelang (17)


TOKO BUKU
“Insya Allah, halal menanti kita”

Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta yang cukup terkenal. Perusahaan yang memproduksi alat-alat elektronik. Perusahaan Royal. Sebenarnya perusahaan ini adalah tempatku magang dulu, karena melihat aktivasi kerjaku yang handal pun pimpinan perusahaan yang bernama, Tuan Fahri merekrutku.
Awal bekerja aku sering melakukan kesalahan, apalagi aku ditempatkan di bagian pembelian. Entah itu kurang cermat menghitung data ataupun kuang teliti, tetapi selalu ada bantuan dari Jeni dan Jon. Mereka berdua adalah partnerku bekerja, juga Dino dan Yuri. Alhamdulillah, semua itu bisa akhirnya bisa kuatasi dengan baik.

Paling penting dalam sehari pasti Sing akan menghubungiku, memberi kabar atau menanyakan kabarku. Kadang juga mengirimkan foto kegiatannya kemudian memintaku memberi saran, seperti untuk kegiatan out door-nya minggu depan.
Setiap hari, kami akan menyempatkan waktu bertemu. Seharian berjalan bersama, Berjalan-jalan ke toko buku, di taman kota Palu menemaninya belajar ataupun menontong film di bioskop.
Dan, sabtu ini kami berjalan lagi bersama. Ia menungguku di serambi rumah. Pakaiannya sangat elegan, baju putih bercampur hijau. Ia mengenakan celana panjang lives biru. Sangat tampan, apalagi saat tersenyum.
“Kamu sangat cantik mengenakan baju ini,” kata yang memujiku terang-terangan. Dia tidak pernah menyembunyikan dalam hatinya seperti aku. Membuat pipiku memerah.
“Kita jalan aja! Tidak usah menggombal,” kataku kemudian mendahuluinya.
Ia melajukan motornya pelan. Kibasan angina mendinginkan sampai ke hati. Bukan hanya angin yang membuatku dingin, tetapi juga karena dirinya yang beberapa kali nampak di kaca spion tersenyum. Sekitar lima belas menit, kami sudah sampai di depan toko buku Marina.
Aku suka membeli novel di toko buku ini, sampai-sampai hampir semua penjaganya tahu namaku. Meskipun ukuran bangunan yang kecil dan hanya terdapat dua lantai yang diisi banyak rak-rak buku, tetapi buku-buku yang dijual selalu up-date.
“Kamu mau beli buku apa lagi hari ini? Novel lagi?” tanyanya, sambil ikut celingak-celinguk memperhatikan buku-buku yang berjejer.
“Aku mau beli buku ini,” kupegang buku di rak manejemen pembelian perusahaan, ternyata dia juga memegangnya.
Mata kami bertautan. Sejenak kulihat lagi ketulusan cinta yang selalu membuat hatiku seakan jatuh ke lantai. Aku terkesima.
“Maaf,” aku buru-buru melepaskan buku itu.
“Aku juga minta maaf,” ia tersenyum ringan.
“Apa kita menikah saja?” katanya dengan suara sedikit nyaring.
Aku mengernyitkan dahi. Kemudian melihat sekeliling. Untung orang-orang yang juga sibuk mencari buku tidak mendengarnya.
“Hzzzz,” kukecup jari manisku.
Ia menanguk. Kemudian, aku meneruskan mencariku meskipun dengan hati yang berbunga-bunga.
Setelah kurang lebih dua puluh menit mencari buku, aku dan Sing duduk di kursi yang disediakan untuk pelanggan, membaca buku. Dan, dia mengulangi kembali perkataannya. Saat itu,hanya kami berdua di sudut kanan lantai satu toko buku itu.
“Sing, jangan main-main,” aku berusaha kembali fokus membaca bukuku.
“Aku tidak main-main kak. Aku serius.”
Aku melihat matanya. Ada kejujuran di sana. Aku mendengus nafas berat.
“Baiklah kalau memang serius?”
Ia membentuk garis tipis di bibirnya.
“Tapi belum saatnya, tunggu saat kamu benar-benar mapan.”
Ia menyurutkan senyumannya.
“Tunggu saat kamu sudah lulus, kemudian sudah pekerjaan. Insya Allah, aku akan siap menerima lamaranmu.”
Aku tersenyum dan ia membalasnya.
“Aku janji kak. Menjadi calon imam yang baik untukmu.”
Kemudian gemuruh tepuk tangan terdengah. Ah, ternyata para karyawan toko buku itu mendengarnya.
***
SPECIAL MOMENT AT PAST
Kami berjalan menuju parkiran. Sebelumnya kami berdua, sholat di masjid kampus. Aku memandang langit seketika, kehangatan muncul. Tiba-tiba, ada bintang jatuh.
“Ah itu bintang jatuh,” kataku tanpa berpikir memegang tangannya.
Ia tersenyum.
“Nanti, aku akan ajak kamu ke tempat tinggi menatap bintang malam,” pandangannya juga melihat gemerlap bintang.
Aku beralih menatapnya, “Sungguh?”
“Ia…”
Aku memegang tangannya semakin erat. Tanpa kesadaran.
“Tapi tolong jangan terlalu erat pegangannya.”
Aku melepaskan tangannya dan meminta maaf. Kami mengendarai motor mio hitamnya pulang ke asrama. Adengan romantic bernuansa, saat kupegang almamaternya merah sepanjang perjalanan dari belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar